CHAPTER 54 - SATUKAN DAN DOAKAN

17.9K 2K 45
                                    

IMAM MUBARAK

Satu bulan berlalu sejak kematian Ki Naridin. Dua minggu berlalu sejak terakhir kali hantu Nyai Toriyati singgah di rumah Imam. Azimat dari seorang dukun digantung di pintu rumah. Sejak saat itulah Imam bebas dari gangguan setan. Memang tidak sepenuhnya. Kadang, Imam masih mendengar suara bel becak Ki Naridin berbunyi di dalam bengkel. Bukan sengaja menyimpan atau merasa sayang, tapi berkali - kali sudah Imam menjualnya tapi tidak seorangpun mau membelinya.

"Saya yakin, kalau dijual di Sumbergede pasti laku." Usul Apung.

"Kamu pikir, seberapa jauh jarak Lindung dan Sumbergede? Desa tetangga yang jauh saja sudah mendengar tentang Ki Naridin, apalagi Sumbergede." Sahut Imam.

Siang itu cukup melelahkan. Jarang sekali ada truk yang singgah di bengkel Imam. Untuk kali pertamanya Imam bersyukur ada Apung di sisinya. Selama ini Ia hanya berpikir kalau Apung pandai bicara. Hanya bicara. Tapi anak itu cukup terampil dan cekatan dalam bekerja. Termasuk dalam bicara.

Setelah truk tersebut pergi, Imam dan Apung memulihkan tenaga dengan secangkir kopi. Dua cangkir untuk Imam. Tema perbincangan mereka berubah dari curhatan sopir truk tentang istrinya, berakhir pada becak almarhum Ki Naridin.

"Saya akan carikan pembeli ya Cak? Teman - teman saya banyak yang nganggur soalnya."

"Biasanya pengangguran tidak punya uang Pung, terus mereka mau beli pakai apa?"

"Ah, serahkan sama saya saja!" Apung meyakinkan Imam.

Imam berpikir sejenak. Berlebihan jika ia curiga pada antusias Apung dalam menjual becak. Imam mencoba berpikir positif, bahwa Apung benar - benar niat membantunya. 

"Ya sudah, tapi dengan satu syarat."

"Apa itu Cak?"

"Tidak ada yang Kamu tutupi dari calon pembeli, termasuk siapa pemilik becak ini sebenarnya. Ngerti?"

"Oh, siap Cak!"

***

Tidak sampai dua hari, becak milik almarhum Naridin laku terjual. Pembelinya adalah warga Lindung sendiri. 

Ini tidak masuk akal. Apa dia lupa becak siapa yang akan dibelinya. Imam masih tidak percaya. Normalnya warga desa enggan berurusan dengan hal yang berbau Ki Naridin. Setelah memastikan niat dan tekad calon pembelinya, Imam pun melepas becak yang jadi satu - satunya peninggalan Ki Naridin dan Nyai Toriyati. 

"Saya sudah perbaiki bannya. Belnya juga." Kata Imam.

"Terima kasih banyak." Sahut si pembeli. Ia pun pamit pulang mengendarai becak barunya. Senyum ramah sebagai tanda terima kasih. Senyum yang sama pun menghiasi wajah Apung.

"Jangan bilang kamu dapat komisi?" Tanya Imam.

"Sedikit kok Cak."

Mereka tahu hari sudah sangat sore, saat banyak kendaraan lalu-lalang di depan bengkel. Sebagian besar adalah petani dan pencari rumput. Kadang sebuah mobil, kadang sepeda motor. Becak dan delman pun tak kalah sibuk, mereka pulang pergi Desa Leduk untuk antar dan jemput pasokan Ikan. Sudah lama sejak Leduk disebut sebagai desa, tapi setiap kali mendengar namanya, Imam hanya bisa membayangkan sebuah kuburan. 

Mungkin ada baiknya saya ziarah ke makam beliau, Pikir Imam.


***

Pukul sebelas malam. Sejak dibuka empat jam lalu, Imam belum melihat Apung. Pemuda itu pasti sedang bersenang - senang dengan teman - temannya. Menghabiskan uang yang didapat dari upah menjual becak.  Imam tidak mengeluh. Sejak dulu Ia terbiasa kerja sendiri. Hanya saja, akhir - akhir ini keberadaan Apung seolah memberikan rasa aman bagi Imam. Ya, setelah pertemuannya dengan Nyai Toriyati waktu itu, Imam enggan buka bengkel lewat di atas jam sepuluh.  Ah, saya tidak perlu khawatir selama masih ada Azimat itu. Imam menenangkan diri sendiri.

Usai menutup pintu bengkel, Imam bergegas pulang. Ia tidak bisa menahan rasa laparnya lagi. Biasanya, Apung selalu menawarkan diri untuk pergi ke warung. Mereka selalu makan berdua sesaat sebelum bengkel tutup. Sepertinya untuk malam ini, Imam harus puas makan nasi sisa tadi pagi.

Sesampainya di rumah. Setelah memastikan bapak dan adiknya tidur, Imam langsung menuju dapur. Rumahnya rapi sekali, tapi dapurnya berantakan. Perkakas yang tidak muat di bengkel, dibawa dan ditumpuk di dapur. Adiknya sering mengeluh karena harus makan dengan bau oli yang mengganggu. Imam tidak menghiraukannya. Baginya, siapapun yang berusia dibawah lima belas tahun, maka pendapatnya tidak dihitung.

Imam mulai makan malam. Lapar tidak membuatnya lahap. Nasi yang Ia makan sudah mulai basi. Masih bisa dimakan dan ditelan, tapi sedikit lengket, basah dan bergetah. Tiba - tiba saat sedang meneguk air putih, Imam mendengar suara tangisan bayi. 

"Bayi, atau kambing?" Imam menelan sisa - sisa nasi yang baru saja dikunyah. "Serius. Itu suara bayi apa kambing? Kadang suaranya mirip sih. Tapi kambing siapa dan bayi siapa?"

Suara itu terdengar sangat jauh. Pelan tapi jelas di telinga Imam. Seolah - olah ada yang sedang menyalakan radio dengan volume paling kecil di dekat telinganya. Nafsu makan Imam menurun. Saat itulah nasi yang basi terasa benar - benar tidak enak. Sama seperti perasaan Imam. Ia menunda untuk minum dan memilih untuk masuk ke kamar. Segera.

Ranjang di kamar Imam tinggi sekali. terbuat dari besi bercat hijau dengan campuran merah yang berasal dari karat. Kasurnya memang tidak empuk, tapi itu bukan masalah. Masalahnya adalah gigitan kutu busuk yang berapa kali pun dijemur, tetap betah berkembang biak dan memburu darah Imam.

Imam berbaring di sana. Ia tidak sempat mengganti pakaian. Sarungnya diangkat hingga menutupi separuh badan. Kemudian, Imam termenung dengan pandangan melayang ke langit - langit kamar. Bola mata merah menyala menatap Imam dari atas.

"Astaghfirullah."

Imam memejamkan mata. Ia tarik sarungnya lebih tinggi hingga menutup wajah. Di balik sarung itu ia berdzikir. Besar harapannya untuk tidak diganggu setan lagi. Apakah kekuatan azimat itu sudah berkurang? Pikir Imam. 

NAK IMAM

Suara itu berbisik. Berdesis seperti orang yang sedang menahan pedas. Yang membuat Imam merinding adalah, suara itu  berasal dari jarak yang sangat dekat. Tepat di depan wajah Imam. Dimana hanya sehelai kain tipis yang memisahkan wajahnya, dengan wajah seorang perempuan. Sosok itu melayang di atas tubuh Imam. Matanya merah menyala dan dapat Imam lihat dari balik sarung.

"Tolong Lek, jangan ganggu saya lagi," Pinta Imam. Suaranya memelas, memohon agar sosok itu mau mengabulkan. Sesaat kemudian, hawa panas itu pun hilang. Tidak ada lagi cahaya merah menembus sarungnya. Perlahan Imam membuka kain yang menutup wajahnya.

"Alhamdulillah, sudah pergi."

NAK IMAM

Sosok itu berdiri di pintu. Gelapnya kamar menyamarkan tubuhnya. Rambut panjang itu menutup sebagian besar wajahnya. Hanya matanya yang merah menyala yang masih memperhatikan Imam. Tajam dan menembus pikiran si tukang bengkel.

"To-tolong Lek. Apa salah Saya?"

Desa Leduk. Empat pemakaman. Satukan! Selesaikan! Doakan! Jika bukan demi Naridin, bukan demi Toriyati, selesaikan demi anak ini.

Suara bayi itu terdengar kembali, tapi tidak jauh seperti saat di dapur tadi. Imam memandangi sosok perempuan yang berapa kalipun dilihat, benar - benar mirip Nyai Toriyati. Sosok itu mendekat. Kegelapan yang menyelimuti tubuhnya sirna karena cahaya dari lubang udara. Kali ini Imam dapat melihat dengan jelas. Bukan pada wajahnya, tapi pada perutnya. Perut itu kelihatan kosong tak berisi. Tapi, dari sanalah munculnya suara tangis bayi.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang