CHAPTER 29 - TERIAKAN PERTAMA

18.1K 2K 57
                                    

 Beberapa saat sebelum kedatangan Saripudin.   

PAK AWANG

Acara doa bersama memasuki tahap dzikir, dimana semua jamaah tunduk khidmat, memutar tasbih, menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, seirama dengan bibir yang mantap berdzikir. 

Hari sudah mulai petang dan cuaca mulai dingin. Nyamuk berterbangan di sana - sini,  seolah mengingatkan warga bahwa ini daerah mereka, dan sudah waktunya hewan malam berkuasa. Para pedagang mulai berkemas, sementara beberapa warga mulai mengakhiri Silanya dan bersiap pulang lebih dulu. 

Pak Awang masih betah bersila, tidak sedikitpun Ia mengubah posisi duduknya. Matanya terpejam sejak doa dimulai hingga hampir selesai. Barulah ketika seekor nyamuk menggigit tangannya, Ia sadar betapa hari sudah mulai petang.

Pak Awang membuka mata, memperhatikan jamaah yang sedikit berkurang. Sebagian tampak lelah, sebagian lagi masih memanjatkan doa dengan sangat khusyuk. Mata Pak Awang terhenti pada warga di barisan depan. Lima langkah dari panggung tempat Pak Awang duduk. Di barisan itu ada seorang kakek yang sedang duduk sambil menundukkan kepala. Bahunya bergetar seperti sedang menangis sesegukan. "Ya Allah, khusyuk sekali kakek itu," Kagum Pak Awang.

Ustad Mahrus masih memandu. Guru madrasah itu menengadahkan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang Microphone. Pengeras suara tidak lagi berbunyi lantang, sengaja begitu karena hari sudah petang. Hanya Sukacung yang masih terlihat tenang, duduk bersila dengan tasbih di tangan kanan. Wajahnya seperti sangat menikmati, tersenyum tanpa mengurangi sikap santun.

Setelah melihat sekeliling panggung, Pak Awang baru menyadari bahwa kepala desa tidak ada bersamanya. Pak Gamar tidak juga bergabung bahkan saat para undangan hampir turun panggung. Pak Awang sedikit kesal, Ia melihat sekeliling lapangan berharap menemukan si gagap. Di saat itulah Pak Awang melihat ada hal yang janggal.

Kepalan tangan kanan di udara, terbentuk dari lima jari keriput, milik seorang nenek berkerudung putih yang berdiri di barisan tengah. Wajahnya tampak sangat marah, memandang jauh ke arah panggung. Tidak ada yang berdiri kecuali si nenek, Ia bahkan menolak duduk saat orang disampingnya menarik baju perempuan tua tersebut.

"Apa-apaan tuh nenek?" Gumam Pak Awang heran. 

Seolah menjawab pertanyaan Pak Awang, nenek itu tiba-tiba berteriak keras sekali hingga menarik perhatian jamaah di dekatnnya.

"Ambuuuu! Ambuuuu!" Teriak nenek berkerudung putih, berulang kali dengan suara yang lantang. Para jamaah yang duduk di sekitar nenek pun menoleh, mereka menghentikan sejenak dzikirnya untuk sekedar mencari tahu apa maksud teriakan nenek itu.

"Kenapa itu nenek? Siapa yang dia suruh berhenti?" Tanya seorang jamaah.

"Entahlah, mungkin rematiknya kumat gara-gara kelamaan duduk," Jawab jamaah lain.

Bak menyusul teriakan si nenek, salah satu jamaah di barisan belakang mendadak merebahkan tubuhnya. Tentu saja itu membuat jamaah di belakangnya jengkel. Tidak pingsan, tidak juga tidur, jamaah yang merupakan seorang pemuda berkopiah putih itu terbaring dengan mata terbelalak dan tawa yang keras.

"Hahahahahaha! Haha, hahahaha!" Mulut pemuda itu seolah tidak sanggup menampung tawa yang meledak-ledak.

Perhatian jamaah pun terpecah, antara si nenek yang sedang marah-marah, pemuda yang sedang tertawa, atau dzikirnya yang masih separuh jalan.

Merasa hal tersebut tidak bisa dibiarkan lagi, warga beramai-ramai menghampiri pemuda dan nenek itu. Berbagai cara dilakukan agar keduanya mau diam. Mulai dari mengajak bicara, hingga menampar pipinya sampai gigi palsu si nenek jatuh ke tanah dan membuat Teriakan si nenek berubah menjadi, "Angguuuuu!! Anggguuu!" 

"Jangan-jangan mereka kesurupan?" Tebak seorang jamaah.

Dari atas panggung, Pak Awang menyadari keributan tersebut. "Anto, coba Kamu ke sana!" Perintah Pak Awang pada Anto yang sejak tadi duduk bersama teknisi panggung. Setelah itu Pak Awang berdiri, Ia harus mengakhiri dzikirnya demi meredam keributan jamaah. Pak Awang meraih Microphone di depan Sukacung, lalu memberi aba-aba agar jamaah yang kesurupan segera dibawa menjauh keluar barisan.

Alih-alih didengarkan, sebuah batu melayang tepat mengenai pelipis Pak Awang, dan membuat sang Ketua Panitia mengerang kesakitan. "Sampean tidak apa-apa?" Tanya salah seorang aparat desa. "Tidak, cuma tergores sedikit." Jawab Pak Awang. Matanya mencoba menelusuri keramaian jamaah untuk mencari tahu dari mana asal batu tersebut.

"Orang itu?" Pak Awang terkejut manakala melihat seorang kakek di barisan depan, yang sejak tadi Ia kira sedang khusyuk berdzikir sambil menangis sesegukan. "Ternyata, sejak tadi kakek itu sudah kesurupan." Gumam Pak Awang seraya memegangi pelipis kanannya.

"Torooon!" Teriak kakek tersebut sembari melemparkan batu kedua yang lebih besar dan melesat lebih cepat hingga mengenai Ustad Mahrus.


USTAD MAHRUS

Sang Ustad membuka mata yang sudah lama terpejam, dan mendapati salah seorang santri sedang duduk di depannya, membelakangi sang guru hanya untuk melindungi Ustad Mahrus dari lemparan batu tadi.

"Sebaiknya kita segera turun Ustad," Usul santri tersebut.

Ustad Mahrus setuju. Ia mengabaikan pertahanannya, tidak sempat menyelesaikan dzikir yang Dia mulai. Sembari dikawal empat orang santri, Ustad Mahrus berjalan mengendap-endap di atas panggung, menuju tangga lalu turun.

"Lewat sini Ustad!" Seru salah seorang santrinya. Mereka membawa Ustad Mahrus ke belakang panggung untuk menghindari lemparan batu yang mulai melesat bertubi-tubi. Tidak hanya kakek tadi, aksi itu diikuti jamaah lain yang satu-persatu mulai kesurupan.

Sesampainya di belakang panggung, para santri memeriksa keadaan gurunya, memastikan Ustad  Mahrus tidak terluka.

"Janc*k! Mereka kesurupan setan apa sih, sampai lempar batu segala?" Umpat salah seorang santri. 

Suasana semakin gaduh, semakin banyak teriakan jamaah yang terdengar, bersahutan dengan suara Pak Awang yang masih berusaha mengendalikan keadaan. "Mohon panitia mengamankan mereka yang melempar batu!" Himbau Pak Awang sembari menghindari batu-batu kecil yang beterbangan ke atas panggung.

Sementara jamaah kalang kabut, Pak Awang berhasil menemukan apa yang sejak tadi ia cari. Seseorang yang harusnya duduk bersama Pak Awang dan para undangan, justru sedang berdiri mematung di pinggir lapangan. Orang itu adalah Pak Gamar.


PAK GAMAR

"Pocong?" Pak Gamar tidak  percaya apa yang dia lihat. Lapangan kasti yang harusnya ramai, mendadak sepi tak berpenghuni. Hanya ada lima batu nisan yang tertanam di lima tempat berbeda, tapi masih di tanah yang sama.

Pocong itu berdiri di samping kuburan masing-masing. Matanya melebar kala melihat Pak Gamar. Tubuhnya bergetar, lalu melompat mendekati Kepala Desa yang entah kenapa tidak bisa bergerak.

"Pe, pe, pergi! Jangan ganggu Saya!" Teriak Pak gamar. 

Percuma, Mereka tidak mendengar, Pak Gamar bukan kepala desa mereka. Sementara para pocong semakin mendekat, kesadaran Pak Gamar justru sudah diambang batas. 

"Suruh mereka berhenti!" Tiba-tiba suara itu terdengar di telinga Pak Gamar. 

"Suruh mereka berhenti, sekarang!" Terdengar lagi semakin keras. Andai saja bisa, Pak Gamar ingin menutup kedua telinganya. Tapi tubuh Pak Gamar Kaku, bahkan untuk bergetar saja Ia tidak mampu.

Pak Gamar merasakan hawa panas di belakang telinganya, seperti hembusan nafas yang keluar langsung dari hidung seseorang, hanya saja yang saat ini ada di belakangnya sama sekali bukan orang.

"Suruh Mereka berhenti, sekarang!!!!

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang