CHAPTER 39 - RETAK

18.8K 2.1K 91
                                    

YAYUK

Tidak perlu lagi berbaring seharian di kamar, karena hari ini Yayuk sudah tampak jauh lebih sehat. Perkembangannya sangat pesat hingga terasa tidak masuk akal. Tapi siapa yang peduli. Yayuk bangkit dari demamnya tempo hari sembari membawa perubahan besar, dan itu sudah sangat disyukuri Ibu dan Bapaknya.

"Bapak Yakin kita tidak perlu konsultasi dengan orang pintar lagi?" Tanya Bu Ilmi. "Yakini saja! Bapak tidak pernah melihat Yayuk sehidup ini. Mungkin ini jawaban dari doa bersama kemarin." Ujar Pak Imam. "Atau mungkin berkat air yang diam-diam Ibu masukkan ke minuman Yayuk," Gumam Bu Ilmi dalam hati.

Berdua Bapak dan Ibu Yayuk sedang duduk di ruang tamu, jamuan siang berupa es kelapa muda sudah tertata di meja, tapi yang tertarik dengan kesegarannya hanyalah Ulfa.

Pak Imam sendiri masih mengusir lelah setelah pekerjaannya di Gudang barusan. Ia juga harus mati-matian merayu Istrinya agar malam ini diijinkan pergi ke tambak walau hanya sampai jam sembilan malam. Bu Ilmi mengalah walau sebenarnya masih trauma. Tapi setelah Pak Imam memutuskan untuk membawa keluarganya pulang ke Kalimantan, Bu Ilmi merasa tidak ada salahnya memberi kesempatan pada sang suami untuk menyelesaikan tugas dari atasannya.

Uli masih di sekolah dan baru pulang pukul setengah empat. Sedangkan Yayuk sedang sibuk dengan majalah-majalah lamanya. Ia baru keluar dari kamar setelah Bu Ilmi memanggilnya. "Wah Es kelapa muda?" Seru Yayuk. Ia melempar majalahnya ke lantai dan meraih segelas minuman dingin di meja.

"Sisakan satu gelas untuk Uli ya!" Ujar Bu Ilmi.

Kehangatan seperti itu tidak setiap hari terjadi. Tidak di siang hari yang panas dengan segelas minuman dingin. Pak Imam melihat kedua anaknya, dengan mata yang sama Ia pun melihat kebebasan. Masa depan ketiga putrinya akan jauh lebih baik, setelah tugasnya di desa ini berakhir. Pak Imam yakin mereka akan pulang dan meninggalkan semua beban hidupnya di desa ini.

"Ulfa mau baca buku di kamar," Ujar Ulfa sembari membawa segelas es kelapa muda di tangan kanan, dan segelas lagi di tangan kiri. Tidak ada yang aneh dengan hal tersebut, karena si bungsu selalu minta jatah lebih untuk setiap makanan dan oleh-oleh yang Ia terima. Tapi yang menganggu dan mengubah suasana siang itu adalah jawaban Ulfa ketika Bapaknya bertanya, "Kenapa sampai bawa dua?"

"Satu untuk Mbak Sofia." Ulfa berhasil mengembalikan rasa takut di keluarganya yang sempat hilang karena sembuhnya Yayuk. Segelas es kelapa muda di tangan Pak Imam mendadak hilang kenikmatannya, dan Bu Ilmi pun langsung menyandarkan punggung lemasnya. 

Yayuk sudah sangat dewasa. Ia tidak perlu menunggu penjelasan Bapak dan Ibu tentang apa yang selama ini dialaminya. Tentang Sofia, sahabat yang perlahan-lahan Yayuk lupakan kehadirannya, wajahnya, Ia bahkan sulit mengingat kenangan tentang Sofia tanpa lebih dulu merasa ketakutan.

"Biar Yayuk yang bicara sama Ulfa. Memang Yayuk tidak mengerti apa yang selama ini terjadi pada Yayuk , tapi sebagai Kakak, tidak akan Yayuk biarkan hal yang sama terjadi pada Ulfa." Ujar Yayuk.

Untuk saat ini Pak Imam dan Bu Ilmi hanya bisa mengandalkan Yayuk. Sudah bertahun-tahun Putri sulungnya hidup dibayang-bayangi Sofia. Sadar atau tidak, pasti ada hal yang bisa Yayuk lakukan untuk memisahkan Ulfa dari Sosok Sofia.


***

"Hei kecil," Sapa Yayuk pada Ulfa yang sedang tengkurap di atas kasur sembari membaca majalah favoritnya. Karena dirasa masih belum butuh kamar, Ulfa harus merasa cukup tidur di kamar Mbak Uli nya. Ada sedikitnya tiga puluh majalah berjudul "Mentari - Putera Harapan" yang menumpuk di samping Ulfa. Sejak kecil Ulfa sudah gemar membaca, sama seperti Yayuk. Bahkan Ulfa bisa menghabiskan lima majalah dalam sekali duduk.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang