CHAPTER 51 - ORANG YANG BENAR - BENAR JAHAT

17.9K 2K 67
                                    

TIDAK, TIDAK ADA!

Tiba - tiba dalam setengah sadar, Man Mahrum mendengar suara. Menggema di kepalanya seolah hendak memberitahu sesuatu.

Desa ini kecil, tapi yang membuatnya sesak bukanlah banyaknya kuburan, tapi karena orang - orang seperti mereka. Seperti pemimpin dan ideologi kunonya tentang Hak asasi manusia, yang sesat dan menyesatkan

PAK GAMAR

"Kuntilanak!"

Tanpa perintah, kerumunan di gerbang rumah Pak Gamar pun bubar; pecah ke berbagai arah. Warga berlari pulang membawa harapan yang pupus. Percuma mengadu pada pemimpin, jika pemimpinnya saja takut akan masalah yang sama. Pak Awang melompati pagar dan kembali pulang memacu motornya. Ia tidak lagi peduli apa yang terjadi besok pagi, jika suasana mulai pelik Ia selalu bisa menyalahkan Pak Gamar. 

Sementara Pak Gamar, Lelaki itu tergesa - gesa masuk ke rumahnya lalu menutup pintu, tirai, jendela, serta matanya yang ada di balik kaca. "Ibu," Pak Gamar membangunkan Istrinya, kali ini dari balik pintu karena trauma. Ia harus memastikan yang tidur di kamar benar - benar Istrinya.

"Apa sih Pak?" Tanya Bu Mardiah sembari menggosok matanya, mencoba membuang kantuk.

"Kita keluar dari rumah ini sekarang!"

"Lhooo memang kenapa?"

HIHIHIHI

"Astaghfirullah, Ibu dengar sendiri kan itu suara apa?" Tanya Pak Gamar, Ia sedang berusaha membuat Istrinya mengerti keadaan saat ini. "Suara apa sih Pak? Tidak ada suara apa - apa selain suara nafas Bapak yang ngos - ngosan." Jawab Bu Mardiah. "Ti, ti, ti, tidak mu, mu, mu, mungkin." Ajaib seperti biasanya, gagapnya kembali setelah baru saja hilang.

Dalam hati Pak Gamar berpikir. Kejadian ini mirip dengan saat Mahfud meninggal. Dia melihat pocong, sementara Almarhum tidak. "I, I bu?" Pak Gamar hanya perlu memastikan, apakah istrinya melihat sosok perempuan di sudut langit - langit rumahnya. Harusnya Mardiah melihat itu, Dia melayang dengan pakaian putih panjang hingga melewati kaki. Lalu rambutnya yang panjang menutupi hampir semua wajah. Ya! Harusnya Mardiah melihat itu.

"I, I, I, Ibu, Ka, ka, kamu lihat itu!" Pak Gamar menunjuk persis ke arah sosok tadi. Malang sekali, yang dilihat Bu Mardiah saat ini hanyalah bayangannya sendiri yang terpantul dari cahaya lampu minyak. Sepertinya malam ini adalah malam khusus untuk Pak Gamar, beruntung Istrinya mengerti karena kemarin Ia pun mengalami.

"Ataghfirullah. Jangan - jangan hantu itu muncul lagi. Ya sudah Pak, Ibu ganti baju dulu." Kata Bu Mardiah. Entah karena apa Pak Gamar berdiri di sana, Hanya mematung seperti tidak memiliki jiwa. Dia bahkan tidak bergerak saat Bu Mardiah mengguncang - guncang bahunya. Matanya terbuka tapi memandang kosong ke langit - langit kamar, sama kosong dengan mulutnya yang menganga.


Penghianat! Dia yang berhianat demi mendapatkan kepercayaan, akan terus berkhianat sampai Dia tidak percaya dirinya sendiri.

PAK AWANG

Dalam jarak satu kilometer, Pak Awang sudah menoleh ke belakang sebanyak sepuluh kali. Jauh sudah Ia dari rumah Pak Gamar dan penampakan Kuntilanak di atas pohon mangga, tapi untuk sebuah alasan Pak Awang masih merasa diikuti seseorang. Atau sama sekali bukan orang.

Masih melaju cepat ke selatan, berharap meninggalkan desa terkutuk ini walau hanya sementara. Nanti pagi sekali Ia berencana kembali dan melihat siapa saja yang berhasil melewati malam. Kubu Pak Gamar, Kubu Pak Imam, Warga Desa yang tidak dia pedulikan teriakannya, atau dirinya sendiri. Aneh sekali saat Pak Awang memberi pengecualian seolah - olah Ia tidak termasuk di antara kubu - kubu tadi.

GREDAK

Ban motor Pak Awang baru saja melindas sesuatu yang keras yang membuatnya terpental ke pinggir jalan. Hanya motornya yang masih melaju jauh meninggalkan Pak Awang, hingga keseimbangannya goyang dan motor itu pun menerobos semak belukar. 

Pak Awang tidak bodoh. Perlu diingat juga bahwa Dia tidak pintar. Sudah Ia dengar cerita tentang Almarhum Mahfud dan pelepah pisang di tengah jalan, Pak Gamar menceritakan semuanya lewat sudut pandang sendiri. Wajar kalau sekarang Pak Awang merasa takut. Ia berada di lokasi yang sama dengan kejadian itu, tentu saja penyebab Ia terjungkal dari motornya pun sama. Sebuah pelepah pisang.

"Tidak, semoga bukan yang aneh - aneh," Harap Cemas dari Pak Awang. Pelepah pisang itu memang aneh, selalu berubah bentuk setiap kali Pak Awang berkedip. Hijau, putih, hijau, putih, semakin dekat,  berguling semakin dekat ke arah Pak Awang. 

"Huaaaaa," Pak Awang berlari menjauh ke arah yang berbeda. Tepatnya ke dalam kebun pisang. Pak Awang menerobos semakin ke dalam. Sesekali berhenti di salah satu pohon, menoleh ke belakang dan berlari ke pohon lainnya. Entah kenapa hal itu mengingatkannya pada malam itu.

***

Di kantor polisi, saat malam meninggalnya tiga Juru Kunci. Tiba giliran keluarga Ki Mujur dan Ki Rozak yang dimintai keterangan, setelah hampir tiga puluh menit aparat mencerca Pak Awang dengan banyak pertanyaan. Itu semua karena Pak Gamar tidak bisa ditemui.

Pak Awang memanfaatkan waktu luangnya untuk bertemu dengan dua orang anak buahnya; satu komplotan dengan Mahfud, Mufin, dan tentu saja Pak Gamar. Dua orang  itu adalah Ismail dan Bunarto. 

"Sebentar lagi Man Mahrum akan pulang, sendirian. Ini kesempatan emas buat kalian."

"Tapi Pak, apakah Sampean sudah minta persetujuan sama Pak Gamar?" Tanya Bunarto.

"Beliau pasti setuju. Saya tidak tahu kemana si gagap itu sekarang, tapi Saya yakin dia juga pasti punya pikiran sama." Tegas Pak Awang. "Dengan kematian empat juru kunci, jumlah orang - yang menentang rencana kita akan turun drastis. Bahkan mendekati nol."

Malam itu hujan masih turun lebat, belum ada tanda - tanda akan segera reda. Man Mahrum mungkin teledor karena pergi sendirian, dengan hanya mengenakan kaos dalam. Tapi keteledoran terbesarnya adalah tidak menyadari, adanya musuh di balik selimut.

***  

"Haaaah, hah," Pak Awang masih berlari walau tidak ada yang mengejarnya lagi. Tapi dia merasakan hal itu, seolah ada yang memberitahunya bahwa jika dia berhenti berlari maka dia akan mati. Jadilah dia terus melaju hingga kebun pisang hampir dilewatinya, dan saat hendak memasuki area sawah, Pak Awang terjatuh ke dalam lubang sedalam satu meter.

"To, tolooong!" Teriaknya dengan mulut penuh tanah. Tidak ada yang akan mendengar Pak Awang. Kecuali seseorang yang saat ini sedang bersamanya di dalam lubang itu, walau hanya tengkoraknya saja.


BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang