CHAPTER 25 - TIGA MAKAM, SATU TUAN

20.9K 2.2K 209
                                    

MAN MAHRUM

"Innalillahi wa Innailaihi Rajiun." 

Tidak perlu hujan. Ini tidak seperti cerita di layar kaca, dimana acara pemakaman harus dipayungi langit hitam dan ditaburi sedikit gerimis untuk memberi kesan. Ini hanya perlu ratusan manusia hidup, menangisi tiga manusia mati. Air mata mereka nyata, berbeda sumber tapi berasal dari luka yang sama, yakni luka karena kehilangan. 

Tidak semua warga kenal dekat dengan Almarhum dan Almarhumah, tapi sebagai pahlawan, warga hanya perlu kenal jasa dan pengorbanannya, dan itu cukup membuat mereka merasa ditinggalkan. Siapa yang akan melindungi anak dan cucu serta orang tua mereka yang sudah sepuh, jikalau malam nanti para penghuni kubur memutuskan untuk singgah lagi.

Man Mahrum. Warga tahu mereka masih memiliki Man Mahrum. Ia diragukan bukan hanya karena usia, tapi karena doa, jimat, dan pengobatan yang Man Mahrum lakukan sama sekali tidak berguna. Menangani orang kesurupan saja Man Mahrum tidak bisa, bagaimana mungkin Ia akan meredam gangguan mahluk halus di seluruh desa. 

Wafatnya Ki Rozak, Ki Mujur dan Nyai  Rum adalah pukulan keras yang membuat mereka melihat jauh ke belakang, ke masa sebelum empat pemakaman. Nama Naridin kembali disebut-sebut, kutukan Naridin kembali jadi perbincangan. 

Seorang tukang santet yang mayatnya dibakar diam-diam dan sisa jenazahnya dikubur di empat tempat berbeda, utara, selatan, timur dan barat. Warga hafal benar cerita ini walaupun para petinggi desa berusaha menutup-nutupi. Saat ini tubuh mereka begidik, membayangkan apa yang akan terjadi malam nanti.

Satu persatu jenazah Ki Rozak dan Ki Mujur dikebumikan, pelan-pelan turun ke tanah Leduk, tanah pemakaman utara, tanah Astah Dejeh. Berdua mereka dimakamkan di samping kuburan Bahrudin, sahabat sekaligus saudara semasa hidup dulu. Sedangkan jenazah Nyai Rum dibawa ke desa Lindung untuk dimakamkan di astah leluhurnya, di samping makam sang ayah.

Pukul tujuh tiga puluh, acara pemakaman pun selesai. Sebagian besar warga meninggalkan astah dejeh dan sebagiannya lagi masih bercengkrama, bertukar pengalaman mengerikan yang tadi malammenimpa mereka. Di pondok kecil tempat menyimpan keranda, tampak keluarga juru kunci sedang berbagi duka, berbela sungkawa walau sama-sama dibalut nestapa. Air mata mereka bukan hanya tentang kehilangan seseorang, tapi tentang penghinaan serta cara meninggal Almarhum yang sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan.

"Assalamualaikum Bude," Sapa Man Mahrum pada Istri Ki Mujur. Ia mencium tangan Budenya yang berusia jauh lebih muda. Bahkan lebih muda daripada Saripudin yang sejak tadi ikut di belakang Man Mahrum. "Waalaikum salam Cong," Jawab Istri Ki Mujur yang bernama Miranda. Usianya masih sembilan belas tahun, berkerudung dan memiliki tahi lalat di dagu.

"Bude? Kacong?" Bisik Saripudin, nelayan berkulit hitam itu terkesima dengan kecantikan istri Almarhum Ki Mujur. Ia bahkan mengajak Miranda salaman tapi janda dari juru kunci itu enggan menyambutnya.

Tidak berhenti sampai di situ, Man Mahrum bersalaman dengan tiga perempuan lainnya dan memanggil mereka dengan panggilan yang sama, "Sehat Bude?" Sapa Man Mahrum pada ketiga perempuan tersebut. "Bu, Bude?" Saripudin tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.

"Untuk acara Tahlilan Pakde, biarlah ditempatkan di rumah Saya saja. Saya sudah bicarakan ini dengan istri tadi pagi." Ujar Man Mahrum. Mendengar itu Keempat perempuan yang dipanggilnya Bude pun tersenyum senang. Bahkan yang paling tua menangis memeluk Man Mahrum. 

"Pakdemu orang yang baik Cong, kenapa nasibnya tragis begini?" Tangis perempuan itu pecah di pelukan Man Mahrum dan memancing air mata tiga perempuan lainnya, serta memancing terbukanya mulut saripudin. Lebar sekali se-lebar kedua matanya.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang