CHAPTER 44 - WAJAH DI BALIK SARUNG

18.5K 2.1K 129
                                    

ANI

Rumah Man Mahrum adalah warisan dari Almarhum Bapaknya. Bukan tidak ada dana untuk membangun rumah sendiri, tapi rumah itu terlalu berharga untuk tidak ditempati. Banyak kenangan Man Mahrum di sana, baik yang lalu sebagai seorang anak, atau yang kelak sebagai seorang bapak.

Berbeda dengan kebanyakan warga yang tinggal di daerah pemukiman, Man Mahrum dan Istrinya masih betah tinggal di dekat pantai. Walaupun sedikit Man Mahrum sudah melakukan renovasi pada rumahnya termasuk pada sumur dan kamar mandinya. Ia dan Istri bertahan hidup sederhana, agar uangnya dapat ditabung untuk masa depan kedua putri Mereka.

Malam mulai menua. Istri Man Mahrum masih menunggu kedatagan sang suami. Gelisah mulai Ani rasakan saat keluarga Almarhum Ki Mujur pamit pulang. Mereka selalu datang saat sore untuk membantu mempersiapkan acara tahlil, kemudian pulang sekitar pukul sembilan malam atau kapanpun bersih-bersih selesai. Ani terbantu dengan kehadiran mereka, begitu juga sebaliknya. Tapi begitu tamunya pergi, sepi pun datang mengganti.

"Kemana sih Bapak, masa pergi ke rumah Pak Imam sampai lewat jam sembilan?" Ani bicara sendiri. Usianya dan Usia Man Mahrum terpaut sepuluh tahun, Ani adalah murid Almarhum Bahrudin sebelum dinikahi oleh Man Mahrum, sekaligus putri seorang guru di pesantren Sokogede. Langkah yang berani untuk seorang anak penjaga kubur.

TOK TOK TOK

"Nah itu datang," Ucap Ani lega. Ia segera membuka pintu dengan pakaian seadanya, karena Ani yakin yang datang adalah suaminya. Sayangnya perkiraan Ani salah.

"Cari siapa ya?" Tanya Ani sedikit takut, melihat dua orang pria bertopeng kain sarung berdiri di balik pintu. Saat itu Ia merasa harus menutup pintu dan kembali lagi setelah mengenakan kerudung, tapi entah kenapa firasatnya berkata, akan ada sesuatu yang buruk jika Ani membalikkan badan.

Benar. Salah satu dari Pria tak dikenal itu meraih celurit berkarat dibalik sarungnya, bersamaan dengan rekannya yang segera membekuk Ani sekuat tenaga. Celurit sudah setinggi kepala, tapi Ani masih diam seribu bahasa. Istri Sang Juru Kunci memang melakukan kesalahan karena membuka pintu untuk orang tak dikenal, tapi dua orang itu sudah salah perhitungan karena menyerang Ani yang sebenarnya jauh lebih sakti dari mereka.

Dengan Gesitnya Ani melepaskan belenggu lawan di leher dan perutnya. Lalu melumpuhkan pria bertopeng itu dengan membenturkan bagian belakang kepalanya tepat ke hidung. 

"Aaah!" Sontak Pria bertopeng mundur selangkah dengan tangan memegangi hidung yang patah. Sempat berhenti sejenak, Pria bersenjata tadi melanjutkan ayunan celuritnya untuk menebas leher Ani. Logam tajam melesat cepat, menebas udara yang berada satu centimeter di depan leher. Tidak diduga Perempuan itu menarik bahunya ke belakang, membuat jarak tipis antara ujung tajam celurit dan lehernya. Dan sebelum senjata itu sempat diayunkan lagi, Ani menangkap tangan lawan dengan kedua tangannya, mendorong ke bawah dan menekuk pergelangan tangan. "Uaakh!" Dan celurit itu pun jatu ke lantai.

Belum selesai. Dengan masih memegang tangan kanan lawan, Ani memanfaatkan kesempatan untuk menerjang perut musuhnya dengan kaki kanan. Pria itu terjungkal menjauh dari pintu, Sementara yang hidungnya patah kembali bangkit dan membalas perlakuan Ani dengan sebilah golok yang sudah separuh perjalanan menuju kepala. Posisi Ani saat itu berada di dalam rumah, sedangkan si hidung patah di luar. Segera setelah kuda-kudanya mantap, Ani menendang daun pintu dengan keras hingga menghimpit tangan lawan yang masih menggenggam goloknya.

Benturan dengan tangan itu membuat daun pintu terpental, dan saat kembali terbuka, Pria tadi dapat melihat goloknya telah berpindah tangan. Ani menebasnya serendah mungkin, mengincar kelemahan mutlak seorang lelaki. Sayangnya pria itu lebih dulu menghindar, dan ayunan senjata Ani pun patah. Golok itu menebas dinding pintu dan menancap dalam hingga Ani kesulitan menariknya. 

"Hehe," Si hidung patah tertawa. Ia berniat mengambil kesempatan itu untuk menyerang Ani, tapi tiba-tiba darah segar mengalir di dahinya. Ani dapat melihatnya melalui lubang mata di topeng sarung pria tersebut.

Akhirnya rubuh sudah, satu orang musuh tumbang memperlihatkan Saripudin yang ada di belakangnya. Tangan Saripudin memegang sebatang linggis yang biasa digunakan untuk membuka kelapa, kini digunakan memukul kepala. Besi hitam itu juga dilihat oleh pria kedua yang segera lari tunggang langgang.

"Bek Ani tidak apa-apa?" Tanya Saripudin.

Ani hanya mengangguk. Ketegangan belum berakhir baginya, walaupun Ia selamat dan lawannya sekarat. Dilihatnya pria yang kepalanya bercucuran darah. Terkapar tak sadarkan diri di depan pintu rumahnya. Dibukanya sarung yang menutup wajah pria tersebut, sedikit lengket karena darah tapi akhirnya tampaklah sebuah wajah.

"Din, Kamu kenal orang ini?" Tanya Ani. Saripudin mengangguk dan menggelengkan kepalanya hampir bersamaan, membuat sebuah gerakan tak karuan sama seperti batinnya yang penuh keraguan. "Ya, tidak mungkin Saya tidak kenal teman sendiri. Namanya Bunarto, Dia sering melaut bersama Saya dan," Saripudin berhenti bicara. Matanya mencari-cari ke arah mana rekan Bunarto tadi pergi. "Dan Ismail," Lanjut Saripudin.

"Tidak mungkin. Man Mahrum kemana Bek?" Tanya Saripudin yang tiba-tiba blingsatan. "Pergi ke rumah Pak Imam, sampai sekarang belum juga pulang." Jawab Ani lesu. 

Saripudin melihat kesana kemari sambil sesekali menggaruk kepala. Bingung apa yang harus dilakukan pada situasi seperti ini, dengan berbagai dugaan di kepalanya. "Obek dengar, Kita harus cari Man Mahrum sekarang. Sampean ikut, karena di sini tidak aman." Ujar Saripudin. "Orang ini gimana?" Tanya Ani. Saripudin memandangi korbannya yang bisa saja mati kehabisan darah. Ia berpikir apa yang harus dilakukannya pada Bunarto. Orang itu tidak boleh mati sebelum membeberkan alasannya menyerang Ani. 

***

Motor Man Mahrum melaju cepat di jalanan becek yang sempit dan gelap. Saripudin mengendarai tunggangan sang juru kunci, beserta Ani yang duduk di belakang.

"Kamu yakin orang itu baik-baik saja. Kamu meninggalkannya terikat di bawah pohon kelapa. Bagaimana kalau mati?" Tanya Ani yang harus berteriak demi bisa mengalahkan suara motor.

"Ada kemungkinan orang-orang itu yang menyerang Man Mahrum kemarin Bek, makanya Saya lebih khawatir sama beliau." Jawab Saripudin.

"Jadi orang-orang tadi ke rumah untuk mengincar Bapak lagi?" Ani mulai panik. Nada bicaranya mulai memasuki irama tangis. "Mereka tidak bodoh. Tidak mungkin mengincar Man Mahrum di rumahnya. Kecuali,"

"Kecuali Apa?" Tanya Ani.

"Kecuali mereka memang mengincar Bek Ani. Mereka tahu Man Mahrum sedang tidak di rumah." Jawab Saripudin.

"Apa, Mengincar Saya? Apa salah Saya, dan darimana mereka tahu kalau di rumah tidak ada orang?" Ani belum memahami maksud Saripudin sebenarnya. Sementara Saripudin bingung dengan bahasa apa Ia harus menjelaskan.

"Mungkin mereka lebih dulu bertemu Man Mahrum. Kalau itu benar dan mereka masih baik-baik saja, itu artinya Man Mahrum yang celaka." Tutur Saripudin.

Ada banyak tanggapan Ani atas analisa Saripudin tersebut. Tapi belum sempat Ia berteriak histeris karena membayangkan Suaminya mati, mendadak Saripudin menarik rem motornya hingga keduanya hampir terpeleset.

"Po, pocong." Ucap Saripudin melihat sesosok pocong yang perlahan menghilang di balik pohon. "Maaf Bek, Sampean tidak apa-apa?" Tanya Saripudin. Ani  terpaksa melompat turun demi menghindari jatuh tertindih motor. "Kita jangan berhenti din, apalagi kamu bilang melihat pocong. Ayo cepat antar Saya ke rumah Pak Imam." Seru Ani yang tidak sabar ingin memastikan bahwa Suaminya baik-baik saja.

"Tunggu!" Sahut Saripudin. Ia berjalan ke arah pohon tempat pocong tadi menghilang dan menemukan sesuatu yang tidak terduga. Cahaya lampu motor tepat menerangi pohon tersebut, memperlihatkan darah segar di sekitarnya termasuk di tanah. 

"Apa yang sudah terjadi di tempat ini? Darah ini sepertinya masih baru," Gumam Saripudin. Ia tidak menemukan seorangpun di sekitar tempat itu, tapi siapapun pemilik darah ini, Saripudin yakin tidak akan bertahan lama. "Semoga bukan Man Mahrum," Doanya.

HIYAAAH! 

Teriakan itu berasal dari kejauhan. Jauh di daerah pemukiman warga. Walaupun hanya Sayup-sayup, tapi Saripudin dan Ani dapat merasakan kegaduhan dan ketakutan dari arah timur. Tidak hanya satu atau dua orang, suara tersebut seolah mengisyaratkan bahwa.

SEISI DESA SEDANG BERTERIAK

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang