PREVIEW

22.1K 1.8K 172
                                    

DESA GENTENGAN, KECAMATAN RAGA, KABUPATEN GANDRUNG 1998


H. KARIM

H. Karim melangkah terlalu jauh. Tidak hanya pergi dari Banyusirih, ia juga meninggalkan kabupaten Pattokan. Sesuatu telah terjadi pada Desa Gentengan, desa dimana almarhum ibunya dilahirkan, sekaligus desa dimana Pak Saleh nyaris meregang nyawa.

Didampingi beberapa pengikutnya dari sumbergede, H. Karim berjalan menyusuri desa yang padat rumah, namun sepi penduduk. Tiga rumah terlihat sedang dalam perbaikan, dua diantaranya masih berupa puing-puing dengan kayu hitam bekas terbakar. Para pekerja di rumah itu menunduk menyapa, H. Karim membalasnya dengan senyuman tanpa mengurangi wajah tegangnya.

Dua ratus meter memasuki jantung desa. Hunian penduduk semakin berkurang berganti dengan pepohonan yang semakin lebat. Gentengan berada di sebelah timur hutan tambalur. Hutan raksasa yang menyelimuti Lawang Jerit. Wajar jika semakin ke dalam, gentengan justru terlihat seperti hutan belantara.

Ada sebuah rumah yang saat itu sedang dikerumuni warga. Bahkan dua orang diantaranya ada polisi. H. Karim mempercepat langkahnya. Ia disambut oleh seseorang yang segera mengenalinya walaupun H. Karim merasa belum pernah bertemu.

"Sebelah sini ustad," Kata orang berjanggut tipis itu. Ia menggiring H. Karim dan pengikutnya ke belakang rumah. Seketika, keramaian itu menjauh. Mereka memberikan ruang bagi H. Karim untuk lewat.

Di belakang rumah, H. Karim disambut oleh seorang kakek tua mengenakan odheng khas kabupaten Gandrung. H. Karim mencium tangannya, dan sesaat kakek itu tampak sangat senang. Kemudian, kakek itu menunjuk pada pintu belakang rumah, seolah ke sanalah H. Karim harus melihat.

"Tanda itu..." Tanya H. Karim. Nadanya seperti sedang menebak-nebak, namun takut akan jawabannya sendiri.

"Ini rumah ketiga minggu ini. Pemiliknya adalah Kiai Sahrul, guru sampean, sahabat abah sampean." Ujar Kakek itu.

"Jadi, kabar yang saya dengar semalam itu benar?"

"Ya, kiai dibunuh oleh seseorang yang tidak dikenal."

"Apa yang terjadi di desa ini? Kenapa seorang kiai alim seperti beliau harus dimusuhi?" H. Karim bertanya dengan penuh amarah.

"Kami bisa pastikan pelakunya bukan penduduk desa. Ya, tidak seorangpun bisa menyusup masuk ke dalam rumah yang dijaga delapan orang. Juga, tidak seorang pun yang bisa masuk, membunuh, dan kabur hanya dalam waktu kurang dari tiga menit."

"Maksud sampean, Kiai dibunuh oleh mahluk halus? Jangan bercanda! Ini pasti ulah manusia." 

"Saya melihatnya." Kata pria berjanggut tipis. "Mereka bergerak dengan cepat, tubuhnya seperti diselimuti bayangan hitam, hanya matanya saja yang bersinar merah. Tapi, kakek dan penduduk desa tidak ada yang percaya."

"Apa lagi yang kamu ketahui?" Tanya H. Karim.

"Tanda itu," Si janggut tipis menunjuk tanda silang merah di pintu rumah Kiai Sahrul. "Tanda yang sama ada di dua rumah sebelumnya, dan pemiliknya juga mati dengan cara yang sama."

H. Karim terbelalak. Ia masih bisa menahan diri agar tidak menganga. 

"Dua korban itu, apakah kerabat almarhum juga?" Tanya H. Karim.

"Bukan,"

TAPI MEREKA ADALAH SEORANG KIAI DAN SEORANG USTAD


***


DESA SUMBERGEDE, KECAMATAN BANYUSIRIH, KABUPATEN PATTOKAN 1998  


PAK SALEH

Hari sudah sore. Sudah mulai terdengar suara jerit tangis anak-anak yang dipukul ibunya karena tidak segera pulang. Biasanya, sendal karet akan melayang bagi mereka yang enggan pergi ke mushallah. Layangan Pak Saleh sudah habis. Beberapa tahun terakhir Pak Saleh sangat jarang membuat layangan. Usia tua memaksanya harus lebih banyak istirahat. Sayangnya, sore ini ia justru harus bekerja.

"Sedang apa Kak tuan?" Tanya Aluf yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

"Astaghfirullah Ning. Berapa kali saya bilang, kalau datang ucapin salam kek. Saya jadi kaget." Gerutu Pak Saleh.

"Assalamualaikum,"

"Telat! Sudah kaget! Tapi, waalaikumsalam."

"Saya bawa obat buat kak tuan. Bibi berpesan, kurangi begadang." Kata Aluf dengan wajah datarnya.

"Saya tidak begadang Ning, ini lagi benerin pintu."

"Kenapa pintunya?" Aluf penasaran. Matanya menatap pintu belakang rumah Pak Saleh, seraya menggigit jarinya dari balik cadar.

"Entahlah. Mungkin kerjaan anak iseng," Jawab Pak Saleh yang masih sibuk mengecat pintu demi menutup tanda itu.

TANDA SILANG MERAH



TIMUR TRILOGI #3 (FINAL) 

EKSEKUSI TAPAL KUDA 

COMING SOON.

(Well, not too soon hehehe)


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang