CHAPTER 18 - TEROR YANG SEBENARNYA

19.7K 2.2K 124
                                    

PAK GAMAR

Sebuah rumah kecil dengan dinding berwarna biru. Halaman luas dengan sumur kecil dan pohon mengkudu. Ada kolam ikan yang tidak ada ikannya, ada kandang ayam tapi tidak ada ayamnya. Rumah itu adalah rumah Pak Gamar.

Apalah artinya rumah megah milik kepala desa, kalau listrik saja belum terjamah. Pak Gamar harus bersabar, menabung dan berdoa semoga jalur listrik di desa segera merata. Kadang Pak Gamar iri dengan Pak Imam. Bos tambak udang itu bisa leluasa membeli barang elektronik, tanpa bingung dimana harus dapat arus listrik.

Iri itu berubah kesal saat malam datang. Karena baginya penerangan adalah kebutuhan pokok. Sampai kapan Ia dan Istrinya harus bangun malam hanya untuk menyalakan lampu yang mendadak mati.

Pak Gamar mengendap-endap, mendorong vespa yang sudah mati seratus meter sebelum rumah. Ada yang berbeda dengan gelapnya rumah Pak Gamar malam ini. "Kenapa semua lampu mati?" Gumam Pak Gamar.

Mendadak muncul rasa takut maha dahsyat yang mengguncang batin Pak Gamar. "Jangan-jangan mardiana tahu kalau Saya pulang dengan Marlena?" Kakinya gemetar, dongkrak vespa pun terasa sangat berat. Pelan-pelan Ia membuka pintu rumah dengan helm yang masih terpasang di kepala, khawatir akan ada piring yang terbang dari balik kegelapan.

"Sa, sa, sayang?" Pak Gamar menyapa kegelapan rumah. Ia mulai yakin bahwa ini adalah perangkap. Tidak satu pun lampu minyak yang menyala, bahkan di dapur dan di kamarnya. Ia menutup kembali pintu rumah, kemudian mengendap-endap dengan tangan meraba dinding.

Telapak tangan basahnya menyentuh pintu kamar, segera Ia mencari pegangan dan membukanya dengan pelan.

"Pak?" 

Pak Gamar membatalkan niatnya. Ia membiarkan pintu kamar terbuka setengah, lagipula di dalam kamar pun gelap. Sama gelapnya dengan di ruang tamu. Lalu suara itu, Mardiana memanggilnya dari ruang dapur.

"I, ibu? Ibu di dapur?" Pak Gamar memastikan bahwa bayangan yang duduk di atas kursi meja makan itu adalah istrinya. 

"Pak, tolong." Suara Mardiana lirih, seperti habis karena tangis. Rasa takut Pak Gamar menghilang saat dia yakin bahwa itu adalah istrinya dan Ia sadar sesuatu telah terjadi padanya.

Pak Gamar bergegas menghampiri istrinya. Perempuan itu sedang duduk di kursi dengan tangan terikat kawat besi. "Ibu, ibu kenapa? Siapa yang melakukan ini?" Tanya Pak Gamar yang mulai cemas.

"Ssssst!" 

Tiba-tiba terdengar suara manusia dan sepertinya Kepala Desa Leduk harus menunda aksi penyelamatannya, karena saat ini ia sendiri butuh di selamatkan. Kepala bagian belakangnya terasa dingin karena disentuh benda logam. Entah ujung pisau atau pistol, Pak Gamar tidak ingin melihatnya. Ia mengangkat kedua tangan sembari mencoba menenangkan istrinya.

"Jangan takut." Ucap Pak Gamar.

"Ambil saja apa yang bisa Kamu ambil, kecuali nyawa Kami!" Pinta Pak Gamar. Ia tidak tahu siapa yang sudah menerobos masuk ke rumahnya dan apa yang sudah orang itu lakukan pada Istrinya. Yang Pak Gamar tahu adalah, esok pagi Ia dan istrinya harus tetap hidup.

"Huhuhu Kami tidak mau hartamu Gamar, Kami hanya datang untuk berkunjung." Ujar pria misterius itu. "Kami?" Tanya Pak Gamar. Keberaniannya luntur mendengar kata ganti orang pertama jamak tersebut. Setelahnya muncul suara tawa, pelan sekali dari sekeliling ruangan. Entah berapa orang yang saat ini sedang bersembunyi di balik kegelapan rumahnya.

"Apapun mau kalian, tolong jangan libatkan istri Saya!" Pinta Pak Gamar. 

"Kamu berani memerintah kami?" Tanya pria tersebut. Seketika muncul suara logam bergesek, atau lebih seperti pelatuk yang ditarik. 

"Baik, baik. Apa mau Kalian?" Sekali lagi Pak Gamar bertanya.

"Kami ingin kamu batalkan hasil pertemuan di kantor desa tadi !" Ujar Pria itu. Kalimat ini sedikit sulit dipahami, mengingat hasil rapat sama sekali bukan hal yang penting. Setidaknya tidak terlalu penting hingga bisa menyebabkan hal secamam ini terjadi.

"Kenapa? Apa untungnya buat kalian?" Pak Gamar membagi sedikit rasa takutnya dengan rasa penasaran. "Banyak!" Jawab Pria tersebut. Tiba-tiba Pak Gamar tidak lagi merasakan sesuatu menempel di kepalanya. Pria itu mengangkat senjatanya, kemudian menjauh dan duduk di kursi yang ada di dapur.

"Membuka pemakaman untuk umum, berarti meningkatkan jumlah peziarah dari luar desa. Dan jika itu terjadi, resiko terbongkarnya rahasia desa ini akan semakin besar." Tutur pria itu. Pak Gamar tidak mengerti tentang rahasia yang dimaksud, tapi saat ia menoleh dan melalui celah jendela, cahaya bulan menyinari sekilas pakaian pria itu, barulah Pak Gamar paham siapa tamu-tamunya ini.

"Ke, ke, keputusan ta, tadi sudah bul, bul, bulat. Kalau pun harus ba, ba, batal, kami harus mengadakan rap, rap, rapat lanjutan." Ujar Pak Gamar yang mendadak kembali gagap.

"Berhenti pura-pura gagap!" Tegur Pria itu. "Selama ini cara bicaramu sengaja dibuat-buat agar kami sulit mendapat informasi darimu. Sengaja tuli agar kami percaya kamu tidak mendengar apapun. Tapi percuma! Selain mata yang rabun, kamu hanya lelaki tua bodoh yang bermimpi menjadi penguasa." Lanjutnya. 

"Sa, sa, saya." 

"Diam!" 

"Ah, bapak tolong." Bu Mardiana menangis saat sebuah pisau menempel di lehernya. 

"Tolong jangan libatkan istri saya!" Pak Gamar memohon. Air matanya mengalir deras, di mana setiap tetesnya adalah luapan amarah, takut, dan putus asa. Ia mulai mengerti, mulai memahami penyebab meninggalnya Mahfud dan kenapa sampai saat ini polisi belum mau menyelidiki.

"Andai kamu jadi kepala desa yang baik. Andai kamu tidak diam-diam memata-matai tempat Kami, menyuruh sekretarismu mengawasi setiap gerak-gerik kami, hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Dan hari ini kamu menambah masalah dengan keputusan yang kamu buat di rapat tadi!" Pria tersebut mengancam Pak Gamar. Mengingatkan sang kepala desa bahwa gelar dan kedudukannya tidak berarti apa-apa.

"Saya janji. Saya janji akan berhenti. Tolong lepaskan mardiana." Pak Gamar memohon dan menangis seperti anak kecil.

"Bagus," Ujar pria tersebut. "Lantas soal keempat makam tadi, apa Kamu juga akan membatalkannya?" Pria itu melanjutkan dengan tanya.

"Tolong, saya mohon dengan sangat. Untuk yang satu itu, biarkan keempat juru kunci tetap dengan kesepakatannya." Pak Gamar menunduk, Ia pun tidak ragu untuk bersujud. "Pikirkan juga nasib warga yang harus hidup berdampingan dengan kuburan. Hal itu tentu akan jadi terror bagi mereka."

Pak Gamar masih menangis. Iba melihat sang suami, istrinya pun memohon hal yang sama. Ia tahu Pak Gamar sangat mencintai desa ini. Walaupun terkadang warga benci dan tidak pernah menganggap serius omongan Sang Suami, tapi Pak Gamar tetap sabar dan melayani warga dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba pria misterius itu bangkit dari duduknya. Ia duduk jongkok di depan Pak Gamar, tangan kekarnya mengangkat kepala lelaki rabun itu, memperbaiki kacamatanya hingga Pak Gamar bisa melihat dengan jelas wajah pria tersebut.

"Teror?" Tanya pria tersebut. Kemudian dengan wajah bengis pria itu berkata tepat di depan wajah Pak Gamar yang kaku, matanya terbelalak melihat wajah yang sangat ia kenal. "Teror yang sebenarnya baru saja dimulai."




BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang