CHAPTER 7 - DIBUTAKAN KEYAKINAN

24.3K 2.5K 42
                                    

IMAM ILYAS

"Alhamdulillah sudah siuman," Syukur Pak Imam saat melihat Man Rusli kembali membuka mata. Pagi itu di teras rumahnya, hampir semua pekerja tambak datang berkunjung. Mereka beramai-ramai mendatangi kediaman Sang Juragan setelah salah satu pekerja menemukan Man Rusli terkapar di pinggiran sawah.

Masih dengan wajah pucat dan kepala setengah kosong. Man Rusli mencoba meraih kesadarannya sendiri. Dia dibuat pusing oleh bau minyak angin, dan bingung oleh pertanyaan rekan-rekannya. 

"Tidak usah bertanya semua! Biarkan Man Rusli tenang dulu." Pak Imam berhasil mengendalikan suasana, membuat semua yang hadir diam tak bersuara. Uli menyuguhkan segelas air putih yang segera disambut oleh Man Rusli dan diminumnya sampai habis.

"Sudah mendingan?" Tanya Uli. Man Rusli mengangguk, mengusap kumisnya yang basah karena air minum. "Makasih Nduk," ucap Man Rusli. 

"Nah, karena sekarang  sampean sudah sadar, bisakah sampean ceritakan apa yang sudah terjadi?" Tanya Pak Imam. Ia masih khawatir karena salah satu Karyawannya  ditemukan pingsan di pinggir jalan. Berbagai dugaan muncul selagi Man Rusli tak sadarkan diri. Mulai dari penyakit asma yang kambuh, kelelahan, hingga dugaan adanya perampokan.

"Keranda Mayat, juragan," Man Rusli menjawab tanpa ragu. "Saya berpapasan dengan empat orang yang membawa keranda mayat." Ia menambahkan. Mendengar pengakuan Man Rusli semua yang hadir mulai saling berbisik. Hingga pagi ini tidak satupun yang mendengar berita tentang meninggalnya salah satu warga desa. Umumnya kabar duka selalu disampaikan lewat Loudspeaker di mushallah, tapi sampai detik ini tidak terdengar apapun dari pengeras suara.

Tiba-tiba salah satu pekerja tambak duduk di samping Man Rusli dan memegang kedua pundaknya. Wajah paniknya itu cukup menular, membuat Man Rusli ikut panik mendadak. 

"Jangan bilang sampean tanpa sengaja mendahului mereka?" Tanya Pekerja tambak bernama Munir itu. Lagi, pertanyaan Munir pun menular. Mendadak semua yang mendengar mempertanyakan hal yang sama. Termasuk Pak Imam.

"Tidak," Jawab Man Rusli tegas. "Saya justru berpapasan dengan mereka. Bahkan saya mengalah dan membawa turun sepeda ke bawah trotoar." Penuturan Man Rusli sedikit membuat lega, tanpa mengurangi rasa penasaran.

"Sepertinya ini kerjaan Kalakan atau mungkin Lindung." Salah seorang pekerja tambak berpendapat. "Benar. Mereka mau menguburkan jenazah diam-diam karena ditolak oleh juru kunci," Salah seorang lagi menanggapi. "Dasar gendeng. Bukannya di desa mereka sudah ada pemakaman sendiri?" Seorang pekerja membenarkan. "Memang. Tapi untuk mayat korban pembunuhan, tindak kriminal, santet yang tidak jelas identitasnya, mereka tetap mengirimkannya ke desa kita. Terutama mayat yang tidak utuh."

Dan perdebatan pun berlanjut. Pak Imam harus turun tangan manakala para pekerja semakin ricuh. Mereka bahkan sepakat untuk mendatangi kantor Desa Kalakan dan Desa Lindung untuk melakukan unjuk rasa. Tapi sepertinya keadaan ini hanya mampu ditangani oleh Man Rusli.

"Gimana kalau Saya bilang, para pengantar jenazah itu bukan manusia?" Dan semuanya diam mendengar pernyataan Man Rusli. Ada pertanyaan di dalam kalimat tersebut, tapi Pak Imam justru menjawabnya dengan pertanyaan juga.

"Maksud sampean?" Wajah Pak Imam mulai tegang, pun wajah para pekerja tambak.

"Saya tahu ini akan terdengar mustahil. Tapi demi Tuhan Saya sadar akan apa yang Saya lihat." Man Rusli berhasil meyakinkan orang - orang bahwa kalimat selanjutnya adalah sebuah fakta. "Para pengantar jenazah itu adalah mahluk halus. Begitu juga dengan yang ada di dalam keranda. Mereka mengenakan kain kafan, dengan hanya bagian wajahnya yang terbuka." Man Rusli memperjelas ciri-ciri setan yang sudah membuatnya pingsan.

"Pocong?" Disebutnya nama itu oleh salah satu pekerja, membuat suasana semakin mencekam. Pak Imam bahkan menyuruh Uli untuk masuk ke dalam rumah, karena pembahasan selanjutnya tidak bersahabat untuk telinga gadis seumurnya. 

"Mustahil. Maaf Man Rusli, tapi hal-hal seperti itu sudah lama hilang dari desa kita. Para Juru Kunci sudah memastikan bahwa,"

"Kalian tidak harus percaya. Atau kalian boleh pura-pura tidak percaya." Seru Man Rusli sembari mengacungkan jarinya. Sedikit kesal karena kejujurannya disangsikan oleh orang-orang. "Tapi wajah kalian saat ini, andai kalian melihatnya di cermin, itu adalah wajah dengan ketakutan yang nyata. Kalian tahu itu nyata karena setidaknya salah satu dari kalian pernah melihatnya. Hanya saja kalian memilih untuk tidak percaya." Man Rusli menutupnya dengan rapi, dengan kalimat yang menusuk setidaknya separuh dari hati orang-orang yang hadir saat itu. Termasuk Sang Juragan.

Pak Imam memperhatikan wajah para pekerjanya. Air muka mereka menjelaskan sedikit dari banyak hal yang disembunyikan. Mungkinkah sebenarnya hantu keranda itu sudah lama berkeliaran? Hanya saja warga yang melihatnya memilih bungkam, menipu pikirannya dengan doktrin bahwa Juru Kunci, Pahlawan mereka itu tidak pernah salah. Tidak pernah lengah.

"Sudah hampir jam delapan. Saya tidak mau udang di tambak kelaparan gara-gara kalian sibuk membahas hantu berbentuk bungkusan." Ujar Pak Imam. Sang Juragan mengusir dengan halus para anak buahnya. Mengingatkan mereka akan tanggung jawabnya sebagai pekerja tambak.

Keramaian di rumah Pak Imam pun bubar. Beberapa tampak berjabat tangan dengan Man Rusli. "Segera sembuh Man. Pulihkan dulu tenaga Sampean. Pekerjaan ditambak biar kami yang tangani." Ujar Mufin, salah satu pekerja tambak yang masih muda.

Sepi. Rumah Pak Imam kembali seperti pagi-pagi semestinya. Man Rusli juga sudah mampu berdiri tegak. Pusing di kepalanya sudah hilang dan Ia pun pamit untuk pulang.

"Segera pulih Man." Pak Imam memberikan santunan berupa uang pada Man Rusli. "Apapun yang sampean lihat Saya percaya. Tapi sepertinya ini akan jadi beban pikiran para pekerja untuk beberapa hari kedepan. Saya harap kehadiran Sampean di tambak bisa meredakan ketakutan mereka." Harapan dari Pak Imam. Man Rusli mengerti. Ia hanya butuh istirahat satu hari, setelah itu Man Rusli akan kembali ke Tambak Udang dan memulai penyelidikan. Menyelidiki sebuah fakta yang sedikit demi sedikit terungkap.







BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang