CHAPTER 33 - PENGHUNI SEBELUM MEREKA

20.2K 2.2K 189
                                    

MAN MAHRUM

Ada alasan kenapa para ibu memilih tidak hadir di acara doa bersama tadi siang. Begitu juga dengan anak gadis dan beberapa orang tua. Alasannya adalah acara tahlilan Ki Mujur dan Ki Rozak. Sudah jadi kebiasaan di desa, saat ada tetangga yang meninggal, maka tetangga yang lain akan datang membantu mempersiapkan tahlilan sampai hari ketujuh.

Sebagian besar tugas para perempuan ada di dapur. Hanya segelintir yang memilih menata terpal di halaman rumah, sekaligus menyiapkan pengeras suara. Harusnya tugas tersebut dikerjakan oleh laki-laki, andai saja hari ini tidak ada acara di lapangan kasti.

Beberapa saat setelah adzan maghrib. Salah seorang warga yang pulang lebih dulu dari lapangan segera menuju kediaman Man Mahrum. Tujuannya sudah jelas, perempuan itu datang membawa banyak cerita, walaupun hanya sedikit yang Dia mengerti. Apa yang terjadi di lapangan kasti memanglah sebuah tragedi, tapi cara perempuan tersebut bercerita, seolah-olah di sana sedang terjadi pesta bunuh diri.

Akhirnya semua jadi kalang kabut. Pasukan dapur mengabaikan posisinya masing-masing, walaupun medan tempur masih berasap dan berapi. Puluhan nama disebut bergantian, semuanya menanyakan kabar kerabat  yang tadi siang pamit ke acara doa bersama. Tidak banyak yang mereka harapkan, hanya sebuah jawaban bahwa di sana tidak ada korban jiwa.

Gaduh mulai mereda manakala nama Man Mahrum, Ustad Mahrus, dan aparat polisi muncul di percakapan. Setidaknya ada yang mengurus korban kesurupan di sana, pikir sebagian ibu-ibu. Sebagiannya lagi tetap bersikukuh untuk pulang, dan memastikan bahwa keluarganya baik-baik saja.

Tidak lama kemudian, datanglah becak yang membawa Man Mahrum dan Pak Saleh. Menyusul di belakangnya adalah Saripudin, Anto, Pak Awang dan seorang polisi bernama Syakur. 

"Bu Mar, sebaiknya Ibu segera ke rumah sakit. Kondisi Pak Gamar agak mengkhawatirkan." Kata Pak Awang pada istri Pak Gamar. "Astaghfirullah, Rumah sakit? Kok bisa?" Tanya Ibu Kepala Desa yang masih menggenggam ulekan di tangan. Selain kaget, ada raut sedih di wajah Bu Mardiah. "Soalnya Pak Kades...," Pak Awang  berhenti bicara saat Pak Saleh tiba-tiba merangkul bahunya sambil tertawa, "Huahahaha, Sampean jangan pulang dulu ya! Habis ini antarkan Saya ke rumah," Ujar Pak saleh.

"Anu Bu Mar, Pak Gamar terluka saat melerai orang-orang yang kesurupan." Jawab Pak Awang. Dia adalah orang yang cerdas, dan itu adalah jawaban yang tepat jika Pak Awang ingin kembali ke desa dengan selamat.

"Apa Suami Saya ada di sana?" Tanya Bu Ilmi yang datang bersama Uli. Istri dan anak Pak Imam tersebut tampak sangat khawatir. 

"Pak Imam langsung pulang Bu. Jangan khawatir, beliau tidak apa-apa. Malah Pak Imam banyak berjasa pada Kita." Jawab Saripudin yang sedang menggandeng istrinya, tapi matanya masih sempat melirik istri muda almarhum Ki Mujur.

Diantara ungkapan khawatir para kaum dapur, hanya Istri Man Mahrum yang tampak tenang memapah sang suami, menggantikan Pak Saleh yang sudah memapah Man Mahrum sejak tadi. Man Mahrum sadar, matanya terbuka walaupun pandangannya masih kosong. Juru Kunci itu dibawa ke dalam rumah untuk beristirahat. Sebelum pergi Man Mahrum berkata, "Pak Saleh jangan pulang dulu. Ada yang ingin saya bicarakan."

"Kita juga harus berterima kasih pada Man Mahrum. Entah kenapa firasat Saya berkata, Beliau punya peran penting di lapangan kasti barusan." Ujar Saripudin.

Akhirnya keadaan kembali sebagaimana mestinya. Dapur kembali ramai, Saripudin, Anto dan warga lain pun bersiap untuk acara tahlilan. Mereka sepakat memulainya setelah shalat maghrib berjamaah.

...

"Sudah sadar?"

Suara itu yang pertama kali Man Mahrum dengar, saat matanya yang sudah terbuka kembali berfungsi seperti semula. Mula-mula terlihat samar, tapi semakin Man Mahrum berkedip, semakin jelas sosok Pak Saleh sedang duduk di sampingnya.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang