CHAPTER 30 - TERIAKAN KEDUA

17.9K 2K 31
                                    

ANTO

"Percuma, Pak Kades juga kesurupan." Kata Anto setelah mendapati Pak Gamar yang sedang duduk jongkok di pinggir lapangan. Di saat warga sangat membutuhkannya, Kepala Desa justru terdiam kaku bersama sebuah kalimat yang sejak tadi dia ucapkan dengan wajah takut.

"Berhenti! Suruh berhenti!" Suaranya bergetar dan hampir tidak terdengar. Pipi kanan dan kirinya merah karena berkali-kali ditampar. Anto terpaksa melakukannya tapi Pak Gamar tak kunjung sadar.

"Kalian berdua jaga Pak Kades, terus Kamu," Anto menunjuk salah seorang jamaah. "Kamu cari seseorang yang bisa mengatasi kesurupan. Saya sendiri mau mencari Man Mahrum." Pungkas Anto. "Sekarang!" Anto berteriak karena orang yang Ia tunjuk, justru termenung di tempat.

Anto beranjak pergi meninggalkan Pak Gamar, menerobos keramaian jamaah yang semakin tidak karuan.

"Panaaaas, telinga Saya panaaaas." Tangis salah seorang jamaah yang sedang tengkurap di tanah sambil menutup kedua telinga. Di sekelilingnya ada kerabat yang berusaha menenangkan, tentunya dengan cara yang asal-asalan.

"Berhenti!" Tiba-tiba Anto dikagetkan oleh seorang Warga yang menarik bajunya dari belakang. "Berhenti! Berhenti! Tolong berhenti!" Pinta seorang Ibu yang matanya sembab dan pipinya basah oleh air mata. Hidungnya berair seolah rintihannya barusan berasal dari penderitaan yang sangat dalam.

Baju Anto baru bisa dilepaskan setelah beberapa orang berusaha memisahkan Anto dari jamaah ibu-ibu yang sedang menangis tersebut.

Anto melanjutkan perjalanannya mencari Man Mahrum. Ia tidak ingin matanya melewatkan orang yang paling dibutuhkan warga saat ini. "Sial, kemana Man Mahrum saat sedang dibutuhkan begini. Juru Kunci yang satu itu memang tidak bisa diandalkan." Gerutu Anto.

Tangannya menyibak, menepis, menarik dan mendorong siapapun yang menghalangi jalan. Hanya saja langkah Anto berhenti saat melihat seorang anak kecil yang juga mengalami kesurupan. Ayah, Paman, atau siapapun yang mendapmpingi anak itu tampak sedang membisikkan ayat-ayat suci di telinga si anak. Sayangnya itu dilakukan sembari menindih tubuh si gadis.

"Hei, hei, hei! Kalau begitu dia bisa mati!" Tegur Anto seraya mendorong pria yang sedang duduk di atas gadis tersebut. "Sampean gendeng apa ghileh? Bawa anak itu ke sana, ke pinggir lapangan!" Seru Anto sambil menunjuk ke tempat sepi di pinggir lapangan. Sial sekali, jari yang Anto pakai untuk menunjuk barusan harus segera ia tarik dari posisinya.

"Aaaaaah!" Anto berteriak kesakitan lalu meniup jari telunjuknya yang tiba-tiba saja digigit oleh seorang jamaah lain korban kesurupan.

"Maaf, maafkan Istri Saya Kang." Ucap seorang bapak yang sedang menarik tubuh istrinya di tanah. Bapak itu merasa kesulitan karena sang istri tetap berontak dan memilih merangkak sembari menggigit siapapun yang mendekat.

"Kesurupan monyet lapar kah?" Gerutu Anto dalam hati. Beruntung saat itu Anto bertemu seseorang yang Ia kenal, setidaknya orang itu bisa dipercaya untuk sebuah tugas.

"Din! Kamu lihat Man Mahrum?" Tanya Anto pada Saripudin yang baru saja hendak kabur dari lapangan kasti. "Tidak ada di sini tah?" Saripudin balik bertanya. "Kalau ada Saya tidak mungkin nanya!" Anto mulai kesal. "Sekarang Kamu jemput Man Mahrum, ceritakan apa yang sedang terjadi di sini! Kita sangat butuh bantuan beliau." Tegas Anto pada Saripudin.


SARIPUDIN

Hal terbaik dari peristiwa ini adalah, Saripudin bisa memilih sepeda mana yang akan Ia bawa pergi. Tidak satupun yang keberatan karena cobaan ini sudah cukup berat bagi warga.

"Minggir!" Teriak Saripudin pada Warga yang lalu-lalang di hadapannya. Hampir saja Ia menabrak dua orang jamaah yang sedang menggotong perempuan korban kesurupan. Beruntung dua orang itu segera minggir, jadi tabrakan bisa dihindari. Sialnya mereka menjatuhkan perempuan yang digotong tadi, hingga tersungkur ke tanah dan nyaris dilindas Saripudin.

"Guendeng!" Umpat Saripudin.

Ia kembali mengayuh sepedanya menyusuri pinggir lapangan hingga sampai ke pinggir jalan. Sebagian pedagang sudah pulang, hanya dua orang yang masih tinggal dan membantu menyelamatkan warga yang kesurupan. Sementara Polisi yang sejak tadi berjaga di pinggir jalan, Akhirnya turun tangan. Mereka berlari memasuki lapangan kasti, berpapasan dengan Saripudin yang hendak meninggalkan lokasi.

"Harus kemana Saya mencari Man Mahrum?" Pikir Saripudin.

Tepat sebelum ban sepedanya menyentuh aspal, Saripudin berhenti mengayuh dan menoleh ke belakang. Suara dzikir tidak lagi terdengar dari pengeras suara, digantikan oleh suara Pak Awang yang mulai lelah menenangkan Warga. Semakin lelah karena Pak Awang pun harus menghindari batu-batu kiriman kakek di bawah panggung.

"Masya Allah, seperti ini kah kiamat?" Gumam Saripudin.

Tidak seorangpun yang duduk termangu dalam situasi tersebut. Semua sibuk pada perannya masing-masing, Saripudin pun bertekad untuk membantu. Bagaimanapun caranya Ia harus menemui Man Mahrum. Saripudin bukan tipe pria yang bisa bersantai saat yang lain berusaha mati-matian. Tidak seperti pria berikut ini.

EDO

Waktunya menyalakan senter. Jalan mulai gelap dan berkabut, sedikit becek karena hujan semalam. Menuju mushallah berarti harus melewati jalan berbatu hingga berubah menjadi aspal. Ini akan lebih muda andai saja Edo punya sepeda.

"Ah buat makan sehari-hari saja susah," Gerutu Edo. Hasilnya menjaring ikan memang cukup menghidupi Edo dan Ibunya, tapi untuk menabung demi mempersiapkan masa depan, sepertinya butuh waktu yang sangat lama. Edo hanya berharap wanita itu mau menanti, meski harus penantian panjang. Siapa lagi kalau bukan Marlena, oh Marlena.

Edo kembali bernyanyi, ini lagu ketiga sejak ia melangkah keluar rumah. Suaranya tidak merdu seperti saat mengumandangkan Adzan, tapi Edo bangga. Setidaknya cukup menghibur perjalanannya menuju Mushallah.

Edo sengaja tidak ikut doa bersama, karena Ia bertugas sebagai Muadzin untuk Shalat Maghrib. Seperti biasa, perjalanan Edo selalu santai, selalu lancar, aman dan terkendali.

"Mau kemana Do?" Tanya seorang petani tua yang baru pulang dari sawah. "Biasa Kang, ke Mushallah." Jawab Edo. Mereka berpapasan, dua orang yang berbeda profesi dan berbeda tujuan. Kalaupun ada yang sama, yakni mereka sama-sama tidak merasakan hiruk-pikuknya lapangan kasti saat itu.

"Mari Kang," Sapa Edo, lalu kembali melanjutkan perjalanannya dengan santai, dengan sebuah lagu yang sebenarnya liriknya tidak dia hafal. Jalan becek mengotori kaki Edo, itu berarti Ia harus membersihkannya lagi sebelum naik ke Mushallah.

"Ah seharusnya Saya bawa sepedanya Azwar saja. Tapi barusan pintu rumahnya dikunci, sepedanya juga tidak ada. Apa mungkin dia ikut doa bersama? Ah tidak mungkin, dia kan tidak bisa ngaji." Edo bicara sendiri.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang