CHAPTER 12 - PISANG REBUS SOFIA

21.3K 2.3K 235
                                    

BU ILMI

Memasak bukan tugas, bukan juga kewajiban Uli. Gadis itu selalu dijauhkan dari dapur karena di tangan Uli tempe goreng pun akan terasa hambar. Jika ada sepuluh pekerjaan ibu rumah tangga, maka Uli hanya mampu melakukan lima dan hanya tiga yang selesai dengan benar.

Pagi ini berbeda. Uli ada di dapur. Sejak subuh sudah memaksa Ibu untuk membantu. Sepertinya kepulangan sang kakak yang jadi pengaruh. Sedangkan Bu Ilmi hanya berharap Uli tidak salah membedakan garam dan gula. 

"Masak kok sembunyi?" Tanya ibu melihat jarak Uli dan kompor yang cukup jauh. Merasa itu adalah ledekan, Uli menjawab dengan bibir maju ke depan. "Minyak sama telurnya meledak-ledak Bu, kayanya kita harus beli kompor baru." Ucapnya polos. Bu Ilmi hanya tersenyum kemudian melihat angka sepuluh tepat di ujung jarum jam.

"Ulfa, bangunkan mbakmu!" Mendengar perintah Ibu, si bungsu yang sedang asik menggambar di ruang tamu pun langsung beranjak ke kamar kakaknya. "Tadi pagi Mbak sudah bangun kok Bu, mungkin masih lelah jadi tidur lagi." Ujar Uli. "Iya, tapi ini sudah jam sepuluh. Mbakmu belum sarapan." Bu Ilmi khawatir. Mereka berdua melanjutkan kegiatannya di dapur, sementara Ulfa butuh lima menit sampai pintu kamar kakaknya terbuka.

"Hmmm sedap sekali baunya." Ucap Yayuk saat membuka pintu. Ia duduk jongkok lalu memeluk Ulfa yang masih  berdiri di depan kamarnya. "Siapa yang barusan berisik? Siapa?" Goda Yayuk sambil mencium pipi adiknya. "Kakak bau," Kata Ulfa.

"Yayuk makan dulu, setelah itu langsung mandi!" Seru Ibu dari dapur. Yayuk menjawab "Iya bu." Bersama Ulfa dan tak lupa juga Sofia, Yayuk ambil posisi di meja makan. Sudah tersedia nasi jagung dan ikan asin tapi belum cukup membuat Yayuk berselera. Barulah ketika Uli datang dengan telur dan tempe goreng, Nafsu makan Yayuk mulai bangkit.

"Kamu yang masak dek?" Tanya Yayuk. "Iya donk Mbak Aku kan calon istri idaman." Uli sumringah. "Makanya Mbak cepet lulus, biar cepet nikah," Tambahnya. Mendengar itu Yayuk melirik Sofia, sahabatnya tersenyum dibalik tiga jari tangannya.

"Ini." Bu Ilmi meletakkan sepiring pisang rebus di meja, tepat di depan Sofia. Gadis itu tersenyum. Tidak disangka Bu Ilmi masih ingat makanan favorit Sofia. "Terima kasih Bu," ucapnya. Layaknya kucing liar Yayuk menerkam pisang rebus itu. Tapi saat hendak mengupas potongan kulit kedua, Bu Ilmi menegurnya.

"Yayuk," Ucap Bu Ilmi dengan nada rendah dan alis yang meninggi. Yayuk pun mengembalikan pisang rebus tersebut sambil tersenyum malu.

Akhirnya sarapan dimulai walau telat dua jam dari biasanya. Pak Imam selalu bangun pagi dan sepagi itu juga Bu Ilmi menyiapkan sarapan. Hanya saja hari ini Pak Imam harus rela sarapan sendiri dengan lauk ikan asin, karena keluarganya ingin sarapan bersama dengan Yayuk. Walau harus menunggu hingga pukul sepuluh.

Ulfa mengabaikan buku gambarnya. Ia menikmati tempe goreng dan nasi jagung di piring kecilnya. Sembari mengunyah, Si Bungsu mencuri pandang ke arah Sofia. Sahabat kakaknya itu selalu terlihat mengantuk. Seringkali Ulfa merasa Iba karena merasa orang tuanya tidak suka pada Sofia. Tapi sejak kedatangannya ke rumah ini pada liburan dua tahun lalu, Ulfa tahu Sofia adalah sosok kakak yang baik.

Menyadari dirinya sedang diperhatikan, Sofia menoleh. Ia tersenyum pada Ulfa, senyum manis yang membuat Gadis kecil itu ingin membalasnya semanis mungkin. Hanya saja Ulfa bingung, bagaimana caranya mengeluarkan gigi taring sepanjang itu. Dan mata yang hanya tampak bagian putihnya saja, pasti ada trik tersembunyi yang bisa Ulfa pelajari dari Sofia.

"Bapak mana Bu?" Tanya Yayuk sambil mengunyah. "Sudah berangkat tadi pagi." Jawab Bu Ilmi. "Mbak kita jalan-jalan ke pantai yuk!" Ajak Uli yang tampak sibuk memisahkan kuning dan putih telur. Sengaja ia lakukan karena adiknya hanya mau makan bagian kuningnya saja. "Boleh, sekalian kita jenguk Bapak di tambak," Usul Yayuk.

"Pagi ini Bapak tidak pergi ke Tambak, soalnya ada tetangga kita yang meninggal." Ujar Bu Ilmi. "Lagian mata kamu kenapa merah gitu? Ada lingkaran hitamnya juga." Yayuk tidak terkejut. Ia tahu Ibunya sangat peka akan perubahan anaknya. Sedikit goresan di leher, Bu Ilmi sudah bisa melihatnya dari jarak lima meter.

Sayangnya Yayuk harus berbohong. Ia melirik Sofia dan sepertinya Sofia pun punya pendapat yang sama. Tidak mungkin menceritakan pengalaman mengerikan mereka semalam, di meja makan, pada Bu Ilmi, Uli, terutama Ulfa. "Tidak nyenyak tidur, panas Bu. Cuaca di sini beda sama di kota. Sofia aja tidur cuma pakai dalaman." Tutur Yayuk. 

"Hmmm. Nanti malam jendelanya dibuka saja, jangan lupa bakar anti nyamuk du," Bu Ilmi memotong kalimatnya sendiri, karena wajah Yayuk mendadak pucat pasi. Begitu juga dengan Sofia. Bu Ilmi tidak akan mengerti betapa takutnya Yayuk mendekati jendela kamar, apalagi membiarkannya terbuka semalaman.

"Oh iya bu, siapa yang meninggal?" Tanya Yayuk. Pertanyaan bodoh tapi berhasil mengalihkan perhatian Bu Ilmi dari wajah Yayuk. "Hmmm setahu Ibu dia sekretaris di kantor desa. Kalau tidak salah namanya Pak Mahfud. Kenapa?" Bu Ilmi balik bertanya.

"Ah Ibu sama Mbak ngomong terus. Kata ustadah kalau makan gak boleh ngomong," celetuk Ulfa. Gadis kecil itu merasa terganggu dengan etika orang dewasa di meja makan. Akhirnya semua mengalah. Sambil tersenyum Yayuk menjawab "Iya ustadah kecil." Dan mereka pun menikmati sarapan dengan damai, di meja makan dengan lima kursi dan empat piring nasi.


BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang