CHAPTER 52 - ORANG YANG BENAR - BENAR BAIK

20.1K 2.2K 270
                                    

Salah memilih pemimpin sama buruk dengan salah memilih perahu. Sehandal apapun pengemudinya, dia tidak akan membawamu sampai ke tempat yang kau tuju.

ISMAIL

"Ya Tuhan, Saya tidak menduga akan jadi serunyam ini." Tangis Ismail yang sejak tadi sedang dalam persembunyian. Tendangan dari Istri Man Mahrum membuatnya tidak bisa berlari jauh dan memilih berlindung di tepian muara. Mail tahu tidak mungkin ada yang menemukannya di sana, setidaknya sampai pagi datang.

Ia melipat celana kainnya setinggi lutut, kemudian turun ke pinggiran muara bermaksud membasahi muka. Dinginnya air mengejutkan Mail, tapi mampu melemaskan urat - uratnya yang sedari tadi tegang. Sekarang saat wajahnya mulai terasa segar, Mail justru melihat wajah orang mengapung di permukaan muara. Satu, dua, tiga wajah sekaligus.

"Astaghfirullah," Mail terkejut dan segera naik ke atas. Tentu saja Ia tidak tahu musibah apa yang sedang di alami warga di jembatan gantung, hingga banyak tubuh manusia mengambang mengikuti arus.

"Ternyata di sini juga tidak aman." Kata Mail. Ia beranjak naik ke jalan setapak di atas bukit, bermaksud mencari tempat persembunyian baru. Permukaan tanah saat itu sedang licin karena hujan kemarin. Mail tergelincir. "Aaah!" Tubuhnya kembali ke tempat semula, setelah berguling sebanyak tujuh kali dan berakhir membentur batu.


BUNARTO

Lain Mail, Lain Bunarto. Mengemban tugas yang sama tapi mendapat nasib berbeda. Bunarto siuman secara mengejutkan. Kepalanya pusing dan terasa sangat ringan. Darah tidak hanya keluar dari kepala, tapi juga hidungnya. Bunarto pernah mendengar tentang keadaan seperti ini, keadaan dimana orang menderita gejala gegar otak. "Tai lah! Siapa yang mengikat Saya di sini!" Protes Bunarto.

Kedua tangan Bunarto diikat pada batang pohon kelapa, tepatnya di pinggir pantai. Tidak banyak warga yang lalu lalang di sekitar sana, jadi kemungkinan Bunarto diselamatkan sangatlah tipis. Kecuali Ia berteriak.

"Tolooong!"

Langkah yang berani, mengingat bisa saja yang datang adalah keluarga Man Mahrum. Itu sama saja dengan bunuh diri.

TOLONG?

Bunarto mendengar suara orang sedang menjawab rintihannya. "Iya, tolong Saya." Jawab Bunarto. "Tidak," Lanjutnya seolah mememperbaiki jawaban sebelumnya. Ia tahu tidak mungkin ada orang di atas pohon kelapa, dimana suara tadi berasal. "Tidak, jangan ganggu saya. Jangan sekarang," Rengek Bunarto. Ia menyesali dan mengutuk tugas ini. Kemarin dalam misi yang sama di kebun pisang, Ia dan Mail harus lari terkencing - kencing. Tugasnya menghabisi Man Mahrum terpaksa ditinggalkan karena melihat pocong di kebun pisang. Sekarang, apa lagi yang harus Bunarto lihat? Kuntilanak?

BUK!

Buah kelapa jatuh di hadapan Bunarto, tepat di depan mata Bunarto. Baru kali ini Ia melihat buah kelapa yang melihat balik ke arahnya, dengan mata yang melotot, yang kemudian menyadarkan Bunarto bahwa yang jatuh adalah sebuah kepala. Bukan kelapa.


***

MAN MAHRUM

Tidak ada lagi yang tersisa darinya, kecuali telinganya yang penuh dengan darah yang mulai mengering. Man Mahrum masih bisa mendengar deru mesin, tapi jauh sekali. Suara yang terasa sangat tipis yang membuatnya menerka - nerka entah masih hidup, atau memang sudah mati. Berbeda dengan suara bisikan yang sejak tadi menemani Man Mahrum menunggu putusan ajal. Seolah masih mengajak Man Mahrum bicara, sebagai teman terakhir yang Ia punya.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang