CHAPTER 23 - DI BAWAH PERMUKAAN

20.6K 2.2K 35
                                    

IMAM ILYAS

Beberapa saat sebelum listrik hidup kembali. Malam itu sedikitnya ada delapan cahaya lampu senter, menyuluh delapan sisi yang berbeda. Bergantian dari dinding, pagar, langit, permukaan tanah dan permukaan air, lalu ke dinding lagi. Tidak mencari apapun, itu hanyalah bentuk usaha para penjaga tambak demi memastikan orang asing tidak menerobos masuk, memanfaatkan gelapnya tambak udang malam itu.

"Bukankah Saya pernah meminta agar kawat yang bengkok segera diperbaiki?" Tanya Pak Imam. "Kenapa sekarang yang bengkok bertambah banyak? Bahkan ada yang putus." Keluhnya sembari menyoroti barisan kawat berduri di atas pagar, di sebelah barat. Rintik hujan yang mulai melemah, jatuh diantara kawat-kawat yang patah seperti baru saja dipotong seseorang.

Merasa bertanggung jawab, Man Rusli segera meminta maaf. "Maaf Juragan. Harusnya kemarin Saya perbaiki sendiri, bukan malah menyuruh teman-teman." Ucapnya penuh sesal. Para penjaga tambak yang kebetulan ada di sampingnya saling pukul punggung dan pantat. Disaat Man Rusli menanggung dan menjawab, yang lain sibuk saling menyalahkan.

"Segera diperbaiki Man Rusli! Sampean bisa pakai sisa kawat di dekat gudang." Ujar Pak Imam yang kemudian pergi menuju menara jaga.

Bangunan setinggi kurang lebih tujuh sampai sembilan meter itu berada di sudut tambak bagian barat. Tangga besi mengitari tiang pondasi, menuju sebuah pos jaga di puncaknya. Ada sebuah lampu sorot di pos yang saat ini sedang menyala, bergantian menerangi kolam demi kolam. 

Saat itu hujan sudah mulai reda, berganti gerimis dan angin yang mulai bersahabat. Pak Imam menaiki tangga demi tangga menara jaga, hingga akhirnya sampai di puncak. Di sana sudah ada Mufin dan Parman, bergantian mengoperasikan lampu sorot dan membuang air hujan yang menggenang di lantai pos jaga, karena atapnya bocor.

"Kenapa kincir air di kolam paling barat mati?" Tanya Pak Imam, setelah melihat sendiri kincir gawang di kolam barat sama sekali tidak berputar.

"Kami tidak tahu Juragan. Begitu listrik mati, sesuai perintah juragan, kami langsung menyalakan genset, tapi Kincir Gawang di barat memang tidak mau menyala. Karena itu jalurnya kami pakai buat lampu ini." Jawab Parman. Pemberi pakan yang kebetulan menggantikan saudaranya sebagai penjaga malam.

"Haduh, ini pasti gara-gara listrik mati." Keluh Pak Imam seraya membuka penutup kepala jas hujannya.

"Anu Juragan, apa benar Ki Mujur dibunuh orang?" Tanya Mufin. Parman yang sedang serius mengarahkan lampu sorotnya ke sekeliling tambak, mendadak berhenti karena Ia juga penasaran.

"Sepertinya begitu. Saya dan Man Rusli akan segera ke sana kalau urusan di tambak ini selesai." Jawab Pak Imam. "Kalian jangan mikir yang lain dulu, fokus sama tugas masing-masing! Bulan ini saja sudah tiga kasus pembobolan yang terjadi di tambak, Saya tidak mau terjadi yang keempat." Tegas Pak Imam.

Sang Juragan memperhatikan keadaan tambak udang. Lima kolam berukuran sedang, berjejer dari timur ke barat. Empat kincir air di setiap kolam yang masing-masing  kolam dikelilingi setidaknya empat lampu tiang. Ada pagar besi melintang yang memisahkan kolam paling timur dengan sebuah halaman luas, dimana tumpukan kayu, karung dan beberapa tong kosong berbaris rapi. Ada sebuah gudang besar di timur halaman tersebut, gudang tempat menyimpan pakan udang dan perlengkapan tambak lainnya. 

Terakhir, di timur gudang itu ada halaman parkir, kantor, dan gerbang timur yang hanya dibuka dua minggu sekali. Sesuai tugasnya masing-masing, hanya petugas pemberi pakan yang punya ijin mendekati gudang, itupun hanya untuk mengambil pakan udang. Teknisi datang satu minggu sekali, dan hari ini tepat tiga bulan sejak terakhir kali tambak udang memiliki staf administrasi dan seorang satpam. Pak Imam membiarkan posisi itu kosong, setelah tiga bulan lalu dua orang staf dan seorang satpam mendadak mengundurkan diri, bersamaan, tanpa alasan yang jelas.

Selesai melihat-lihat, Pak Imam kembali turun. Tidak lupa Ia menepuk pundak Mufin dan berkata, "Lanjutkan!" Katanya tanpa melihat.

Mufin dan Parman saling memandang wajah. Mereka punya alasan kuat kenapa menanyakan kabar kematian Ki Mujur. Parman memutar lampu sorotnya untuk memastikan alasan itu masih di sana. Cahaya Lampu sorot berputar melawan arah jarum jam dan berakhir di selatan, melewati gerbang tambak, dan berhenti di Astah Berek.

Di sana, masih ada bayangan putih melompat-lompat. Sebagian berjalan, sebagian lagi hanya tampak kepala di atas gundukan tanah. Jumlah bayangan itu cukup banyak, mungkin sebanyak jumlah kuburan. Selama bekerja di tambak, ini pertama kalinya mereka melihat pemandangan seperti itu di astah berek. Jika memang itu adalah mahluk yang sama dengan yang Mufin lihat, itu artinya musibah telah menimpa Ki Mujur.

Man Rusli. Si Kumis tebal itu berdiri di samping kolam barat, Ia memperhatikan riak permukaan air. Satu-satunya kolam yang airnya tenang, karena kincirnya mati. "Apa, apa yang Saya lihat barusan?" Tanya Man Rusli pada dirinya sendiri.

Lamunan Man Rusli berhenti saat Mufin dan Parman tanpa sengaja mengarahkan lampu sorot menara tepat di wajah Man Rusli. Si Kumis tebal itu tidak banyak bereaksi karena masih termenung memandangi permukaan air. Hanya cahaya lampu sorot yang sedikit goyang dan kemudian berpindah arah. Rupanya Mufin dan Parman sadar bahwa mereka salah sasaran dan tergesa-gesa memutarnya.

"Tidak, tidak," Gumam Man Rusli, seolah menolak untuk percaya pada sesuatu. Ia berjongkok kemudian mendekatkan wajahnya pada permukaan kolam, tapi baru beberapa detik ia lakukan, tiba-tiba lampu tambak kembali menyala, membuat tempat itu terang benderang dan membuat para penjaga berteriak girang.

"Sedang apa sampean di situ?" Tanya Pak Imam.

Man Rusli berdiri, tapi caranya menyambut sang juragan seperti orang canggung dan sedikit ketakutan. Ia bahkan membersihkan lututnya yang sama sekali tidak kotor, kemudian barulah Man Rusli menjawab. "Tidak, tidak ada Juragan. Hanya memeriksa motor kincir yang mati," Man Rusli memberi alasan.

"Oh," Pak Imam mengangkat kepala hingga dagunya hampir sejajar hidung Man Rusli. Kemudian dengan tatapan curiga Ia berkata, "Ya sudah. Berhubung listrik sudah nyala, sekarang kita pergi ke selatan. Saya penarasan dengan apa yang terjadi di sana."

Man Rusli mengangguk. Ia mengikuti Pak Imam dari belakang. Sepanjang jalan menuju gerbang, sudah empat kali Man Rusli menoleh ke belakang. Matanya seolah merekam tempat dan posisinya berdiri tadi. "Saya pasti salah lihat!" Dalam hati Man Rusli meyakinkan diri.

Setelah memberi pengarahan, Pak Imam dan Man Rusli berpamitan. Kali ini Man Rusli pergi bersama Pak Imam dan menitipkan sepeda jangkriknya di tambak. 

Wajah para penjaga tambak saat membuka gerbang, seolah mereka akan membuka kandang macan. Man Rusli tahu arti ketakutan mereka, karena Ia juga melihat apa yang ada di seberang, di depan gerbang tambak, di pemakaman Astah Berek. Hanya saja dari sejak mereka datang tadi, hingga saat ini akan pergi, Pak Imam sama sekali tidak berkomentar apa-apa tentang pocong-pocong di pemakaman.

Entah sang juragan adalah pemberani, sangat-sangat berani, atau memang Pak Imam sama sekali tidak bisa melihat. 

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang