CHAPTER 0 - KERANDA TANPA KAKI

25.8K 2.3K 378
                                    

NARIDIN

Desa Lindung. Desa paling barat dari Kecamatan Banyusirih, dan terakhir sebelum memasuki kecamatan selanjutnya. Tidak seluas Kalakan dan Sumbergede, tapi Lindung adalah desa dengan ladang tebu terbesar di Banyusirih; ketiga se kabupaten. Jalur Lori pengangkut tebunya pun masih aktif. Mengular dari Kota Asembalur, terus ke timur melintasi Lindung dan Kalakan. Lori tidak lagi beroperasi di Sumbergede setelah ditutupnya jembatan Lori yang melintasi hutan.

Selain bertani, mata pencaharian penduduk Lindung adalah beternak. Ada sebuah lapangan sepak bola di pusat desa yang memisahkan area ladang tebu dan kompleks perumahan warga. Jika sedang tidak ada turnamen antar desa, maka para Sapi akan mencari makan di sana. Tidak heran jika lapangan Lindung adalah yang terburuk di kecamatan, tidak ada yang senang bermain di lapangan gundul. 

Menyusuri jalan setapak diantara lapangan dan ladang tebu, terus ke timur sampai melewati gawang, ada sebuah rumah kecil tepat di depan sebuah pembuangan sampah. Rumah terbuat dari kayu, bilik bambu, dan kumpulan kertas serta kain bekas yang sudah jelas dari mana asalnya.

Walaupun tersembunyi dan lokasinya yang tidak layak untuk sebuah rumah, tapi hampir setiap hari ada tamu yang berkunjung. Hampir setiap hari juga ada suara tangisan bayi di rumah itu, entah bayi berumur enam bulan, balita sampai anak sekolah dasar.

Nyai Toriyati namanya, adalah dukun beranak, tukang pijat dan urut untuk bayi. Pasien Nyai bukan hanya dari Lindung saja, para ibu dari Kalakan, Sumbergede, Asembalur hingga Dawar-dawar pun rela antri ber jam-jam untuk bertemu Nyai. 

Pijat untuk bayi sudah jadi tradisi di jawa timur yang sebagian besar penduduknya adalah Jawa dan Madura. Para Ibu datang dengan jadwalnya masing-masing, sesuai usia bayi. Dua kali seminggu untuk usia enam bulan, satu kali seminggu untuk enam bulan ke atas, dan dua minggu sekali untuk satu tahun keatas.

Pagi ini sudah ada tiga orang ibu yang duduk antri di kursi kayu, di teras rumah Nyai. Bertiga menunggu seorang bayi yang tidak lama lagi selesai dipijat. Perempuan dan bakat alami mereka, walau berbeda desa dan tidak saling kenal, asal duduk di tempat yang sama, maka merumpi adalah kewajiban.

"Masih ramaikah isu pegalan di kampung sampean?" Tanya Bu Tutut, perempuan kaya yang sekali tangannya bergerak, lima gelang emas berbunyi serempak. Anaknya baru berusia delapan tahun, dan isu pegalan ini sudah dua bulan membuatnya gelisah. 

"Bukan isu saja bu, dua hari yang lalu di kampung Saya ada korban baru. Anaknya guru ngaji, baru aja masuk sekolah dasar." Bu Simah menanggapi. Informasi itu langsung mendapatkan perhatian Ibu-Ibu yang lain. Nyai Toriyati pun antusias mendengarkan walau jari jemarinya masih sibuk menekan urat-urat si bayi.

"Memang beberapa tahun terakhir Banyusirih rusuh sekali. Maling, santet, rampok, penculik anak, haduuuh," Keluh Bu Firoh.

"Iya Bu, sepertinya dampak dari bendera merah masih belum sepenuhnya reda. Warga jadi mudah dihasut, mudah curiga pada tetangga sendiri dan sulit percaya pada guru ngaji." Ujar Bu Qorik, Ibu dari bayi yang sedang dipijat.

Sebagai tuan rumah, Nyai merasa perlu memberi pendapat, nasehat atau sekedar tanggapan agar tamu-tamunya tidak terlalu khawatir tanpa mengurangi kewaspadaan.

"Semoga anak-anak kita diberi keselamatan ya bu. Kita juga harus ketat, harus tahu kemana anak kita bermain." Ujar Nyai. Semua tamunya pun menjawab "Aamiin."

Ada penyebab lain yang membuat bayi-bayi di rumah Nyai menangis bahkan sebelum tiba giliran dipijat. Penyebabnya adalah anak kecil yang sedang merangkak keluar dari pintu. Kurus sekali hingga jarak kulit dan tulangnya hampir tidak terisi daging. Ada sebuah tumor di kening anak itu, menonjol sebesar buah alpukat, mata kirinya tidak dapat melihat jelas karena kelopak matanya tertarik oleh tumor tersebut.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang