CHAPTER 10 - JANDA DALAM KERANDA

23K 2.3K 90
                                    

MARLENA

Oh Marlena. Tidak ada kebanggaan dari gelar Janda Kembang. Karena sebelum kata Kembang adalah simbol pilu sebuah hubungan. Sudah lima tahun Marlena hidup menjanda, setelah sang suami meninggal di tengah samudera. Menyedihkan.

Oh Marlena. Tidak pernah Ia bangga menjadi rebutan, karena Marlena tahu kata-kata manis itu hanya gurauan. Marlena adalah godaan nyata, merata di seluruh desa, seluruh pemuda dan suami-suami yang gelap mata. Akibatnya Marlena jadi musuh Istri-istri mereka.

Salah satu penghamba Marlena adalah laki-laki yang saat ini lewat di depan warungnya. Semua kenal lelaki itu, semua segan padanya. Bahkan dari jarak seratus meter pun, suara motornya yang khas sudah lebih dulu terdengar.

"Dari mana Pak Gamar malam-malam begini?" Tanya Anto. "Entahlah. Tumben juga beliau tidak menoleh. Biasanya setiap lewat sini, matanya selalu nyari Mbak Mar." Edo menanggapi. Kedua nelayan itu sedang duduk santai menikmati kopi di warung Marlena. Sebuah warung kecil di pinggir jalan menuju pemukiman penduduk.

"Berhenti lah Mas, jangan ngomong begitu. Saya tidak enak sama Istri Pak Gamar." Tegur Marlena. "Iya mbak, cuma bercanda." Malam itu masih tersisa purnama walaupun sudah sedikit bergeser dari porosnya. Tapi tidak dengan Marlena. Rambut panjang terurai, warnanya kemerahan khas anak pantai. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi serasi dengan bibirnya yang tipis. Selalu ada bintik air di hidung marlena, entah berapa pria yang mendamba bisa mengusapnya. Andai pertama kali bertemu Marlena, pastilah tidak menduga perempuan itu adalah janda.

"Ini gulanya mbak," Emping memberikan sebuah tas plastik berisi gula. Marlena menerimanya dengan sedikit ketus. Tiga puluh menit terlalu lama untuk sekedar beli gula di warung terdekat. Marlena yakin adiknya masih singgah bermain. "Dari mana sih kok lama? Kasihan Mas Anto dan Mas Edo, kopinya pahit soalnya kurang gula." Tegur Marlena. 

Emping menundukkan muka. Bocah tujuh tahun itu merasa bersalah, tapi wajahnya seperti sedang ketakutan. Untungnya Anto segera menghiburnya. "Ah gak apa-apa mbak. Saya sudah terbiasa minum kopi pahit. Lagipula manisnya kan sudah ada di mbak" Goda Anto yang mengundang cibiran Marlena.

"Mbak, Emping mau pulang ya?" Rengek Emping. Tidak biasanya anak ini minta pulang duluan. Tapi malam ini, Emping seperti lelah dan gelisah. "Ya sudah, ini kunci rumah." Marlena memberikan izin sekaligus kunci rumah pada Emping. Bocah itu pun beranjak pergi sambil melihat kanan dan kiri.

Marlena tersenyum menyambut pelanggannya yang baru datang. Dari tampilannya seperti seorang petani, hanya saja membawa gerobak kosong beroda dua. Orang itu menunjukkan dua jarinya. Marlena pun mengerti, ia segera menyiapkan dua cangkir kopi.

"Sudah dengar isu tentang Tambak Udang?" Edo memulai gosip. Mereka bilang tukang sayur adalah sarana gosip tertua untuk ibu-ibu, sedangkan untuk bapak-bapak warung kopi lah tempatnya. "Tentang Man Rusli yang pingsan gara-gara hantu keranda?" Anto memastikan. "Ya, benar," Sahut Edo. "Kalau tidak salah ingat, Azwar juga pernah melihat hal yang sama kan?" Lanjutnya, dan selanjutnya mereka hanyut dalam topik keranda merah. 

Kegiatan gosip Edo dan Anto berhenti manakala Edo menyadari Marlena tampak semakin sibuk. "Mau Saya bantu?" Edo menawarkan bantuan, dan tentunya sedikit godaan. "Ah gak usah mas, makasih." Sahut Marlena. 

Perempuan ayu itu menoleh, menyaksikan pelanggannya yang mulai bertambah. Air panas yang saat ini sudah mendidih dirasa tidak cukup untuk empat cangkir kopi. Belum lagi pelanggan yang baru saja datang langsung mengangkat tangan, memperlihatkan lima jari yang merupakan isyarat dari lima cangkir kopi. 

Anto mengendus kanan dan kiri. Hidungnya mencium aroma sedap, sedap sekali. "Wangi ubi bakar ya?" Tanya Anto. Edo memperhatikan mangkok besar yang tertata di meja. Semua berisi gorengan tapi tidak satu pun ada ubi bakar. "Bulu hidungmu kali yang kebakar," Ledek Edo sebelum akhirnya "Eh iya ya. Mbak lagi bakar ubi?" Tanya Edo. "Dapat ubi dari mana mas? Pesan yang ada saja deh." Jawab Marlena.

Beberapa menit kemudian. Marlena selesai dengan pesanan kopi pelanggan. Ia menyuguhkan delapan cangkir kopi dan sebuah senyuman. Hanya saja saat itu Edo dan Anto membalas senyuman Marlena dengan pertanyaan.

"Siapa yang pesan kopi mbak? Banyak sekali." Tanya Anto seraya memperhatikan delapan cangkir kopi yang tertata di meja. "Kok masih nanya? Ya punya bapak-bapak ini lah!" Jawab Marlena. Anto dan Edo saling tatap, kemudian melihat kanan dan kiri bersamaan. "Bapak-bapak siapa?"

Benar. Bapak-bapak siapa yang Marlena maksud? Kenapa setelah pertanyaan Edo dan Anto barusan, Marlena baru melihat siapa yang saat ini sedang duduk memenuhi warungnya. Delapan tamu tak diundang tampak sedang bersantai tanpa disadari dua tamu pertamanya. Empat dari mereka duduk di samping Edo dan Anto, sedangkan empat sisanya berdiri di belakang.

Para pelanggan berbaju putih itu memandang kopi hitam pesanannya. Sama hitam seperti lingkaran di matanya. Kemudian leher mereka bergerak serempak. Mengangkat wajah  dan memandang Marlena tanpa Ekspresi. Wajah pucat Marlena tidak mampu menandingi pucatnya wajah delapan pelanggan itu. Dan walaupun Edo juga Anto bertertiak memanggil Marlena, yang terdengar hanyalah suara nafas. Disusul kemudian suara delapan orang di balik kain kafan itu yang bersama-sama membuka mulut dan berkata,

"Terima kasih."

"Hyaaaaah!" Marlena melempar panci dan kendi ke arah pelanggannya. Tidak satu pun dari mereka yang menghindar. Justru saat Anto mencoba menghindar, panci itu menghantam gigi kelincinya.

"Mbak, sampean kenapa?" Tanya Edo. Ia berusaha menenangkan pemilik warung. Sayangnya Marlena hilang kendali. Ia keluar lewat pintu belakang dan segera berlari pulang. 

"Astaghfirullah, pocong." Marlena mengelus dada. Ia menoleh melihat Anto dan Edo mengejarnya. Sedangkan delapan pocong tadi perlahan-lahan memutar lehernya seratus delapan puluh derajat, seolah tidak ingin berhenti menatap Marlena. 

Gerobak roda dua yang parkir di depan warung pun menunjukkan wujud aslinya. Sebuah keranda merah. Sedang menunggu untuk diberangkatkan. Lalu Marlena, ia pingsan di tengah jalan. Hanya suara Edo dan Anto yang terakhir kali Ia dengar. 

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang