CHAPTER 3 - TIDAK DITERIMA BUMI

32.6K 2.9K 19
                                    

HAMDANI

Bendera kuning di halaman rumah. Bukan tradisi di Desa kalakan, tapi karena pemilik rumah adalah pendatang, Ia bawa serta adat dan kebiasaan. Ada dua hal yang jadi sumber kegaduhan siang ini di kediaman Hamdani.

Pertama adalah isak tangis keluarga di ruang tamu dan deretan orang yang datang untuk berbela sungkawa. Ayah Hamdani meninggal tepat setelah adzan subuh. Almarhum dikenal sebagai sosok yang baik dan murah senyum. Jikalau saat ini hanya ada dua orang yang menangisi kepergiannya, itu karena Hamdani dan keluarganya baru empat tahun pindah ke Desa Kalakan. Waktu yang singkat, tidak cukup untuk membuat tetangga menjadi keluarga dekat.

Sumber kegaduhan kedua dalah Hamdani sendiri. Urat di lehernya terlihat jelas setiap kali Ia berteriak. Saat ini Hamdani sedang dikuasai amarah. Pasalnya hingga siang menjelang, jenazah ayahnya belum dapat ijin untuk dimakamkan.

"Coba jelaskan. Apa maksudnya Ayah Saya tidak layak dikubur di sana?" Pertanyaan itu diajukan pada siapa saja yang mampu menjawab. Ironisnya semua diam, bahkan yang mampu menjawab pun enggan bersuara.

Sudah adat di Desa Leduk. Mereka hanya menerima jenazah penduduk desa sendiri untuk dikuburkan di salah satu pemakamannya. Kalaupun harus menerima jenazah di luar desa, maka jenazah tersebut harus memiliki hubungan darah dengan salah seorang penduduk Desa Leduk. Sayangnya Ayah Hamdani tidak termasuk kategori itu.

"Tidak ada jalan lain Kang. Keputusan Juru Kunci adalah mutlak. Kita harus menguburkan bapak di pemakaman umum kalakan saja." Salah seorang tetangga menawarkan solusi.

Hamdani tidak setuju. Karena itu artinya Ia harus menempuh tiga puluh menit perjalanan. Sedangkan saat ini satu persatu tetangga sudah pulang. Mereka tidak mau berjalan jauh di bawah terik matahari sembari mengusung keranda Ayah Hamdani.

"Saya akan ke puskesmas. Semoga ada ambulans," Ujar seorang tetangga yang segera pergi dengan sepeda jangkriknya.

"Apa mereka selalu seperti ini? Menolak jenazah hanya karena berasal dari luar desa." Tanya Hamdani. Tangannya masih menutupi kening, seolah rasa kecewanya belum juga pergi. "Tidak juga Kang," Jawab Aming. "Dulu pemakaman di Desa Leduk terbuka untuk siapa saja. Hanya beberapa tahun terakhir, para Juru Kunci sering kali menolak jenazah dari luar desa." Lanjutnya.

"Adakah alasan tertentu dibalik sikap para juru kunci?" Hamdani masih belum puas dengan jawaban yang Ia dapat. Sayangnya pengetahuan Aming terbatas. Aming hanya mengangkat kedua pundaknya sebagai isyarat tidak tahu.

"Dengar. Ayah Saya dan Ki Rozak adalah teman dekat. Almarhum sering sekali berkunjung ke pemakaman Astah Temor untuk sekedar membawa makanan bagi Ki Rozak." Hamdani memotong ceritanya karena tanpa sadar ia berlinang air mata. "Dan sekarang saat Ayah meninggal, Ki Rozak sampai hati melarang jenazahnya di kuburkan di sana. Di pemakaman yang setiap hari Ayah bantu bersihkan?" Nada bicara Hamdani kembali meninggi, membuat Aming dan dua orang yang mendengarkan menundukkan kepala.

Kediaman Hamdani berada di ujung barat Desa kalakan, tepat di perbatasan antara Desa kalakan dan Desa Leduk bagian timur. Hanya lima ratus meter jarak antara rumahnya dan pemakaman Astah Temor, karena itu Hamdani sangat kecewa saat Ki Rozak melarang jenazah sang Ayah dikuburkan di sana.

"Saya mengerti perasaan Sampean Kang. Buyut Saya pun harus dimakamkan di Kalakan walaupun jaraknya jauh." Aming mencoba menghibur walaupun harus berbohong. Aming tidak punya buyut. Kalaupun ada, buyutnya sudah meninggal saat Aming masih kecil. 

"Ini sama sekali tidak manusiawi. Membeda-bedakan derajat manusia bahkan saat mereka sudah dibalut kain yang sama." Lagi-lagi Hamdani terbakar amarah. Kali ini Bahri tidak tahan lagi mendengarnya. Seseorang harus menyadarkan Hamdani bahwa adat di desa leduk jauh lebih dijunjung tingggi daripada paham kemanusiaan.

"Harganya mahal Kang Dani," Sela Bahri. "Saya adalah warga Leduk tulen. Saya dan juga leluhur Saya. Desa kami sudah jadi tempat pemakaman masal sejak jaman penjajahan." Mata Bahri berkaca-kaca. Entah basah oleh rasa bangga, atau luapan kesedihan. "Mulai dari mayat yang tidak diketahui identitasnya, mayat yang tidak utuh, sampai mayat orang-orang penting yang kematiannya dirahasiakan. Kami sudah menguburkannya dari generasi ke generasi tanpa membeda-bedakan." Bahri menutup ceritanya.

"Lantas apa yang membuat kalian berubah pikiran? Apa karena Saya dan keluarga adalah pendatang?" Tanya Hamdani masih dengan nada tinggi. 

"Tanah kami terbatas kang. Desa Leduk tidak seluas Kalakan, tidak sepadat Desa Lindung, dan tidak semaju Sumbergede. Jumlah kuburan di desa kami lebih banyak dari jumlah penduduk. Walaupun begitu, orang-orang dari luar desa tetap saja mengirimkan bangkainya ke Desa kami." Bahri menjelaskan dengan nada yang tidak kalah tinggi. Ia sadar tidak seharusnya bicara begitu pada seseorang yang sedang berkabung. Tapi Bahri merasa berhutang penjelasan, sebelum Hamdani semakin salah paham.

"Mohon maaf. Bukan maksud Saya menyinggung,"

"Sudahlah. Tidak apa-apa. Saya juga minta maaf kalau cara bicara saya kelewat kasar." Hamdani memotong perkataan Bahri. Semua cerita Bahri belum cukup menjadi alasan agar Hamdani memaklumi keputusan Juru Kunci. Hamdani hanya tidak ingin lupa berduka karena sibuk memanjakan amarah. Ia berharap dimanapun jenazah sang Ayah dikebumikan, semoga almarhum tenang di alam sana.

Tiga puluh menit kemudian ambulans dari puskesmas Kalakan datang. Segera Jenazah dibawa ke pemakaman umum desa. Hamdani dan istrinya ikut mengantar kepergian sang Ayah. Masih tersisa lara di wajah sang istri dan murka di wajah Hamdani. Tidak pernah ia bayangkan akan membenci seorang penjaga makam, dan kebenciannya itu tidak akan pernah padam. Tidak dalam waktu dekat.


BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang