CHAPTER 53 - EMPAT JURU KUNCI

20.1K 2K 133
                                    

DESA LEDUK, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1975

Mereka dipaksa lupa, tapi trauma tidak hilang oleh sebuah perintah. Pasca kematian Naridin. Dirahasiakan atau tidak, Warga mulai bertanya - tanya, apakah ini sudah berakhir? Sementara di luar sana, Naridin bukan sekedar kisah seram dari mulut ke mulut. Lindung masih menyimpan peristiwa tragis itu. Secara ajaib, warga desa percaya keterlibatan Naridin atas hilangnya anak - anak di desa. Setiap kali mengingat Naridin, bukan lagi tukang becak ramah nan murah senyum yang muncul di kepala, tapi penculik anak sadis yang mereka pantaskan kematiannya.

Zaman ini adalah zaman penuh rahasia. Semua orang menyimpan dua sampai tiga rahasia. Bahkan lebih. Tidak semua pandai menutupinya. Memang, tapi setidaknya mereka tidak bodoh untuk mencari - cari. 

Ki Rozak dan Ki Mujur. Setelah menentukan empat lokasi untuk empat kuburan Naridin, mereka berunding. Diskusi bertema berat yang tidak seharusnya diangkat berdua. Tapi, Bahrudin punya kepala yang isinya jauh berbeda dengan mereka. Mustahil mengajak Bahrudin bicara tentang hal tabu, tanpa bawa - bawa agama.

"Makam selatan masih belum jelas." Ki Mujur berwajah lesu.

"Itu tanah milik Kiai Subhan. Pengasuh pesantren di Desa Lindung. Beliau belum tahu kalau tanah kosongnya sudah penuh oleh kuburan," Sahut Ki Rozak.

"Belum tahu, atau pura - pura tidak tahu? Keempat tanah itu kita pilih karena memang sudah jadi pemakaman sejak dulu. Tidak ada yang merawat, tidak ada ijin resmi siapa - siapa yang boleh dikuburkan. Tahu-tahu semakin tahun jumlahnya semakin banyak saja."

"Lhaa, hidup kita memang dekat sekali dengan mati kok!" Ki Rozak mengeluarkan klobotnya. Meraba - raba kantong baju mencari korek api. "Salah ngomong dikit, besoknya hilang. Sengaja ngomong banyak, besoknya mati. Sampah yang masih hidup, dibuang ke Lawang Jerit. Sampah yang sudah busuk, dikubur di Desa Leduk. Begitu saja setiap tahun."

"Setiap bulan," Koreksi Ki Mujur.

"Atau mungkin setiap hari? Kita tidak tahu siapa saja yang diam - diam menyelinap ke desa ini, terus buang sampah sembarangan. Kembali ke pembahasan tadi. Menurut sampean, apakah Bahrudin berhasil membujuk Kiai Subhan untuk mewakafkan tanah di selatan?" Tanya Ki Rozak.

"Membujuk. Butuh lebih dari sekedar rayu. Butuh licik. Sayangnya Bahrudin bukan orang yang licik. Semoga saja adik saya itu pulang bawa berita baik."

Ki Mujur menyandarkan bahu ke dinding bambu. Pos jaga tempat mereka ngobrol berdua mulai ramai oleh warga yang lalu-lalang. Sebelum pulang, ada hal penting yang sangat ingin Ki Mujur sampaikan. Tanyakan. Diskusikan. Ia masih berpikir apakah Ki Rozak adalah orang yang tepat.

"Masih ingat waktu kemarin Saya memandikan mayat Naridin?" Tanya Ki Mujur. Waktu berpikirnya sudah habis. Ia butuh orang lain untuk memikul rahasia berat ini. Segera.

"Ya, tapi saya dan Bahrudin kan cuma nonton. Kami tidak ingat banyak."

"Waktu itu saya sempat kaget."

"Gara - gara rambut Naridin?" Sela Ki Rozak.

"Saya berbohong." Ki Mujur menunduk lesu. Seolah ia merasa bersalah, rasa bersalah yang tidak banyak disesalinya. Ia tahu bohongnya saat itu adalah keputusan yang terbaik.

"Maskudnya?"

"Yang saya kagetkan waktu itu, bukanlah rambut naridin. Tapi, mayat yang kita temukan di pinggir pantai. Mayat yang saya mandikan waktu itu. Mayat yang kita bakar dan kita kuburkan terpisah itu ..."

ADALAH MAYAT PEREMPUAN

"Se-serius?" Klobot Ki Rozak lepas dari bibirnya. Jatuh ke sarung dan meninggalkan lubang. Tidak mungkin seorang bernama Naridin adalah perempuan. Entah para pengantar jenazahnya berbohong, atau Ki Mujur yang salah lihat. Atau dia yang berbohong.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang