CHAPTER 0 - SUMBU KEMATIAN

20.5K 2.1K 193
                                    

-1987-

Gunawan tidak mampu lagi membedakan siang dan malam, setelah lebih dari dua puluh empat jam Ia dibutakan bahkan Seluruh otot dan sendinya juga dilumpuhkan. Hanya mampu mendengar suara bising mesin mobil dan mencium pengapnya ruang gelap, berbau keringat, berbau kematian. 

Medan apa yang sudah Ia lintasi, Gunawan tidak lagi peduli. Untuk siapa Ia mengabdi, Gunawan tak perlu memikirkannya lagi. Negara lebih dulu merdeka sebelum rakyatnya berhenti berperang. Proklamasi sebelum derita benar-benar berakhir. Bukan terlalu cepat, tapi perubahan di garis belakang yang cenderung lambat. Manusia yang dulu dipercaya dengan segala rahasia, saat ini diburu karena terlalu banyak menyimpan rahasia. Gunawan salah satunya.

Tubuhnya terikat oleh tali besar nan kuat yang cukup membelenggu seekor gajah dewasa. Jangankan makan, porsi bernafas saja sudah sangat menyedihkan. "Air," Suara hati Gunawan, suara terakhir yang Ia dengar sendiri, sebelum rubuh tak sadarkan diri, untuk yang kesekian kali.

Restu menyadarinya, suara nafas Gunawan semakin melemah. Ia berada di samping sahabatnya, di sebuah tempat yang sama, mendengar suara yang sama dalam keadaan yang sama. Restu menendang kaki Gunawan, berusaha membangunkan saudara seperjuangan. "Jangan mati dulu, bodoh!" Seru Restu dalam hati.

Saat itu cuaca mulai berubah panas. Keringat membanjiri tubuh yang dahaga, membuat mereka merasa kehilangan lebih banyak cairan. Yang lebih menyiksa adalah rasa perih dan gatal di tubuh, dimana mereka tidak mampu meraihnya untuk sekedar menggaruk dan mengusap tubuhnya. 

Panas itu belum berakhir tapi tidur panjang mereka baru saja dimulai. Tidak peduli berapa besar guncangan dan benturan, Gunawan, Restu dan lima orang lainnya sudah tertidur lelap. Tentu saja ini bukan tidur nikmat seperti yang mereka idam-idamkan, dimana kelembutan memanjakan punggung dan memijat otot lelah mereka. Tapi tujuh orang tersebut tetap harus menikmatinya, tidur terakhir sebelum terpejam untuk selamanya.


***

"Haaaugghh!"

Teriak Gunawan. Ia terperangah kala meraih kesadarannya kembali, berkat siraman air dingin di sekujur badan. Matanya tidak lagi tertutup, Ia bisa melihat cahaya lampu yang terang di sebuah ruangan. Butuh waktu untuk menyingkirkan sisa air di matanya, agar penglihatan Gunawan kembali seperti semula. Ia percepat dengan berkedip sebanyak mungkin, hingga saat kedipan terakhir selesai, Gunawan bisa melihat dengan jelas dimana dirinya berada.

"Hei! Kau tidur tiga menit lebih lama daripada Aku." Sapa Restu yang saat ini sedang berada di sampingnya. Kondisi sahabatnya saat itu tidak lebih baik dari Gunawan dan walaupun benci mengakuinya, Gunawan merasa beruntung karena kedua tangannya masih utuh, tidak seperti tangan restu.

"Hehe," Gunawan tertawa kecil, "Sepertinya setelah ini bukan lagi tentang siapa yang lebih dulu bangun, tapi siapa yang lebih dulu tidur." Ujar Gunawan.

Keduanya bercakap-cakap seolah gedung besar tempat mereka berada adalah milik berdua. Mereka tidak mempedulikan isak tangis lima orang lainnya yang duduk bersimpuh dalam barisan yang sama, dalam belenggu dan nasib yang sama.

Gedung tempat mereka berada terbilang luas, seperti tempat menyimpan sesuatu dalam jumlah besar. Tercium bau amis menyengat yang sedikit demi sedikit membuat Gunawan mual. Berbeda dengan Restu. Di hidung patahnya bau tersebut justru terasa sangat menggugah. Pria bertangan satu itu merasa berada di rumah sendiri setiap kali menghirup bau amis di gedung tersebut.

Dibutuhkan enam buah lampu untuk menerangi seluruh ruangan itu, tapi hanya empat yang saat ini sedang menyala, menyisakan sedikit ruang gelap di ujung dimana beberapa pria sedang berdiri tegap, memandangi Gunawan dan ketujuh orang lainnya.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang