CHAPTER 38 - GUDANG

19.6K 2.1K 59
                                    

MAN RUSLI

Sepuluh pas, dan Leduk berada pada puncak panas. Tidak mungkin berada sepuluh menit di luar rumah tanpa berkeringat. Bagi yang bekerja keras pada jam tersebut, maka keringat yang keluar menjadi dua kali lipat. Apapun profesinya, tukang becak, nelayan, petani bahkan pekerja tambak, semua sepakat bahwa Leduk adalah neraka yang paling dekat dengan kuburan. Bahkan sebelum diteguk bekal air dingin mereka sudah menjadi hangat.

Di saat penduduk desa mengeluh kepanasan, seorang sopir berkaca mata hitam dan mengenakan kaos lengan pendek tampak menikmati alunan dangdut yang menggelegar, sembari mengendarai truk besarnya di jalan utama leduk. Di sampingnya tengah duduk seorang kerabat yang tidur bersandar dengan topi menutupi wajah

Sesekali kepalanya mengangguk, kemudian bergeleng mengikuti irama musik, seolah tidak peduli pada tukang becak yang menepi, delman yang sejak tadi mengikuti dari belakang karena tidak bisa mendahului, petani yang sedang membasahi mukanya dengan air kendi, dan pejalan kaki yang harus turun ke parit, semua itu karena ukuran truk  yang besar dan lebar. Setiap kali truk tersebut lewat, maka tidak ada lapisan aspal yang tersisa. Banyak yang bilang truk tersebut adalah penyebab utama jalan utama desa jadi berantakan, tentu saja selain kualitas aspal yang memang jelek.

Truk itu berjalan menuju utara, tepatnya ke tambak udang. Sudah jadi rutinitas setiap dua minggu sekali pakan udang dan beberapa keperluan tambak dikirim dari kota. Mengenai nama kota, hanya juragan dan atasannya yang tahu.

Jalanan di Desa Leduk bukan tidak pernah dilalui Mobil, tapi kedatangan Truk sebesar itu memang selalu menyita perhatian. Tidak hanya truk pengangkut pakan udang saja, beberapa truk dan mobil pickup kerap kali datang untuk menjemput ikan, pasir, dan lain-lain. Namun demikian, muncul sebuah pertanyaan di benak warga, "Apakah butuh truk sebesar itu untuk mengangkut pakan udang yang hanya ada empat kolam?" Tentu saja tidak semua warga berpikir sejauh itu, mengingat tambak hanya tertutup bagi pekerja dan karyawan saja. Tapi bagi Pak Gamar dan anak buahnya, ini jelas sebuah pertanyaan besar.

Setelah berjalan melewati perkebunan, persawahan, lalu belok kiri di simpang tiga, sampailah truk tersebut ke tujuan. Sebuah gerbang besar untuk kendaraan yang juga besar, gerbang itu sudah menyambut kedatangan raksasa beroda sepuluh, bersama dengan tiga orang yang berdiri di depannya. Rekan Sopir tersebut terbangun dari tidurnya dan segera turun, Ia tidak mau menunggu sampai truk tersebut masuk ke gudang.

"Buka!" Perintah Pak Imam pada Man Rusli dan Parman. 

Butuh tenaga dua orang untuk membuka gerbang tua tersebut, terlebih saat kedua sisinya mulai berkarat. Man Rusli masih ingat ketika pertama kali gerbang ini dibangun, jauh sebelum Pak Imam pindah ke desa. Gerbang besar ini berwarna biru langit, tapi sekarang langitnya memerah seolah disiram darah. Karat menggerogoti hampir semua permukaan gerbang, dan gerbang itu menguras hampir semua tenaga Man Rusli.

"Lhaaa dorong Man!" Seru Parman yang sebenarnya kewalahan karena daya dorong Man Rusli berkurang. 

Melihat anak buahnya hanya mampu membuka sepertiga mulut gerbang, Pak Imam pun turun tangan. Ia melipat lengan bajunya sampai siku, kemudian mengambil alih posisi Man Rusli dan Parman sekaligus. Ajaib, gerbang tersebut terbuka lebar. Karat yang menggerogoti sendi-sendi gerbang tidak mampu mencegah sang juragan. Pak Imam melepaskan dorongannya dan melebihnya Man Rusli dan Parman yang melanjutkan.

"Yok, maju!" Seru Parman.

Truk yang belum dimatikan mesinnya itu kembali bergerak. Kesepuluh rodanya berputar pelan, membawa tubuh raksasa itu memasuki gerbang. Saat melewati Pak Imam, sang sopir menunduk memberi salam hormat, Pak Imam membalas dengan anggukan.

Terbukanya gerbang besar tambak seakan membuka pintu ke dunia lain.  Menghadap ke gerbang ada tiga bangunan berjejer yang merupakan kantor dan ruang serbaguna. Di Samping gerbang ada pos jaga, dulunya ada palang besi membentang dari ujung ke ujung, tapi sekarang besi panjang itu tergeletak di bawah pagar diantara tumpukan kayu.

Selanjutnya ada gudang besar yang memisahkan area tersebut dengan area kolam di sebelah barat. Ada sebuah gang kecil di antara gudang dan pagar selatan, tapi untuk sebuah alasan gang tersebut ditutup dengan pintu kayu yang tidak pernah terbuka sampai saat ini. 

Truk memasuki tambak udang, perlahan mengatur posisi parkir di depan gudang. Sebenarnya akan lebih mudah jika truk tersebut parkir membelakangi pintu, tapi itu mustahil karena jarak antara gudang dan pagar timur terlalu sempit.

"Terus, terus, Stop!" Teriak Parman memandu Sopir truk. Tak lama kemudian suara bising mesin mobil tidak lagi terdengar, diakhiri oleh suara pintu mobil yang ditutup cukup keras, bersamaan dengan Sopirnya yang melompat turun dan menyapa Juragan.

"Pagi Bos," Ucap Sopir berkacamata hitam. Ia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, bermaksud memberi sapaan akrab pada Pak Imam. Harusnya Pak Imam balas dengan menepuk telapak tangan si sopir dengan tangan yang sama, tinggi yang sama. Tapi pak Imam hanya diam di depannya, memandangi Sopir yang mulai sedikit canggung.

"Ah, dingin seperti biasanya." Gerutu Sopi tersebut seraya menurunkan tangannya. Kemudian Ia yang sebelumnya berdiri menghadap Pak Imam, kini pindah ke sampingnya dan bersama-sama  melihat apa yang Pak Imam lihat. 

"Ini yang terakhir?" Tanya Pak Imam pelan. Tanpa mengubah arah pandang, Sopir truk tadi memiringkan kepalanya ke kiri, dengan maksud agar suaranya terdengar jelas di telinga Pak Imam. "Ya, ini yang terakhir. Setelah ini kita akan pindah lokasi." Ujar Sopir itu. "Kalian saja yang pindah. Tugas Saya sudah selesai, setelah ini Saya akan pulang. Benar-benar pulang." Tutur Pak Imam. "Hahahaha Bapak harusnya sadar, kita tidak bisa berhenti." Jawab Pak Sopir, kemudian Ia menghadap Pak Imam dan berkata, "Kecuali mati."

Hembusan angin pelan dari hidung Pak Imam. Walau sedikit, ada hawa putus asa yang keluar dan berbaur bersama udara Leduk. Jika harapannya mati di sini, maka biarlah keluarganya tetap hidup di sana. Begitu yang selalu Pak Imam katakan pada dirinya sendiri. 

"Man Rusli, tolong antarkan Pak Muhyidin ke kolam. Beliau ingin memeriksa kincir air yang mati." Perintah Pak Imam. "Baik Juragan," Jawab Man Rusli.

Bersama dengan teknisi mesin bernama Muhyidin, Man Rusli pergi meninggalkan area gudang. Sebenarnya ada jalan pintas menuju kolam, yakni melewati gang diantara gudang dan pagar. Tapi Man Rusli tahu itu terlarang, Ia juga tahu bahwa kehadirannya tidak lagi diharapkan. 

Tepat setelah Man Rusli dan Muhyidin keluar dari gerbang, Parman menutup kembali gerbang berkarat itu dari dalam, membuat pemandangan gudang perlahan-lahan hilang dari mata Man Rusli. Sebelum gerbang itu tertutup sepenuhnya, Man Rusli sempat melihat Sopir truk tersebut mengambil tas hijau gelap dari dalam mobil, sebelum akhirnya Ia berputar ke belakang untuk membuka penutup Bak. 

Gerbang pun kembali tertutup, tapi tanpa sadar membuka pitu curiga di benak Man Rusli. Bukan pertama kalinya hal ini terjadi, tapi setelah selongsong peluru yang Ia lihat di dasar kolam kemarin, apa yang ada di pikiran Man Rusli tidak akan lagi sama.


BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang