CHAPTER 46 - PELURU MISTERIUS

17.7K 2K 72
                                    

MARLENA

"Kenapa perasaan Saya tidak enak." Gumam Marlena sambil memegang bagian belakang lehernya.

Sudah lebih lima menit sejak kepergian pelanggan terakhirnya. Anto meninggalkan Marlena sendiri setelah sempat menawarkannya pulang bersama. Sesali semua itu sendiri, Marlena harus pulang melewati jalan yang sepi dengan sebuah perasaan gundah di hati. "Apa yang sudah terjadi?" Bahkan sejak melihat tukang becak lewat dengan tergesa-gesa, Marlena merasa ini bukan waktunya Ia berada jauh dari adiknya.

Terburu-buru mengemas apa yang tadi dibawa, membuatnya tanpa sengaja memecahkan gelas. Marlena merunduk, memunguti pecahan gelas tajam sembari menggerutu. "Pecahkan saja piringnya! Pancinya, semuanya sekalian!" Kutuknya.

Jalanan sepi di depan warung Marlena. Membentang dari timur ke barat dan jadi akses utama ke kawasan pemukiman. Di ujung barat berakhir pada sebuah persimpangan, dimana titik paling terang jalanan Leduk berada.

Marlena selesai dengan pecahan gelas, kembali berdiri dan memandang ke jalan. Mereka sedang melintas di hadapannya. Tidak perlu permisi ataupun sapa basa – basi. Kengerian itu meskipun pernah dialami, tapi Marlena tidak mungkin terbiasa. Lemas di sekujur tubuh, Marlena memilih bersembunyi di bawah meja. Berharap mampu melindungi diri dari musuh yang belum tentu tertarik padanya.

"Ma, mau kemana mereka?" Getir di rasakannya kuat. Bibirnya berdoa, mencoba melawan walau hatinya sudah dikalahkan.

Semakin kuat pengaruh barisan ghaib yang sedang berlalu di depan warung. Marlena mendengar salah satu dari mereka mendekat. Ia mencium bau aneh seperti ubi bakar. Semakin lama semakin berubah menjadi busuk, menyengat, dapat Marlena bayangkan daging busuk penuh belatung sedang berdiri di depan warungnya.

Lupakan berlari. Tekanan itu terlalu kuat baginya. Marlena lumpuh, lemas dan perlahan – lahan kesadarannya menghilang.


MAN RUSLI

Tempat yang berbeda, teror yang berbeda. Beberapa jam setelah Man Rusli tertangkap basah menyusup ke dalam gudang yang memang terlarang; bahkan untuknya. Yang membuatnya terkejut bukan apa yang Ia temukan di dalam gudang, tapi siapa yang menemukannya.

Parman dan dua orang pekerja tambak menjadi saksi pelanggaran yang dilakukan Man Rusli, sementara Man Rusli menjadi saksi rahasia besar yang Parman dan teman-temannya simpan selama ini; di gudang yang sejak awal ada di ujung hidung Man Rusli.

Saat itu Parman sedang membereskan sisa – sisa kotoran dari pekerjaan kotornya. Masih erat di genggamannya sebuah senjata api yang seharusnya tidak dilihat Man Rusli, tapi karena semua terlanjur terjadi, mereka terpaksa membekuk Man Rusli dan membiarkannya terikat hingga juragan mereka datang.

Saat ini di hadapan Man Rusli tengah berdiri seseorang yang sangat Ia hormati. Lebih tiga tahun Ia mengabdi padanya, prinsipnya menjadi prinsip Man Rusli, tujuannya menjadi tujuan Man Rusli, tapi tidak malam ini. Ia butuh jawaban singkat, sebuah alasan yang walaupun masuk akal tetap tidak akan Man Rusli terima.

Terlalu kejam membayangkan bahwa selama ini Ia bekerja pada komplotan antagonis yang sudah membawa leduk pada masa-masa sulit. Lebih sulit dari sebelumnya.

"Imam Ilyas, dan semua sandiwaranya." Ucap Man Rusli.

Tangannya terikat ke belakang. Duduk bersimpuh, di depan tumpukan karung bekas pakan udang. Dendam dan muak menahan wajahnya untuk menghadap mantan juragan. Tidak takut, hanya saja Man Rusli belum menemukan raut yang pantas. Ingin rasanya mengutuk Imam Ilyas dengan sebuah tatapan, di mana besarnya kebencian akan menggerogoti setiap nafas Imam Ilyas dengan penyesalan. Ya, Man Rusli sedang mempersiapkan itu.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang