CHAPTER 58 - BECAK, BECAK! BECAK?

17.6K 1.9K 78
                                    

DESA LINDUNG, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1975  

Lain di Leduk, lain juga di Lindung. Seperti keduanya punya nasib sendiri-sendiri. Berbeda, namun sama buruknya. Pukul sebelas malam di jalan sepi yang terapit dua ladang tebu. Angin malam bebas berhembus. Tebu masih setinggi lutut dan jalanan sudah sunyi seperti mati suri. 

Dari selatan, tukang becak mengayuh pelan. Menikmati perjalanan pulang seolah aspal memanjang itu adalah miliknya. Tidak ada penumpang di kursi depan, tidak pula Ia harapkan seseorang melambaikan tangan di pinggir jalan, berharap sebuah tumpangan. Ini sudah terlalu malam untuk mencari pelanggan. Tapi, di sana. Tepat lima puluh meter di depan. Seorang wanita tengah duduk di pinggiran aspal. Tangannya melambai memberi isyarat bahwa dia adalah calon penumpang. 

Tukang becak menepi. Pilihan apa yang Ia punya? Tidak mungkin mengabaikan seorang wanita yang lelah berjalan di tempat sepi, di malam hari. 

"Akhirnya," Kata wanita itu.

Ia menaikkan bakul penuh botol kosong yang dibawanya. Benda itu menegaskan bahwa wanita tersebut adalah tukang jamu. Mungkin baru pulang dari desa sebelah. Lelah karena seharian menjajakan dagangan. Atau mungkin ada alasan lain? Tukang becak tidak tahu. Ia hanya perlu tetap mengayuh, mengantarkan penumpangnya yang kebetulan satu arah.

Dua ratus meter sudah ditempuh. Tidak ada tanda-tanda tukang becak menaikkan kecepatannya. Penumpang juga tidak mengeluh. Mungkin, si tukang jamu tidak terburu-buru. Perjalanan pulang yang santai, di tengah malam yang senyap, itu semua cukup untuk melemaskan otot-ototnya.

Dari selatan, sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang. Pengendaranya adalah seorang pemuda, dengan dua keranjang bambu tergantung di belakang. Keranjang itu kosong, setelah sebelumnya berisi pisang yang sudah dijualnya ke pasar. Terus melaju hingga melewati si tukang becak tadi. Tepat saat motornya menyusul becak, si pengendara menoleh ke belakang. Untuk beberapa detik, Ia melepaskan tarikan gasnya. Lalu, pemuda itu menariknya lagi. Lebih cepat dari sebelumnya. Motor itu pun pergi dengan kecepatan tinggi. Hanya asap knalpot yang jadi salam perpisahan.

Hampir lima ratus meter dilalui tanpa ada percakapan antar penumpang dan tukang becak. Tanpa disadari oleh keduanya, Mereka sudah tiba di sebuah persimpangan. Empat lampu jalan bertemu dan menerangi titik yang sama, membuat persimpangan empat itu terang benderang. Si tukang jamu memberi isyarat berhenti dan becak itupun berhenti. Di bawah tiang lampu yang sedang dikerumuni laron, mereka melakukan transaksi.

"Ini cak," Kata perempuan itu sembari menyodorkan uang. Ia tambahkan sebuah senyum di bibirnya sebagai ungkapan terima kasih.

Tukang becak tidak tertarik. Ia bahkan tidak bergerak sama sekali. Di saat itulah bibir si tukang jamu berhenti tersenyum. Kecewa karena senyumnya tidak terbalas, oleh tukang becak yang memang tidak punya kepala.

"Hauuuuh ...." Teriak si tukang jamu. Perempuan itu tidak tahu harus berteriak atau menangis. Ia kembali duduk di pinggiran jalan karena kakinya mendadak lemas. Matanya hanya menyaksikan becak ghaib yang ditumpanginya pergi diiringi oleh lampu jalan yang satu persatu mati.


***

Hulaidi namanya. Dia adalah pembeli becak milik Naridin. Mengayuh becak bukan hal yang baru bagi Hulaidi. Tapi sejak kecelakaan satu tahun yang lalu, Ia harus istirahat demi memulihkan kakinya. Becaknya pun sudah dalam kondisi tidak layak pakai. Biaya untuk memperbaikinya sama mahal dengan biaya beli becak bekas. Beruntungnya Hulaidi bertemu dengan Apung. Pemuda itu yang membawa Hulaidi bertemu dengan Imam, sekaligus membeli becaknya. Hulaidi tahu siapa pemilik becak itu sebelum Imam. Tapi, ia tidak peduli. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi hanya karena mengendarai becak milik orang yang sudah mati. Itu kata Hulaidi.

Masih di malam yang sama. Hulaidi terbangunkan oleh suara kambingnya yang tidak berhenti mengembik. Tiga ekor kambing di kandangnya terus berbunyi dan mengganggu tidurnya, juga tidur anak dan istrinya. Khawatir membangunkan tetangga, Hulaidi terpaksa mengambil lampu senter lalu pergi ke kandang untuk memeriksa. Jangan-jangan ada maling.

Kandang kambingnya berada di halaman belakang rumah. Hulaidi membuka pintu belakang, mengenakan sandal dan turun menginjak tanah basah. Ia mendapati tiga ekor kambingnya sedang menghadap ke arah yang sama. Tidak hanya mengembik, hewan berbulu putih itu tampak berusaha keluar dari kandang. Jika bukan karena tali yang mengikat mereka, Hulaidi mungkin sudah kehilangan tiga ekor kambingnya.

"Hei, diam! Hus!" Seru Hulaidi. 

Berharap kambing itu mengerti perintahnya, sama saja berharap Hulaidi mengerti arti teriakan mereka. Kambing-kambing itu tampak tidak tenang oleh kehadiran seseorang. Di sebelah kandang ada becak Hulaidi. Becak yang baru dibelinya dari Imam dan baru tadi sore dioperasikan. Saat itu Hulaidi tidak punya prasangka buruk sama sekali. Setelah berhasil menenangkan ternaknya, Hulaidi memindahkan becak itu ke samping rumahnya. Tujuan awalnya adalah demi keamanan. Becaknya berada di tempat terbuka dan Hulaidi khawatir akan turun hujan. Tapi, begitu becaknya berada di bawah naungan atap rumah, tiga ekor kambingnya mendadak diam. Tidak mau menganggap demikian, tapi Hulaidi merasa dia baru saja menemukan penyebab dari kegelisahan ternak-ternaknya.

Hulaidi kembali memasuki rumah. Langkahnya ringan karena berhasil memecahkan masalah.

TERR

Tangan Hulaidi sudah memegang gagang pintu, tapi kakinya mendadak terdiam kaku. Ia tidak perlu repot berpikir siapa yang sudah membunyikan bel becaknya. Sudah lebih dulu terbayang di kepalanya tentang pemilik pertama becak tersebut, dan sekarang Hulaidi tahu kenapa Imam melepas becak tersebut dengan harga yang sangat murah.

Hulaidi menoleh. Ia melihat becak berwarna uning dan merah itu. Aneh, seolah becak itu menatap balik padanya. 

TERR

Seolah yang dipetik adalah jantung Hulaidi. Degupnya berubah tempo, semakin lama semakin cepat. Becak itu ada di sana, tanpa orang yang mengendarai. Hulaidi membaca doa. Barisan ayat pengusir setan yang dia hafal. Muncul keberanian di benaknya. 

Ini becak saya. Saya pemiliknya. Tegas Hulaidi pada dirinya sendiri. Ia pergi mendekati becak tersebut. Di bawah bantalan kursi penumpang, ada sebuah obeng. Sengaja di letakkan di sana bersama alat-alat lain. Hulaidi mengambilnya untuk membuka bel pegas yang terasa mulai menjengkelkan. 

"Bismillah," Ucap Hulaidi. Ia mulai melucuti sekrupnya, lalu membuka grendel dan pegasnya. Anehnya, benda logam itu justru terasa panas di cuaca malam yang sangat dingin. Hulaidi bernafas lega. Ia membawa serta grendel dan pegas itu bersamanya. 

TERR

Lagi? Hulaidi tidak tahu lagi harus berbuat apa. Suara itu justru terdengar bertalu-talu dan semakin keras. Hulaidi menoleh ke arah kandang dimana ketiga kambingnya kembali melakukan paduan suara. Barulah saat Ia melihat becaknya kembali, pemilik pertama becak itu sudah ada di sana. Ia duduk di belakang seolah siap menarik becak. Bahkan tidak lupa pada handuk putih yang biasa dikalungkan di lehernya. Satu-satunya yang Ki Naridin lupa adalah ...

KEPALANYA

Hulaidi berlari ke dalam rumahnya. Sudah setahun Ia berhenti menarik becak karena cedera. Sepertinya, Ia akan berhenti menarik becak lagi karena trauma.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang