CHAPTER 35 - KUN!

18.7K 2.1K 82
                                    

PAK GAMAR

Berangkat sehat, pulang sekarat. Dokter bilang pingsannya Pak Gamar disebabkan kelelahan dan dehidrasi, dan sampai di rumah pun Ia tidak tahu dari mana luka dan lebam itu berasal. Sejak sampai di rumah, tepatnya pukul setengah satu malam, Pak Gamar tidur nyenyak di kamar sendiri, sementara istrinya rela tidur di kamar sebelah yang memang kosong tak terpakai.

Mungkin mulai malam ini, Pak Gamar harus membiasakan diri menutup jendela sebelum malam tiba. Suara berisik yang terdengar hingga ke kamarnya  ini, berasal dari jendela yang ada di dapur. Daun jendela yang kayunya sudah rapuh, membuat angin mudah menghempaskannya ke dinding, dan sering kali menimbulkan suara yang nyaring, tergantung kecepatan angin.

Pak Gamar terbangun. Nyeri di sekujur wajahnya baru terasa setelah efek obat dari rumah sakit hilang. "Adudududuh," Pak Gamar mengaduh. Jumlah perban di wajah hampir menutupi separuh  ketampanannya, belum lagi rasa lengket dari obat tetes yang baunya sangat menyengat karena dioleskan tepat di hidung yang patah.

Setelah menggeliat dan membiasakan matanya pada ruang yang gelap, Pak Gamar mulai menyadari bahwa Ia tidur sendiri. Di kasur yang luas itu hanya ada Pak Gamar dan bantal guling, dan sebuah sajadah terlipat di bawah bantal. Pak Gamar merasa kasihan karena Mardiah harus tidur sendiri. "Ibu?" Panggil Pak Gamar, berharap Istrinya datang tanpa harus Pak Gamar turun dari ranjang.

"Mungkin tidur di kamar sebelah," Gumam Pak Gamar.

Pak Gamar berusaha menggerakkan badannya. Walaupun harus menahan sakit, tapi demi Istrinya, demi keluarga satu-satunya,  akhirnya Pak Gamar turun juga. Telapak kakinya terasa sangat dingin saat menyentuh lantai, dan walaupun yang sakit adalah wajahnya, Pak Gamar berjalan pincang seolah kakinya sedang cedera parah. "Saya harus terbiasa berjalan pincang, agar besok ada alasan untuk pulang duluan dari kantor." Pikir Pak Gamar.

Lelaki tua berbalut perban itu berjalan menuju pintu yang dibiarkan terbuka agar cahaya lampu minyak di ruang tamu dapat sedikit menerangi kamar. Pak Gamar tidak bisa tidur jika terlalu terang, dan sejak kejadian di dekat kebun pisang, Ia jadi takut tidur di dalam gelap.

"Ibu?" Panggil Pak Gamar.

Begitu keluar dari kamar, Ia menoleh ke kanan, ke arah dapur yang gelap gulita. Sebenarnya  jika ingin mencari Bu Mardiah, Pak Gamar harus belok ke kiri, ke kamar kosong yang berada di ruang tamu. Karena di sanalah istrinya sedang tidur.

Tapi saat ini, suara  jendela dapur mulai sangat menganggu. Pak Gamar memutuskan untuk menutupnya, karena selain berisik itu akan membuat rumah rawan kemasukan maling. Sebelum berjalan ke dapur, Pak Gamar menyempatkan diri melihat ke kamar sebelah. Dilihatnya Bu Mardiah yang sedang tertidur pulas dan masih berselimut mukenah. Ada rasa Iba melihat Istrinya tidur sendiri. Pak Gamar memutuskan untuk tidur bersama Bu Mardiah, segera setelah menutup jendela di dapur.

Rumah Pak Gamar terlalu sederhana untuk ukuran seorang kepala desa. Tapi untuk standar warga Leduk, rumah Pak Gamar termasuk yang paling bagus. Tentunya setelah rumah Pak Imam. Listrik adalah kendala utama kenapa rumah Pak Gamar tidak ada barang-barang mewahnya, sedangkan untuk masalah uang, Pak Gamar lebih kaya dari yang warga lihat. 

Sampailah Pak Gamar di dapur, di mana cahaya yang ada hanya yang berasal dari luar jendela. Ada lampu tiang di samping rumah Pak Gamar, dan sebuah pohon mangga yang sedikit menghalangi sinar lampu tersebut. Seringkali saat angin kencang, daun-daun mangga kering berjatuhan ke lantai dapur melalui jendela. Tapi malam ini, tidak ada angin kencang maupun angin tenang. Pohon mangga dan pohon yang lain tampak diam tak bergerak.

Pak Gamar hendak menutup jendela tersebut, tapi tiba-tiba ada keanehan yang baru saja menampar kesadarannya. "Kalau memang tidak ada angin, lalu siapa yang menggerak-gerakkan jendela?" Tanya Pak Gamar pada dirinya sendiri.

Tentu saja Pak Gamar takut, bahkan sejak pengalaman pahitnya bersama Almarhum Mahfud, di rumah Pak Gamar seringkali terjadi hal - hal yang tidak  masuk akal. Jendela dapur ini adalah salah satunya. Pak Gamar bergegas meraih kedua daun jendela, tapi saat hendak menutupnya, Ia mendengar suara berisik dari atas pohon. Seperti suara seseorang melompat dari satu ranting, ke ranting lainnya, kecuali saat Pak Gamar mengangkat wajahnya, yang ada di atas sama sekali bukan orang.

Ada kain putih menggantung di atas pohon, dihiasi dengan rambut panjang terurai hingga hampir menyentuh tanah. Samar-samar di balik rambut itu, ada sebuah wajah pucat namun cantik jelita. "Ku, ku, ku, ku, ku, ku, ku," Yang ingin diucapkan Pak Gamar adalah Kuntilanak, tapi Ia lebih memilih menutup jendela daripada menyelesaikan gagapnya.

Tepat saat jendela tertutup rapat, terdengar suara tawa yang berasal dari kejauhan. Pak Gamar berjalan secepat mungkin ke kamar istrinya, Ia lupa akan rencananya untuk pura-pura pincang. Seketika setelah memasuki kamar di ruang tamu, "Bu, Ibu, Ibu!" Seru Pak Gamar dengan suara serak dan nafas yang mulai berantakan. Bu Mardiah tidak akan senang dibangunkan dengan cara demikian, dan lebih tidak senang lagi jika Ia tahu bahwa suaminya sedang menggoyang tubuh perempuan lain.

"Hihihihihihi," Tawa perempuan berwajah pucat yang entah sejak kapan tidur di tempat istrinya. Pak Gamar tak kuasa menahan serangan di jantung rentanya, Ia nyaris pingsan kala melihat wajah cantik perempuan itu berubah dari pucat menjadi busuk dan penuh belatung. 

"Bapak?" Suara Bu Mardiah seolah meniupkan kembali nafas ke tubuh Pak Gamar yang hampir kaku. Sejak datang dari rumah sakit, Istrinya tidur di ruang tamu. Bu Mardiah menolak tidur di kamar sebelah karena selain gelap, ada banyak Nyamuk dan Kutu Busuk yang siap menghisap darahnya.

"Bapak kenapa? Kenapa turun dari kasur?" Tanya Bu Mardiah. Ia membawa serta lampu di ruang tamu ke dalam kamar tersebut, hingga ada kesempatan bagi Pak Gamar untuk memastikan apa yang sebenarnya sedang berbaring di atas kasurnya. "Mukenah?" Gumam Pak Gamar seolah tidak percaya.

Pak Gamar memeluk sang istri yang segera membawanya duduk di ruang tamu. Akhir-akhir ini mereka berdua sedang mengalami masa-masa sulit, dimana godaan setan datang silih berganti. Malam ini giliran Pak Gamar yang dihantui, setelah dua hari sebelumnya Bu Mardiah tidak bisa tidur karena di sudut kamar ada bayangan putih yang menari-nari. 

"Kepala Bapak masih belum sembuh total, jadi yang barusan pasti cuma hayalan." Hibur Bu Mardiah. Pak Gamar mengalami trauma sejak meninggalnya Mahfud, terlebih saat kunjungan orang-orang misterius malam itu. Itulah sebab mengapa Bu Mardiah tidak pernah bercerita tentang apa yang dialaminya dua hari kemarin. Ia juga memilih tetap diam, saat sepasang mata sedang melotot memperhatikan Pak Gamar dan Bu Mardiah  dari sela-sela tirai jendela. 

"Ya Allah, apa salahku dan keluargaku?" Doa Bu Mardiah.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang