CHAPTER 22 - SEBATANG LILIN, SEPULUH BAYANGAN

19.7K 2.2K 159
                                    

YAYUK

Lebih dari satu jam sejak kepergian Pak Imam. Ia pergi memeriksa keadaan tambak yang mendadak gelap karena pemadaman listrik. Pak Imam tidak akan segera pulang, Ia dan Man Rusli berniat pergi melihat keadaan Ki Mujur yang kabarnya tewas dibunuh. Tapi sampai jenazah Ki Mujur dan Kedua Juru Kunci lainnya diangkut ambulans, Pak Imam dan Man Rusli tidak kunjung datang. Sepertinya situasi di tambak tidak memungkinkan untuk ditinggal.

Berbicara tentang ditinggal, Pak Imam meninggalkan istri dan ketiga anaknya di rumah. Bu Ilmi harus rela tidak tidur, karena ketiga anaknya masih terjaga. Bahkan Uli yang sejak tadi nyenyak, kini duduk manis memandangi lampu minyak.

Semua berkumpul di ruang tamu, empat kursi melingkari satu meja. Satu dari empat kursi tersebut adalah kursi panjang yang di atasnya sedang terbaring seorang Ulfa. Di samping si bungsu, Uli duduk sembari menyisir rambut Yayuk yang sedang duduk bersila di lantai. Ia masih memandangi pintu kamarnya yang gelap, karena lampu minyak yang ada hanya cukup menyinari ruang tamu.

Sementara Bu Ilmi sedang duduk bersandar, berdzikir dengan tasbih di tangan, Sofia justru berdiri jauh di sudut ruangan, Ia semain merasa bahwa Bu Ilmi benci padanya. Keheningan itu berlanjut cukup lama, hingga matinya lampu minyak pertama.

"Yaah, gimana nih? Uli ambil minyak tanah di dapur sana!" Perintah Yayuk sembari melirik ke atas. "Gak berani Mbak," Jawab Uli sambil melihat ke bawah.

"Oh iya, baru ingat. Ibu lupa beli minyak tanah." Ujar Bu Ilmi. "Yaah gimana donk? Mana yang satunya juga tinggal sedikit." Keluh Yayuk.

"Apa boleh buat, sejak pindah ke sini kita sudah pakai listrik, jadi lampu minyak adalah barang langka di rumah ini." Ujar Bu Ilmi. Ia menghentikan dzikirnya dan memilih mengajak anak-anaknya ngobrol. "Termasuk minyak tanahnya juga langka?" Celetuk Yayuk. Ia masih kesal karena Ibunya lalai membeli minyak tanah.

Wajar jika Yayuk yang paling takut. Ia masih dihantui oleh pocong yang setiap malam singgah di kamarnya. Yayuk mencoba untuk tidak percaya pada mitos mendahului pengantar jenazah, tapi sepertinya mahluk di balik kain kafan itu sangat berniat membuktikannya. Tidak hanya di kamar, pocong itu bahkan hadir di mimpinya. Hal paling menakutkan dari rantaian teror pocong itu adalah saat Yayuk terbangun di bawah kasurnya.

"Kita bakar kertas saja deh, mumpung masih ada api. Sepertinya padamnya masih lama." Usul Yayuk. "Hus, ngawur! Mau rumah kita kebakaran?" Tegur Bu Ilmi.

Tiba-tiba api di lampu minyak itu bergoyang seperti tertiup angin. Ulfa tersenyum melihat Sofia yang entah sejak kapan ada di depan lampu minyak. "Sebentar lagi lampunya mati," Kata Sofia. 

Tebakan Sofia benar. Cahaya lampu minyak meredup dengan cepat, minyak di dalamnya memang tinggal sedikit tapi yang terjadi di ruang tamu sedikit tidak masuk akal. Seolah-olah sumbunya kering hingga apinya mati dan ruang tamu pun gelap gulita.

"Aaaah tuh kan," Seru Yayuk. Ia kesal sekaligus takut. Yayuk merasakan tangan Uli tidak lagi menyentuh rambutnya, karena sang adik sedang memeluk Ulfa, sementara Ulfa hanya duduk sambil menggigit jari telunjuknya. 

"Kalian tunggu di sini, biar Ibu carikan lilin." Ujar Bu Ilmi. "Memang punya Lilin Bu? Kok tidak dari tadi sih bilangnya." Tany Uli. "Kan Ibu bilang mau dicarikan, soalnya Ibu pernah lihat ada lilin di lemari dapur. Cuma satu sih." Jawab Bu Ilmi.

Membiarkan Ibunya pergi ke dapur sama saja menjadikan Yayuk anak durhaka. Berjalan saat terang saja Bu Ilmi masih berpegangan pada dinding, apalagi di tengah gelap. Bu Ilmi bisa saja kesandung. Yayuk tidak mau penyakit Rematik Ibunya bertambah parah.

"Sudah Bu, biar Yayuk saja," Yayuk menawarkan diri. Sedikit ragu, tapi Bu Ilmi menerima tawarannya. "Yakin, tidak takut?" Tanya Bu Ilmi. "Tidak Bu, kan Sofia juga ikut." Jawab Yayuk sambil mengambil korek api di samping lampu minyak.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang