CHAPTER 24 - PANGGILAN FAJAR

19.9K 2.2K 74
                                    

EDO

Rumah Edo berada di kompleks paling timur, di seberang jembatan gantung. Nelayan dua puluh tujuh tahun itu tinggal bersama ibunya yang sudah tua, dan juga istrinya yang masih dalam hayalan. Ya, bujang lapuk. Jika ditanya kenapa belum berkeluarga, maka jawabannya sudah pasti Marlena. Oh Marlena.

Sejak  listrik padam hingga hidup kembali, pengaruhnya pada rumah warga hampir tidak terasa, termasuk rumah Edo. Seperti kebanyakan rumah di desa leduk, rumah edo pun berdinding bilik bambu. Hanya saja atapnya terbuat dari genteng tanah liat, sedikit lebih mewah dari tetangganya. Malam itu si bujang tidur terlalu lelap, terlalu jauh melanglang mimpi indahnya. Jika ditanya mimpi apa yang paling indah baginya, maka jawabannya sudah pasti Marlena. Oh Marlena.

Edo membuka mata. "Astaghfirullah!" Terperangah melihat Ibunya tidur di lantai tanah. Ini bukan pertama kalinya, bukan pula karena ibunya sengaja. Nyai Dimah seringkali tidur di ranjang tapi bangun di lantai. Entah karena jatuh, atau tanpa sadar tidur berjalan.

Dengan sabar Edo menggendong ibunya yang sepuh, tubuhnya sangat ringan terutama di lengan Edo yang terbiasa menarik jala. "Aduh Mak, bikin kaget saja," Keluh Edo. Ia mencium kening Ibunya yang keriput, lalu pergi ke dapur mencari korek api. Tidak biasanya lampu minyak di rumah Edo mati, apalagi lima lampu sekaligus. 

"Bapaaak!" Teriakan tetangga Edo, bersamaan dengan suara langkah kakinya yang berlari di samping rumah. Dinding rumah Edo yang terbuat dari anyaman bambu membuat suara apapun di luar terdengar jelas di dalam. Edo mendengar derasnya hujan semalam tapi seribut apapun, suara tetes air yang jatuh dari langit adalah pengantar tidur terbaik. Tapi tidak dengan ributnya suara tetangga barusan.

Edo menyalakan lampu, cukup dua saja karena sesaat lagi subuh. Ia mengenakana sarung, baju koko, kopiah putih lalu pergi ke luar, mencari tahu penyebab teriakan tetangga barusan.

"Waduh, Ada apa ini?" Edo terkejut melihat semua tetangganya sedang berada di luar. Mereka berkumpul di satu rumah, ada yang membawa payung, ada yang hanya menutup kepala dengan daun pisang. Mereka ribut mendiskusikan sesuatu yang sama sekali Edo tidak tahu. "Mungkin ada maling," Pikir Edo.

"Saya baru keluar dari kamar mandi pas tiba-tiba pocong itu lewat di halaman. Kaki Saya langsung lemas, Saya bahkan tidak bisa teriak." Tutur salah seorang Ibu.

"Anak Saya Nyi, dia tiba-tiba bangunin Saya yang lagi tidur. Katanya melihat almarhum bapak di kamar. Pas Saya lihat ke kamar, ternyata yang melotot di pojokan itu pocong. Haduuuuh." Cerita dari Ibu yang sedang menggendong anak. Berbeda dengan sebelumnya Ibu ini bercerita dengan sangat histeris.

"Saya bingung, Saya kira tadi ada maling. Soalnya gelap sekali, semua lampu minyak padam, hujan pun masih deras, makanya Saya langsung ambil celurit. Eh ternyata pas Saya buka pintu, itu hantu sudah lompat-lompat di bawah pohon mangga." Tutur seorang bapak yang masih siaga dengan sebilah celurit di tangan. Begitu seterusnya, cerita demi cerita keluar dari mulut warga, dan sampai di telinga warga lainnya. 

"Assalamualaikum, ada apa yah Lek, Mbak, Cak, kok ribut-ribut, ada maling kah?" Tanya Edo. Walaupun saat itu wajah tetangganya ketakutan, beberapa perempuan bahkan masih menangis, dan di salah satu teras rumah ada yang belum siuman, tapi Edo bertanya dengan senyuman seolah tanpa beban.

"Dari mana kamu dek?" Bapak yang membawa celurit itu balik bertanya, karena Edo sama sekali tidak tampak seperti orang yang habis melihat pocong.

"Baru bangun Cak. Barusan Saya dengar suara Bu Ninis teriak, apa benar ada maling?" Tanya Edo. 

"Dek Edo tidak diganggu pocong? Tanya Bu Ninis. Tetangga yang Edo dengar teriak memanggil suaminya.

"Pocong, dimana? Dari tadi Saya tidur Bu, Saya tidak dengar apa-apa." Jawab Edo. Ia melihat sekeliling kompleks, dari rumah ke rumah, pohon ke pohon, tapi tidak melihat Pocong yang Bu Ninis maksud. "Gawat ini. Kemarin warung Mbak Marlena juga didatangi  Pocong. Banyak sekali." Lanjut Edo.

"Sampen lihat juga?" Bu Ninis bertanya dengan Antusias.

"Ah tidak sih. Yang lihat cuma Mbak Marlena, Saya sama Anto tidak lihat apa-apa." Edo menggelengkan kepala.

Walaupun Edo tidak mengalami sendiri, tapi Ia bisa merasakan getir di wajah para tetangganya. Salah satu dari mereka bahkan melihat keranda di dalam rumah, mereka mulai menghubungkan fenomena ini dengan penemuan kuburan-kuburan baru di kebun itu. Warga berencana mendatangi para juru kunci untuk meminta petunjuk.

Setelah dirasa cukup mendengar keluh kesah tetangganya, Edo pamit untuk pergi ke Mushallah. "Hari ini bagian Saya baca Tarhim Cak, mumpung tidak melaut. Saya pamit dulu, Assalamualaikum." Edo melambaikan tangan. "Tunggu dek, Saya ikut. Sekalian mau jamaah subuh." Ucap seorang tetangga. Beberapa memutuskan untuk ikut ke Mushallah juga, dan untuk itu mereka harus ke barat, melewati jalan becek, menyeberang sungai, lalu melewati jembatan gantung.

Beberapa saat kemudian, lima orang warga termasuk Edo berangkat ke barat. Mereka bersama-sama pergi ke sebuah Mushallah kecil di pertigaan yang menghubungkan tiga jalan. Jalan ke barat menuju jalan utama, jalan ke pemukiman warga dan jalan ke astah temor. Jarak yang cukup jauh, tapi Mushallah itu adalah satu-satunya yang terjangkau arus listrik. Di sana lah adzan lima waktu dikumandangkan, dan pengumuman penting disiarkan. 

Barisan pohon bambu sudah menyambut Edo dan kawan-kawan, itu artinya jembatan gantung sudah dekat. Salah satu warga bercerita bahwa Adik Marlena mengaku melihat pocong pembawa keranda merah di jembatan gantung, bahkan tidak sengaja melewatinya. Awalnya mereka mengira itu adalah omong kosong seorang bocah, tapi setelah malam ini mereka akan percaya. 

"Emping tidak mungkin berbohong, anak itu pasti benar-benar mendahuluinya. Karena itu di malam selanjutnya rumah Marlena didatangi pocong." Ujar seorang warga.

"Bisa jadi. Tapi bagaimana dengan kita? Saya tidak merasa bertemu dengan hantu keranda itu, tapi tetap saja anak dan istri saya diganggu." Tanya salah seorang warga yang sama sekali tidak merasa mendahului hantu keranda.

"Entahlah. Juru Kunci pasti tahu alasannya." Ujar seorang yang paling tua dari mereka.

Edo hanya mendengar, Ia tidak mau berpendapat. Sejak beberapa hari terakhir, isu Hantu Keranda dan Pocong sudah sering Ia dengar. Bahkan sejak masih kecil, cerita tentang nelayan yang bertemu kuntilanak sudah jadi mitos di kalangan anak-anak. Tapi sampai sekarang pun Edo belum pernah melihatnya.

Akhirnya mereka sampai di jembatan gantung. Tidak pernah ada yang bilang kalau tempat ini berhantu, tapi penilaian angker atau tidaknya sebuah tempat seringkali berasal dari mulut seorang penakut.

"Lhoo?" Edo menoleh ke belakang. Dia heran karena tetangganya masih berada di seberang sementara Edo sudah separuh perjalanan. "Jadi ke mushallah tidak?" Tanya Edo.

Semuanya serempak menggelengkan kepala. "Sampean duluan saja!" Seru salah satu warga. Edo sudah terlambat, sesaat lagi waktunya adzan subuh berkumandang. Ia hanya melambaikan tangan kemudian melanjutkan perjalanan dengan senter di tangan. "Dasar penakut," Gerutu Edo.

Sementara itu. Pasukan gagal menyeberang masih berdiri memperhatikan. Edo dengan santai berjalan melewati jembatan, tanpa peduli dengan pocong yang datang dari arah berlawanan. Tidak berpapasan, tidak ada yang minggir untuk mengalah. Edo menembus tubuh mahluk itu layaknya kabut, terus begitu hingga Ia sampai di seberang. Sementara mereka yang tidak menyeberang langsung lari tunggang-langgang.

Pemandangan yang sama menyambut Edo di kompleks barat. Sebagian besar warga berdoa bersama di halaman rumah, duduk di atas tikar. Edo mendengar keluhan yang sama, tangis yang sama, dan semua itu karena alasan yang sama. Ia tidak melihat kedua sahabatnya, Anto dan Azwar. Pintu rumah Marlena pun tertutup dan Edo tidak bisa menemukannya di antara kerumunan warga. 

Edo teringat niat dan tujuannya dari rumah. Ia melanjutkan perjalanan ke mushallah, dengan tujuh orang pengikut barunya. Edo hanya berharap tujuh orang itu tidak berakhir seperti mereka yang gagal menyeberang. Shalat subuh di rumah saja godaannya berat, hanya orang kuat saja yang mampu shalat subuh berjamaah. Begitu prinsip Edo.

Beberapa saat kemudian shalawat tarhim dilantunkan, menggema ke seluruh penjuru desa, pertanda pagi segera tiba. Lalu setelahnya adzan subuh berkumandang, menutup malam dan membuka fajar. Hari baru untuk desa leduk segera tiba, dan mereka akan terkejut karena desa kecil ini akan banyak berubah.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang