CHAPTER 2 - EMPAT PEMAKAMAN

45.1K 3.3K 128
                                    

DESA LEDUK, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1992

"LIMA TAHUN SETELAH TRAGEDI POLONG MAYIT"

IMAM ILYAS

Ia adalah peraduan. Setiap kali warga desa butuh pencerahan, Pak Imam yang selalu mereka andalkan. Pendidikan rata-rata warga Desa Leduk adalah tamatan SD, tidak butuh gelar sarjana untuk sekedar menjadi nelayan. Begitu pikir mereka, dan pemikiran itu yang membuat Desa Leduk masih kental dengan kepercayaan mistisnya.

Pagi hari di teras rumah Pak Imam. Di sela-sela bunyi mesin motor, percakapan hangat nan serius terjadi antara tuan rumah dan seorang pekerja tambak. Man Rusli namanya. Sengaja pagi ini Ia mampir ke rumah majikannya untuk menyampaikan sebuah berita yang sebenarnya tidak asing lagi di telinga Pak Imam.

"Ini bukan pertama kalinya Astah Dejeh menolak seorang jenazah kan?" Tanya Pak Imam. "Begitulah juragan. Juru Kunci nya sangat ketat dalam memilah siapa saja yang boleh dimakamkan di sana," Tutur Man Rusli. "Semoga kali ini tidak ada perseteruan lagi," Pak Imam mematikan mesin motornya yang sudah lima belas menit  dipanaskan. "Terakhir kali mereka melakukan hal itu, warga berbondong-bondong unjuk rasa di pemakaman. Unjuk rasa, di pemakaman?" Pak Imam mengulangi kalimat terakhirnya seolah tidak percaya dengan apa yang dilakukan warga saat itu.

"Apa boleh buat Juragan. Terakhir kali para Juru Kunci melanggar, desa ini dilanda teror berkepanjangan. Wajar kalau Astah Dejeh tidak mau ambil resiko lagi." Penuturan Man Rusli mengingatkan Pak Imam bahwa dirinya hanyalah seorang pendatang. Ia tidak ada disini saat Teror yang dimaksud merebak ke penjuru Desa Leduk.

"Ada kabar tentang tiga Astah lainnya?" Tanya Pak Imam seraya membersihkan roda motornya. Tiga Astah yang dimaksud adalah Astah Temor, Astah Berek dan Astah Laok. Bukan tanpa alasan jika Desa Leduk dijuluki sebagai Desa Pattok, yang dalam Bahasa Indonesia berarti Desa Batu Nisan. Nama itu muncul karena sebagai desa terpencil, Leduk punya empat pemakaman besar yang tersebar di empat penjuru mata angin. 

Astah Temor di perbatasan sebelah timur, Astah Laok di perbatasan selatan, Astah Berek di bagian barat dan Astah Dejeh di pesisir pantai. Terbaginya empat pemakaman itu bukanlah sebuah kebetulan. Semua ada sejarahnya dan seperti kebanyakan tempat angker, sejarahnya pun adalah sejarah yang kelam. 

Pak Imam bertanya demikian karena keempat astah tersebut saling berhubungan. Ia juga sudah lama Ia tidak mendengar berita tentang tiga pemakaman di ujung desa itu. 

"Minggu lalu kasus yang sama terjadi di Astah Temor, Juragan," Man Rusli menyampaikan berita yang mungkin sedikit terlambat. "Maksudnya?" Tanya Pak Imam berharap penjelasan lebih lanjut. "Juru Kunci Astah Temor menolak dua jenazah yang hendak dikuburkan di sana. Menurut kabar yang Saya dengar, dua jenazah itu berasal dari desa Kalakan." Man Rusli memperjelas ceritanya.

Motor Pak Imam sudah terlihat bersih. Tapi entah kenapa tangannya masih sibuk mengusap kuda besi tahun delapan puluhan itu. Jelas sekali jika saat ini pikirannya sedang berkelana jauh, mencoba mencerna berita yang di sampaikan anak buahnya itu. "Saya tidak bisa membayangkan  perasaan keluarga jenazah yang ditolak." Pak Imam berkata dengan raut wajah sedih. "Di satu sisi para Juru Kunci hanya melaksanakan kewajibannya. Dan itu semua demi kebaikan para penduduk desa," Bingung pada siapa kebijaksanaanya harus berpihak. Pak Imam membiarkan pembahasan itu menggantung, menunggu titik terang sebelum gelap datang.

"Saya pamit dulu juragan. Hari ini yang kerja ada enam orang. Habis duhur Saya kembali lagi." Man Rusli pamit pada sang majikan. Sebagai pekerja tambak Sudah rutinitasnya setiap siang menjemput bekal di rumah sang juragan. 

Sementara Man Rusli pergi, Pak Imam duduk termenung di atas motornya. Ini tahun keempat Ia dan keluarga pindah ke Desa Leduk. Tambak udang di desa tersebut dikelola oleh perusahan asal kalimantan dimana Pak Imam bekerja. Kegigihan, kejujuran dan pengabdiannya membuahkan hasil. Pak Imam dipercaya menjadi kepala unit cabang yang kemudian membawanya dan keluarga ke desa ini. Desa Leduk yang penuh misteri.

Pagi ini sedikit mendung. Bahkan hampir setiap hari desa leduk diselimuti awan hitam. Hal yang tidak wajar untuk sebuah desa di daerah pesisir. Lebih tidak wajar lagi karena awan hitam tersebut tidak pernah berakhir menjadi hujan.

"Uli sudah siap belum?" Seru Pak Imam. Terdengar suara dari dalam rumah menjawab "Sudah yah," Seorang gadis berkerudung putih dengan seragam putih abu-abu sedang berdiri di pintu. Tas coklatnya belum sepenuhnya tertutup, tampak ujung buku keluar di sela-sela resletingnya. 

"Ayo cepat. Ini sudah hampir jam tujuh." Seru Pak Imam. Uli adalah putri kedua dari Pak Imam dan Bu Ilmi. Satu-satunya yang mewarisi wajah ayahnya. Hidungnya mancung dan berdagu lancip. Walaupun masih kelas dua SMA, tapi tinggi badannya hampir menyamai sang kakak yang sudah berkuliah. Jika ada hal yang harus disayangkan dari Uli, maka hal itu adalah kedisiplinan waktunya. 

Pagi ini pun Pak Imam dibuat geram lantaran sudah pukul tujuh tapi Uli belum juga berangkat. Seperti biasa Pak Imam sendiri yang mengantarnya ke sekolah. SMA Negeri satu Banyusirih berada di luar desa, tepatnya di Dusun Lindung, sehingga berangkat sekolah seorang diri sama sekali bukan pilihan bagi Uli.

"Uli berangkat Bu, Assalamualaikum," Lambaian tangan Uli pada sang Ibu yang sedang tersenyum di teras rumah. Sementara motor bersuara bising itu membawa Uli dan Pak Imam pergi melewati jalanan beraspal.

"Mbak Yayuk jadi pulang besok kan Yah?" Tanya Uli dengan suara keras. Memastikan pertanyaannya terdengar oleh sang ayah dan tidak kalah oleh suara motor. "Insya Allah jadi. Kalau tidak ada halangan kita jemput Mbakmu di pertigaan Banyusirih." Jawaban dari Pak Imam cukup menambah semangat dan sedikit senyuman di wajah Uli. Sejak kuliah di kota kakak perempuannya hanya bisa pulang satu tahun sekali.  Kebetulan tahun ini mereka libur panjang di bulan yang sama. Uli sudah tidak sabar membayangkan liburan bersama kakak dan adiknya. Jauh dari desa ini tentunya.

Melewati daerah kebun pisang kondisi jalan sedikit lebih lancar. Itu karena dari sini hingga ke selatan, proyek pembangunan jalan dibiayai oleh desa sebelah. Berbeda dengan jalanan ke utara yang sebagian besar sudah berlubang dan dipenuhi bebatuan. 

Dari sini Pak Imam mempercepat laju motornya. Sesekali menyapa petani dan warga yang ditemuinya di jalan. Perjalanan ke selatan terasa sangat sepi karena rumah penduduk bisa dihitung dengan jari. Hanya ladang tebu, kebun pisang, kebun mangga dan hamparan sawah yang menemani. Tanpa terasa Pak Imam sampai di Astah Laok, pertanda sesaat lagi mereka akan keluar dari Desa Leduk.

Sekilas Pak Imam palingkan wajahnya ke pemakaman yang luas itu. Sepi sekali. Tidak juga Ia harapkan keramaian di tempat seperti ini. Hanya saja batinnya terketuk kala melihat sesuatu di tengah pemakaman itu. Seorang wanita tengah menggendong bayi. Berdiri menatap kosong ke jalan raya.

"Tidakkah ini terlalu pagi untuk Ziarah kubur?" Pak Imam bertanya pada dirinya sendiri.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang