CHAPTER 6 - TAK KASATMATA

29K 2.6K 190
                                    

MAHFUD

Sering muncul pertanyaan, seperti apa pemimpin Desa Leduk? Tapi saat penduduk menunjuk Pak Gamar, mereka terbelalak seolah tidak percaya. Desa seribu batu nisan dipimpin oleh seorang laki-laki dengan gangguan pendengaran akut. Lebih buruk lagi karena Pak Gamar juga rabun dan gagap.

Itulah yang terjadi saat orang awam mencoba demokrasi. Memilih pemimpin dengan berpedoman pada mimpi dan garis tangan. Saat itu tidak ada yang lebih pantas dari Pak Gamar, karena di desa itu hanya dia satu-satunya tamatan SMA.

"Sama sekali tidak ser, serius," Bentak Pak Gamar pada Mahfud, sekretarisnya. Semua tertawa walau harus menutup mulut. Itu terjadi setiap kali Pak Gamar marah, umpatan dan makian yang keluar dari mulutnya terasa menggelitik karena cara bicaranya yang unik. 

Pagi ini kantor desa kedatangan seorang warga bernama Saripudin. Nelayan berkulit gelap itu ingin menyampaikan amanat dari Man Mahrum, Juru Kunci Astah Dejeh, terkait dengan perbaikan makam tertua di pesisir tersebut. 

"Tidak ada anggar, anggar, anggaran untuk perbaikan mak, makam." Tegas Pak Gamar. Saat itu di kantor desa sedang sepi. Hanya Pak Gamar, Mahfud dan dua orang perangkat desa  yang sudah datang sejak pagi. 

"Mohon maaf sebelumnya Pak. Menurut info yang Saya dengar, empat hari yang lalu Astah Laok mulai renovasi pagar. Terus kenapa giliran Astah Dejeh Bapak bilang tidak ada anggaran?" Protes Saripudin. Ia harus gigih memperjuangkan amanat Sang Juru Kunci. Astah Dejeh adalah yang paling tua, tidak ada yang ingat kapan terkahir kali pemakaman di pesisir itu dirawat. 

"Hah? Apanya?" Tanya Pak Gamar sembari memajukan telinga kanannya. Mahfud selaku sekretaris membisikkan apa yang baru saja Saripudin katakan, karena sepertinya Saripudin mulai jengkel bicara dengan Pak Gamar.

"Renovasi pagar Astah La, laok, dananya langsung dar, dari Ustad Mahlawi. Karena tanah itu adalah tanah waka, waka, wakaf almarhum keluarganya." Tutur Pak Gamar sambil mengetuk jemarinya di meja. "Makanya. Sebel, sebel, sebelum prot, prot, protes, cari tahu dulu fak, fak, faktanya." Imbuhnya.

Mahfud menggelengkan kepala. Laki-laki tiga puluh empat tahun itu berharap Saripudin berhenti memaksa. Bukan Mahfud tidak peduli, tapi saat ini memang tidak ada anggaran untuk perbaikan makam. 

"Lagi pula kenapa bar, baru sekarang mengaju, ajukan perbaikan? Kenapa tidak aw, awal tahun kemar, kemarin saja?" Tanya Pak Gamar. Sejujurnya Saripudin malas menjawab, karena selain Pak Gamar tidak mungkin mendengar, jawaban Saripudin tidak akan dianggap serius. Saripudin enggan menceritakan apa yang sudah dialaminya tadi malam, apalagi di depan para aparat desa.

Merasa tamunya tidak mungkin menjawab, Pak Gamar kembali menyibukkan diri dengan tumpukan kertas di mejanya. Pemandangan yang sedikit membuat Saripudin Iba, karena untuk membaca tulisan di kertas tersebut Pak Gamar harus mendekatkan matanya ke meja. Pandangannya sudah rabun parah bahkan dengan bantuan kaca mata.

"Din, sebaiknya kita bicara di luar." Mahfud mengajak tamu kepala desa itu pergi. Percakapan ini tidak akan berakhir dengan kemenangan Saripudin, Mahfud sadar akan hal itu. Mungkin dengan bicara empat mata, Ia bisa memberikan pemahaman pada Saripudin.

Saripudin pamit walau dengan wajah ketus. Pak Gamar pun mempersilahkan walau dengan wajah datar. Begitu Mahfud dan Saripudin keluar, Pak Gamar segera beranjak dari tempat duduk dan masuk ke dalam ruangan pribadinya.

"Sesuatu pasti sudah terjadi di Astah Dejeh," Gumam Pak Gamar yang masih berdiri di balik pintu ruang kepala desa. "Mungkin sebaiknya Saya segera menemui Mahrum."

Di luar kantor desa, tepatnya di pos jaga, Mahfud dan Saripudin sedang berbincang-bincang. Asap rokoknya saling beradu. Bergantian keluar dari mulut dan hidung. Kantor Desa Leduk berada di selatan. Seratus meter sebelum Astah Laok, dan satu kilo meter sebelum Desa Lindung.

Berdua Mahfud dan Saripudin duduk santai di pos jaga. Seperti biasa Mahfud selalu mudah berkeringat. Tubuhnya yang tambun itu membuat Ia cepat sekali lelah. Mereka memandangi jalan aspal, jalan utama menuju desa. Santai itu berakhir ketika Mahfud membawa topik pembicaraan pada tema yang lebih serius.

"Jadi sebenarnya apa yang terjadi di Astah Dejeh?" Tanya Mahfud dengan sapu tangan di kening. Ia kenal baik dengan Saripudin, Ia yakin temannya itu mau berterus terang. "Hantu," Jawab Saripudin. "Empat pocong di pemakaman, tengah malam, sedang mengelilingi salah satu kuburan di sana." Saripudin memperjelas ceritanya.

Bagi mahfud, bagi seluruh warga Desa Leduk, cerita tentang munculnya penampakan sudah lumrah terdengar. Umumnya mereka akan menepisnya, menganggapnya sebagai isu karena sebuah desa dengan jumlah kuburan terbanyak ditambah banyaknya mahluk halus gentayangan justru akan berdampak buruk pada nama baik desa. Hal tersebut mulai dianggap sebagai ancaman serius sejak ditutupnya pasar Leduk karena pengunjung dan penjual enggan berdagang di desa seribu batu nisan.

"Tidak pernah sebelumnya Saya dengar yang seperti itu. Penampakan mahluk halus di dalam pemakaman? Saya harap Kamu salah lihat." Mahfud meragukan cerita Saripudin. Ia sama sekali tidak ingin percaya. Jika warga mendengar tentang arwah gentayangan  di dalam empat pemakaman tersebut, mereka akan mulai meragukan para Juru Kunci. 

"Terserah mau percaya atau tidak. Lagipula itu bukan alasan Saya mengajukan dana perbaikan." Ujar Saripudin. "Lantas apa alasannya?" Tanya Mahfud. "Salah satu kuburan di Astah Dejeh ambruk. Bahkan kayu penyangga yang ada di dalam juga sudah rapuh," Saripudin bercerita dengan niat menutupi separuh kejadian. Sebelum akhirnya Ia sadar saat ini hanya Mahfud yang mau mendengar. "Dan tanpa sengaja Saya ikut jatuh. Ke dalam kuburan itu."

"Hahaha. Kamu jatuh ke dalam kuburan? Hahaha." Ya. Saripudin menyesal. Dia buang rokok yang masih lumayan panjang untuk beberapa kali hisap. Beruntung Mahfud segera menghentikan tawanya dan menutup mulut dengan sapu tangannya. Ini musibah, tapi karena Saripudin yang mengalaminya entah kenapa terasa lucu.

"Baik, serius." Mahfud mengakhiri tawa dan mulai bicara serius. "Sejak awal sudah ada rencana relokasi Astah Dejeh. Tanah di dekat pantai memang kurang layak untuk pemakaman. Apalagi semakin tahun jumlah kuburan semakin bertambah dan semakin dekat dengan pantai." Saripudin mengangguk. Ia pernah mendengar wacana yang disampaikan Mahfud itu. "Sayang sekali Almarhum Man Bahrudin menolak dan sayangnya lagi beliau tidak memberikan solusi maupun alasan." Ujar Mahfud.

Untuk beberapa saat Mahfud dan Saripudin saling diam. Mereka hanya tersenyum menyapa setiap kali ada warga yang lewat. Hingga sepuluh menit berlalu Saripudin memutuskan untuk pulang.

"Saya pulang saja. Saya belum tahu harus bilang apa sama Man Mahrum, tapi untuk saat ini kuburan yang ambruk akan kami perbaiki sendiri." Saripudin berkata dengan irama kecewa. Sekarang ini yang bisa Mahfud lakukan hanya mengangguk sembari mengusap keringatnya. Dia ingin sekali membantu tapi apa daya mahfud tidak punya kuasa.

Menyaksikan kepergian Saripudin membuat Mahfud kembali berpikir. Selama ini warga desa terlindung dari gangguan mahluk ghaib berkat keempat juru kunci. Bahkan dengan banyaknya kuburan di desa leduk, kemunculan mahluk tak kasat mata masih mampu diredam. Jika apa yang dilihat Saripudin benar-benar sebuah penampakan, maka sesuatu sedang terjadi pada sang juru kunci Astah Dejeh. Mahfud hanya berharap ini tidak berlanjut dan kejadian serupa tidak terjadi di tiga astah lainnya.


BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang