CHAPTER 20 - EMPAT MAKAM, SATU NAMA

25.6K 2.3K 509
                                    

DESA LEDUK, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1975  

BAHRUDIN

"Angkat!" Seru Bahrudin. "Kalian berbohong, informasi di kertas ini pun palsu. Saya tidak sudi menguburkannya di tanah ini," Tegasnya.

Enam orang pengantar jenazah itu pun lemas. Putus asa karena sampai sejauh ini pun masih ada yang menolak mereka. Tidak, menolak jenazah yang mereka bawa. Salah satu pengantar jenazah mencoba bernegosiasi. Dari caranya menenangkan kelima pengantar jenazah  lain, yang satu ini tampak seperti pemimpin.

"Nama Saya Imam Mubarak Man, Saya masih kerabat Almarhum." Ujar Imam memperkenalkan diri. Bahrudin yang merasa kepercayaannya sudah dilukai, enggan menyambut uluran tangan Imam. "Kami minta maaf, Kami salah. Tidak seharusnya Kami berbohong. Tapi kami sudah tidak punya tujuan lagi Man. Hampir semua pemakaman yang kami datangi menolak Almarhum, Bahkan Pemakaman Lindung sendiri." Tutur Imam dengan wajah memelas.

"Dan Kalian pikir Saya akan menerimanya?" Tanya Man Bahrudin.

"Kami harap, Kami  mengemis, memohon agar Almarhum bisa dimakamkan di sini." Pinta Imam seraya menundukkan kepala.

Bahrudin mudah sekali Iba. Ia adalah orang yang mudah meminjamkan uang tapi susah menagihnya kembali, bahkan saat dirinya sedang sangat butuh. Hanya saja kali ini Bahrudin tidak mau gegabah. Ini pertama kalinya ada perdebatan sebelum Ia hendak memakamkan jenazah.

"Lalu apa maksud dari kain merah itu?" Tanya Bahrudin. "Kalian bisa meminjam keranda seharusnya kalian tidak lupa dengan kain penutupnya." Bahrudin mempertanyakan asal-muasal kain merah yang menutupi keranda jenazah Naridin.

Terjadi diskusi kecil antara Imam dan kelima rekannya. Bahkan kali ini kedua adiknya yang sejak awal diam ikut memberi pendapat. Mereka adalah dua pemuda yang memberitahu Bahrudin akan kedatangan Imam dan Rombongan jenazah.

Tampaknya diskusi itu sudah membagi rombongan Imam menjadi dua kubu. Setuju dan tidak setuju. Mengenai apa yang mereka perdebatkan, Bahrudin akan segera mengetahuinya.

"Begini Man. Saya adalah keponakan dari Nyai Toriyati, istri dari Almarhum Ki Naridin, yang jenazahnya sedang kami bawa ini." Imam memulai penjelasannya. "Ki Naridin meninggal karena dibunuh oleh seseorang. Beliau ditemukan dengan kondisi mayat terpenggal tanpa kepala." Tutur Imam.

"Saya bisa menerka itu. Saya tahu mayatnya tidak utuh, karena cara kalian membungkus jenazah sama bodohnya dengan wajah kalian sekarang." Bahrudin menyela. Ia masih kesal karena sudah dibohongi. "Apa yang dilakukan almarhum semasa hidupnya, hingga dia dibunuh dengan sadis seperti ini?" Tanya Bahrudin.

Sesaat Imam memandangi teman-temannya. Sebagian mengangguk, sebagian lagi berbisik jangan. Tapi keputusan tetap di tangan Imam.

"Ki Naridin adalah tukang becak. Istrinya adalah tukang pijat. Mereka warga yang baik, menjalin hubungan yang baik pula dengan tetangga-tetangganya. Sampai akhirnya," Imam menutup sebelah matanya dengan telapak tangan. Air mukanya mendadak suram. 

"Di hari yang sama saat mayat Ki Naridin di temukan, beredar kabar bahwa Almarhum adalah penculik bayi dan anak-anak. Tidak hanya itu, Istrinya pun difitnah sebagai tukang sihir. Saat itu di Lindung sedang ramai Isu Pegalan. Kondisi tempat kejadian perkara dan pekerjaan Nyai sebagai tukang pijat bayi, berhasil memperkuat dugaan itu. Hingga akhirnya tidak seorang pun yang mau mengantarkan jenazah Ki Naridin." Imam mengakhiri ceritanya.

"Guendeng!" Teriak Bahrudin. Ia bahkan berdiri sambil menghujamkan sekopnya ke tanah, tepat di depan Imam. Sontak semuanya terkejut.

"Mengurus jenazah adalah tanggung jawab keluarga. Jika tidak ada, maka tanggung jawab tetangga. Jika satu Kampung tidak ada yang mau, maka satu Kampung isinya monyet semua." Bahrudin marah. Ia sudah menunjukkan sisi berbahayanya pada Imam dan kawan-kawan.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang