Bagian Satu

152K 6.8K 67
                                    

BAGIAN SATU, SANG LEGENDA PERANG YANG GAHAR DAN KARISMATIK

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

"Lala."

Di atas kursi goyang yang menghadap halaman desa, seorang wanita bersurai kecoklatan menyebut nama putri kecilnya dengan lembut.

Labelina, balita tiga tahun di pangkuannya itu mengenyot empeng selagi menengadah.

"Lihat, Sayang. Ini adalah orang-orang yang Ibu sayangi seperti Lala."

Labelina menoleh ke potongan surat kabar yang disematkan pada pigura. Dalam potret tersebut, terdapat gambar dua pria berarmor besi mengangkat senjata mereka di atas kuda dengan gagah berani.

"Ayah ..., Kakak ...," desis Hara, mengusap potret hitam putih itu sementara bulir kristal luruh dari mata birunya. Lagi-lagi perasaan rindu yang amat menyesakkan dada menyerang tanpa diundang.

Jangan remehkan ikatan batin antara ibu dan anak. Meski baru belajar merangkai kata, Labelina mengerti bahwa ibunya sedang bersedih.

Gadis kecil itu pun melepas empengnya demi memeluk Hara. "Bubu."

Seketika kesedihan Hara berkurang mengetahui Labelina sudah bisa menghibur orang lain. Balita berpipi montok itu bahkan sampai melepeh si empeng kesayangan.

"Maafkan Ibu, Nak. Sebab keegoisan Ibu, Lala jadi kesepian," gumam Hara, mengelus rambut brunette Labelina yang digemasi para tetangga.

Warna itu lebih gelap dari coklat, namun lebih terang dari arang. Ia kerap disebut jamur berjalan gara-gara pipi putihnya yang tembam terbingkai rambut ikal bergelombang.

Hara tersenyum, balas memeluk si kecil selagi sebelah tengannya menggenggam kalung berliontin biru, satu-satunya benda mahal yang dia miliki di rumah kayu itu. 

"Ibu harap Lala akan selalu bahagia," doanya tulus.

Barangkali, bila ia berdoa setiap hari, maka itu akan terkabul suatu saat nanti.

*****

Satu tahun kemudian ...

Delzaka Theorka.

Lelaki penuh karisma meski raganya sudah tak lagi muda. Dia kini tengah dalam perjalanan kembali menuju kastil bersama segelintir bawahan yang ia percaya.

Hanya orang bodoh yang tak mengenalnya. Margrave yang disegani sejagad negeri Baltenas, sekaligus petarung garda depan yang membawa kemenangan saat perang satu dekade silam.

Dengan armor besi serta rambut kelabu, kala itu Delzaka bagaikan dewa petir yang mengibarkan bendera Baltenas di bawah pusaran mega. Begitulah yang terpatri di ingatan orang-orang tentangnya.

"Hyat!" pacu Delzaka, menghentakkan tali kendali kuda. Hampir keluar dari kawasan hutan, netra elang Sang Margrave menyipit.

Buntalan apa itu?

Dari jauh, tampak bulatan kecil menyerupai batu menggelinding di tengah jalur kuda. Matanya terlalu tua untuk melihat jarak pandang sejauh itu.

"Awas, Margrave! Ada anak kecil!" seru Vincent, salah satu bawahan Delzaka yang menyadari gumpalan itu adalah bocah yang tiba-tiba berguling ke jalan.

"Apa?!"

Delzaka di posisi terdepan, tentu segera menekan pijakan kaki sekuat tenaga. Begitu pula para pengikutnya. Kuda-kuda yang ditumpangi mereka pun meringkik panik seraya mengangkat kaki depan tak tenang.

Beruntung kuda Delzaka dapat dihentikan tepat satu langkah sebelum menginjak si bocah. "Hei, Bocah! Kau gila?!" bentak Delzaka geram begitu masing-masing kuda berhasil ditenangkan.

Tersangka kecil yang menyulut pitam sang Margrave masih menungging. Di punggung mungilnya terdapat tas ransel usang berbentuk kepala teddy. Sementara tangan montok itu membentuk mangkuk demi melindungi sesuatu di tanah.

"Apa yang kau lakukan di situ? Cepat minggir!"

Alih-alih menyingkir, dia malah membuka tangan mangkuknya. Lantas, seekor kumbang pun terbang dari sana. 

"Hole!" soraknya kegirangan karena berhasil menyelamatkan nyawa kumbang.

Rela melompat ke marabahaya demi serangga? Rasa jengkel Delzaka kian menjadi-jadi.

Vincent beserta prajurit lain berusaha menahan tawa sampai badan mereka gemetar.

"Margrave, mohon bersabarlah. Dia hanya anak-anak," peringat Joviette, si paling lemah dengan sesuatu yang lucu.

Benar, jangan terbawa emosi hanya karena bayi, demikianlah cara Delzaka menenangkan diri. Ia memutuskan turun dari kuda, mengangkat si anak dengan menjapit ranselnya hingga tatapan mereka sejajar.

"Apa yang kau lakukan di hutan ini sendirian? Mana orang tu-,"

Delzaka terkesiap sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya. Bocah itu mungkin tertutup debu dan lumpur, namun manik birunya yang lebih indah dari safir tak luput dari ingatannya.

Hara?

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang