Bagian Sembilan (4)

32.2K 3.1K 91
                                    

"Sebenarnya, Tenz memberitahuku sesuatu sebelum aku datang kemari," ujarnya.

"D-duke, ini bukan saatnya berbincang! S-saya-,"

"Dia bilang hasil uji ramuanmu positif mengandung abokran."

Pupil Miguelis bergetar. "Ti-tidak! Saya bersumpah ramuan versat sangat aman, Duke! Saya sudah buktikan!"

"Tapi bukan itu masalah terbesarnya. Kau tahu berapa banyak anak yang mati setelah minum obatmu?" Dengan santai Duke menduduki pagar pembatas. Sambil menyaksikan matahari terbenam, ia menyalakan rokok penuh kedamaian.

"To-tolong, Duke! Jangan seka-,"

Gestan langsung menyumpal mulut Miguelis dengan potongan roti. "Nikmatilah. Mungkin itu akan jadi makanan terakhirmu."

Seperti yang Duke bilang. Masalahnya bukan pada ramuan versat yang mengandung abokran. Tetapi karena Miguelis diam-diam tetap mengedarkan ramuan itu ke Lembah Sabana biarpun sudah dilarang.

"Thidak! Tholong, Dhuk! Swaya akhan jwatuh!"

"Miguelis," tekan Duke, puas menonton pengkhianatnya kalang kabut, "hanya aku satu-satunya yang bisa menolongmu sekarang. Benar?"

Miguelis buru-buru mengangguk.

"Tapi, apa menurutmu aku akan ikut jatuh ketika aku tidak meraih tanganmu?"

Seketika, Miguelis membeku begitu dia mengerti maksud sindiran tersebut.

Secara tersirat itu menggambarkan posisi mereka saat ini. Bukan Duke yang membutuhkan Viscount, melainkan sebaliknya.

Andai Miguelis berhenti, yang rugi justru dia sendiri. Sementara Duke masih bisa menemukan penerjemah lain bahkan jika ia harus mencari ke ujung bumi.

Sungguh tolol sekali si Tai Sapi ini.

Seringaian Gestan adalah hal terakhir yang Miguelis lihat sebelum iblis berkedok wajah rupawan itu berlalu meninggalkannya.

*****

Tadinya Duke akan mendorong Miguelis, tapi ternyata pria itu sudah jatuh sendiri.

"Apa Anda benar-benar membiarkan Viscount jatuh, Duke?" tanya Dores khawatir.

Jangan salah paham. Bukan Miguelis yang Dores khawatirkan, melainkan Hutan Peri. Jika bukan Viscount yang memiliki kemampuan membaca aksara, lalu siapa lagi?

"Tidak," singkat Gestan.

Astaga, memangnya ada manusia yang berhasil selamat setelah jatuh dari ketinggian seratus kaki? batin Dores tak habis pikir.

"Anda ingin saya mengecek kondisi Viscount?"

Sudah sepuluh menit berlalu sejak Duke kembali ke ruang kerja. Menurut perhitungan Dores, seharusnya Miguelis sudah jatuh sekarang.

"Hm, lakukanlah. Apapun kondisinya yang penting tidak mati."

Sedari awal, Duke memang berencana menjatuhkan Miguelis demi memberinya siksaan. Tapi ia tidak mau manusia congkak itu langsung mati. Makanya, Duke menempatkan beberapa ksatria untuk berjaga di bawah.

"Baik, Tuan."

Begitu Dores melenggang keluar, Gestan mengambil gulungan kecil yang waktu lalu masih terikat di kaki Lucress.

Burung pemangsa yang hinggap di tempat bertenggernya itu tiba-tiba beralih ke jendela. "Kwak kwak! Kwak kwak!"

"Ada apa? Kau bukan bebek, bersikaplah seperti elang."

Mengabaikan omongan majikannya, Lucress mematuk-matukkan paruh meminta pria itu membuka akses. 

"Kau mau pergi?"

Satu ketukan paruh berarti, ya.

"Tapi aku belum menulis balasan."

Dua ketukan artinya, tidak bisa diganggu gugat. Ini darurat!

Benar, burung tak tahu diri ini Lucress namanya. Ia adalah bagian dari Aslett sejak menetas. Meskipun patuh, Lucress hobi mempermainkan orang. Status? Bujangan tua.

Kembali ke situasi sekarang. Daripada Lucress mogok kerja, Duke melakukan apa yang burung licik itu minta.

Jendela pun ia buka lebar.

Tak pernah Duke sangka Lucress akan terbang menghampiri Lala yang tengah bermain di taman depan.

"Hei, Luke! Kenapa kau malah-,"

Lucress berguling pura-pura mati di samping Lala. Tampaknya ia menikmati kebingungan bocah itu sampai-sampai tak berniat menghentikan sandiwara konyolnya. 

Dia tidak takut?

Ketimbang menjerit atau menangis, Lala justru menusuk-nusuk Lucress dengan telunjuk karena penasaran.

Bocah aneh.

Gestan tambah heran ketika Lala kemudian balas dendam dengan cara yang sama. Dia pura-pura ambruk dan giliran elang absurd itu yang kebingungan.

Melihat betapa akrabnya mereka, Gestan sedikit curiga.

Lucress memang sudah dijinakkan sebagaimana ia dilatih menjadi burung pembawa pesan. Namun, bukan berarti ia biasa bersikap ramah pada setiap orang. Apalagi terhadap orang asing.

Jangan-jangan, tanpa sepengetahuannya mereka pernah bertemu satu sama lain?

Tidak, apa yang ku pikirkan?

Lagipula bocah nakal itu memang suka bermain dengan hewan-hewan kecil. Menjadi magnet adalah bakat alaminya.

Mengalihkan pikiran tentang Lala, Duke lanjut membaca pesan yang sempat ia tunda. Sang Informan kepercayaan menuliskan sebuah paragraf di sana,

'Kalung thalasa terjual pada orang yang tidak diketahui identitasnya dari tempat pelelangan bangsawan lima hari lalu.'

Biarpun hanya sebuah kalung sederhana berliontin biru, thalasa merupakan artefak bersejarah milik keluarga Theorka. Kalung tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada anak sulung atau orang yang kelak akan meneruskan gelar kepala keluarga.

Namun, bukannya memberikannya kepada Diana Delta yang jelas-jelas memiliki keturunan, entah mengapa Delzaka malah membiarkan Hara membawa artefak berharga tersebut saat ia diusir dari kastil. 

Lantas, informasi mengejutkan apa ini?

Harazelle menjualnya?

To be continue...

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

Yang penasaran banget bisa baca lebih cepat di Karyakarsa. Part 10 dan 11 sudah up di sana. Tengkyu😘

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang