Bagian Sepuluh (2)

28.6K 2.9K 29
                                    

"AWAS!"

Joviette hampir berhasil maju, tapi jubahnya tersangkut kayu. Alhasil, nafas orang-orang pun tertahan. Lala pasti akan jat-,

Grep.

"Lehermu bisa patah jika caramu turun begitu," ujar Duke, berhasil menjapit tas ransel Lala tepat sebelum bocah super innocent itu menyentuh tanah.

Labelina diberdirikan kembali. Mata belonya berkedip tanpa rasa bersalah. "Kenapa?" Itu, 'kan, menyenangkan. Apa salahnya?

Duke tidak menyahut dan kembali masuk ke dalam kereta. "Ajari dia cara hidup yang benar," titahnya pada Jovitte yang lemas ditempat.

"Ba-baik, Tuan Duke."

Danzel menyusul turun sebelum memberi salam pada Gestan. Hal itu diikuti oleh sejumlah bawahan yang diutus Duke untuk mengawal Danzel dan Lala hari ini.

"Aku akan menjemput kalian saat matahari terbenam," tukas Duke.

Kereta mewah bernuansa hitam-emas itu pun kembali menyisir jalanan dan menjadi pusat perhatian.

*****

"Laik kali berpikirlah sebelum bertindak. Melompat dari kereta kuda itu berbahaya," tegur Danzel ketika mereka berjalan menyusuri keramaian St.West.

"Kenapa? Lala, 'kan, cuma melayang."

Alis Danzel terangkat sebelah. Melayang? Yang benar saja! Yang ada malah melayang ke alam baka.

"Dengar, ya." Danzel memberi peringatan sekali lagi. Kali ini dengan memegangi erat bahu Lala agar fokus menyimaknya. "Jangan kau ulangi lagi melompat dari tempat tinggi. Kalau jatuh akan sakit sampai mengeluarkan darah. Mengerti?"

Labelina berkedip dua kali. "Ung. Kecatila janan khawatil, Lala tak kan ulang lagi."

"Khawatir? Pftt, mana mungkin aku khawatir padamu? Aku bilang ini supaya kau tidak membuatku repot."

Benar, 'kan? Ini bukan soal dia mengkhawatirkan Lala. Tapi, jika bocah itu jatuh dan kemudian mengalami cedera parah disaat sedang bersamanya, bukankah dia yang harus bertanggung jawab?

Di belakang mereka, Sona, Natelia dan Joviette berusaha keras untuk tak ikut campur. Bukan hak mereka mengomentari perasaan Tuan Muda.

"Kau paham, 'kan? Jangan buat aku repot."

Lala mengangguk patuh.

"Bagus." Ekspresi puas Danzel berubah menjadi seringaian jahat. "Sekarang, mari kita buat Duke gulung tikar."

Aslett dibagi menjadi empat daerah yang mengelilingi kastil. Diantaranya daerah pegunungan tambang, St.South. Wilayah perairan, St.North. Area terluas yang menjaga Hutan Peri, St.East. Dan kota paling padat penduduk dimana industri berpusat, St.West. 

Turis dan orang-orang elit biasanya memilih tinggal di St.West karena selain hotel-hotel ternama berdiri di kawasan tersebut, akses untuk mendapatkan apapun mudah.

Makanya, St.West hampir tidak pernah sepi pengunjung. Bahkan saat tengah malam pun para turis berdansa di pusat kota dengan iring-iringan musik klasik dan gemerlap lantera.

Sesampai mereka tiba di toko pengrajin terbaik wilayah Aslett, mata Lala menyala tak sabar. Jiwa perhitungannya terhadap uang bergejolak begitu kotak harta karun untuknya diserahkan.

"Kau sesuka itu?" heran Danzel, duduk santai di ruang pelanggan VIP.

Lala terlalu senang sampai tak menghiraukan pertanyaan Danzel.

Awalnya, dia bingung ketika diperlihatkan harta karunnya pertama kali. Kotak emas itu sangat kecil dan ringan, hanya seukuran tempat perhiasan yang bahkan masih muat jika dimasukkan ke dalam tas teddy.

Saat Lala buka, isinya berupa miniatur beruang balet yang berputar diiringi lagu pengantar tidur.

"Ini butan halta kalun."

"Coba Anda katakan 'buka' dulu, Tuan Kecil," pinta si pramuniaga meringis gemas.

"Halta kalun, ayo buka."

Orang mungkin akan mengira itu cuma kotak musik biasa. Rupanya, ada sekat di bawah miniatur yang hanya bisa merespon suara Lala. Tumpukan berlian pun tampak di dalam sana.

"Hebat, 'kan? Kotak ini sengaja dirancang untuk mengelabui penjahat supaya mereka berpikir ini sekedar mainan. Lalu Duke meminta kotaknya dilapisi sihir kunci agar hanya bisa dibuka oleh pemiliknya saja," jelas sang pramuniaga.

Bukan hanya Sona, Natelia, Joviette, bahkan Danzelion pun terkejut. Padahal sejumlah berliannya saja cukup untuk membeli rumah besar di Ibukota Baltenas, tetapi masih dilapisi sihir juga?

Benda berteknologi sihir sangat langka di dunia ini. Harganya bisa melebihi tambang berlian tergantung tingkat kerumitannya.

Yah, wajar saja. Dia menyelamatkan dua wilayah besar dari abokran. Jasanya pantas dibayar mahal, batin Danzel mulai bosan.

Sementara itu, Labelina hanyut oleh ketamakan ala balita. Isi pikirannya penuh dengan angka. 1, 2, 4, 3, 6, 7, 9...

Ini, kalau ditukar dengan uang, akan dapat koin berapa, ya? Sebanyak satu tas teddy? Dua teddy? Atau tiga? Membayangkannya saja membuat air liurnya menetes bahagia.

"Baiklah, karena urusan di sini sudah selesai, ayo kita pergi," ujar Danzel, beranjak dari sofa dan meregangkan tangan. "Sir Jov, berikan cek kosongnya. Kita beli toko ini atas nama Duke beserta seluruh isinya."

Haha, mampus kau Duke.

Alih-alih bergegas menuruti tamu VIP mereka, para pramuniaga justru saling bersitatap bimbang.

"Kenapa? Kalian bisa minta harga sepuluh kali lipat."

"Maaf, Tuan Muda. Bukan itu masalahnya. Tapi, toko ini sejak awal memang milik Tuan Duke."

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang