Bagian Sebelas (4)

32.6K 3.4K 146
                                    

"Ini sudah larut malam. Kenapa Lala masih jalan-jalan diluar?"

Kamar tamu yang digunakan Lala sekarang masih satu lantai dengan kamar Duke. Mungkin itu sebabnya dia bisa berjalan sampai tempat ini.

"Lala mimpi buluk."

Ah, begitu. Biasanya anak kecil akan mencari induknya ketika bermimpi buruk. "Lala mau pergi ke tempat Pengasuh Nana?"

"Ung."

Joviette tersenyum kecil. "Baiklah, ayo Paman antarkan ke san-, astaga!" seru Jov kala tangannya menyentuh puncak kepala Lala.

"Ada apa?" tanya Gestan, bersandar di ambang pintu.

"Tu-tuan Duke, anak ini mengalami demam."

Bayi yang masih memiliki stamina untuk mondar mandir di depan kamarnya ini sakit? Sungguh?

"Pergilah panggil dokter. Biar aku yang menjaganya."

Tak berpikir lama, Joviette langsung mengangguk. "B-Baik, Tuan."

Sepeninggalan Jov dari tempat itu, Lala dan Gestan saling bertatapan lama.

Barangkali, orang yang belum menyentuh kulitnya pasti tidak akan menyadari bila bocah lincah ini sedang mengalami demam.

"Dyuk." Lala-lah yang lebih dulu membuka suara.

"Hm."

"Ini cudah malam, loh. Kalau tak bobok tak bica tumbuh tingi," celutuknya, mengulang apa yang dia katakan pada Joviette karena tak memiliki bahan obrolan.

"Sudah tahu. Sekarang berbaringlah di kasurku."

"Baikah." Dia tanpa malu-malu mendahului sang pemilik kamar naik ke kasur.

Karena terlalu tinggi, Lala menaruh boneka di dekat ranjang dan memanjatinya sampai ke atas.

Jangan bilang dia membawa boneka itu hanya untuk pijakan kaki?

Dugaan Duke benar. Labelina langsung berbaring dan menarik selimut sendiri tanpa mengambil bonekanya seolah ia tidak membutuhkan hadiah pemberian tersebut.

Bayi sialan. Saat besar nanti dia pasti pandai menjatuhkan harga diri orang ke dasar.

Lala kemudian menepuk ruang kosong di sisinya. "Dyuk juga halus bobok. Ini cudah malam, loh. Kalau tak bobok tak bica-,"

"Sudah tahu," sela Duke menutup muka Lala dengan telapak tangannya.

Benar kata Jov, bocah pembuat onar ini memang demam tinggi. Pantas saja sampai mimpi buruk.

Setelah diperhatikan, rambut Lala telah tumbuh lebih panjang dari pertama kali mereka bertemu. Pipinya pun tampak segar dan berisi meskipun sedikit pucat.

Padahal anak kecil biasanya susah makan ketika beradaptasi di tempat asing. Apalagi tanpa wali yang mereka kenali.

"Kau tidak merindukan ayah ibumu?"

Lihat, bahkan Duke pun membahas tentang ayah. Kenapa banyak sekali orang menyebut ayah? Yeti pernah bilang ayah adalah orang yang merawatnya seperti Bubu.

Tapi, Lala masih belum dapat memahami itu. Seingat dia, yang pernah merawatnya hanya Bubu saja. Tidak ada ayah.

Jika Lala bertanya lagi, akankah jawaban Duke bisa lebih mudah dimengerti daripada jawaban Yeti?

"Dyuk, yayah itu apa?"

Mendadak rasa panas menjalar dari dada Gestan secara tak terkendali. Dari pertanyaannya saja langsung dapat disimpulkan bahwa Lala tumbuh tanpa seorang ayah.

Melihat mata biru itu menatapnya tiada beban seakan mengatakan 'tidak apa-apa, Lala sudah mandiri'. Sedikit memilukan membayangkan ibunya membesarkan dia seorang diri.

Kemana ayahnya pergi? Apa dia mati? Atau sekedar meninggalkan tanggung jawab demi kesenangannya sendiri?

Andai hal yang sama terjadi pada Harazelle ...,

Tanpa sadar Duke mengeraskan rahang.

"Aku tidak tahu," singkatnya. Dia memiliki kenangan buruk soal ayah.

Bagi Duke, bajingan dengan panggilan ayah itu hanya binatang tidak tahu malu yang membuat hidup ibunya menderita.

Bahkan ketika mendengar sang ayah tiada, Gestan justru merasa tidak adil karena pria itu terlalu cepat mati. Seharusnya dia sengsara dulu sebelum kehilangan nyawa.

"Kenapa Dyuk malah?" Lala yang sedari tadi mengamati, menyadari perubahan raut wajah Duke.

"...," Tidak ada tanggapan.

"Tak apa-apa. Janan malah kalna tak tau Yayah," hibur Lala menepuk-nepuk punggung tangan Duke. "Yeti bilang, Yayah itu olang yang melawat kita cepelti Bubu."

Lihat cara Lala melontarkan kalimat-kalimat hiburan yang tidak menghibur itu. Dia pandai menjatuhkan martabat lawan tapi payah menenangkan orang.

Dan lebih aneh lagi adalah dirinya yang tidak merasa marah lagi setelah mendengar Lala mengoceh demikian.

"Kau berteman dengan monster?"

"Yeti butan mostel! Dia anak baik, kok. Tapi becal dan belbulu."

Baik, besar dan berbulu? Entah mengapa itu mengingatkan Duke pada Margrave.

Beberapa saat kemudian, Joviette datang bersama Marshall, sang dokter. Tanpa diminta, Duke segera mundur, memberi ruang bagi dokter tersebut untuk memeriksa Lala.

"Apa diagnosisnya?" tagih Duke begitu Marshall selesai mencatat di pendokumentasian terakhir.

Ekspresi Marshall tampak berat saat hendak menjelaskan. Seperti ada sesuatu yang mengejutkan dan membingungkan di saat bersamaan.

"Itu, ijinkan saya bertanya lebih dulu, Tuan Duke. Apa pendestribusian ramuan versat benar-benar telah berhasil dihentikan?"

"Ya. Sudah ku pastikan tidak ada satu botol pun yang bisa keluar dari pabrik." Versat belum menyebar luas sehingga pemberantasannya masih cukup mudah.

"A-apa sakit Lala berhubungan dengan ramuan versat, Dokter?" timpal Joviette, mulai merasakan firasat buruk.

"Sebenarnya, ini masih belum pasti. Tapi berdasarkan pemeriksaan saya, sejauh ini Lala menunjukkan gejala yang sama dengan anak-anak korban percobaan ramuan versat di Lembah Sabana."

To be continue...

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

Mampir, kuy di KK sudah ada part 12&13

Terima kasih bagi yang sudah vote dan berkomentar banyak, apalagi yang menebak-nebak alur atau tokoh-tokohnya. Kalian moodbooster bgt♥️♥️

Yang penasaran sama Hara, sabar ya. Sedikit-sedikit bakal dibahas, kok.

See you😉

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang