Bagian Delapan (4)

32K 3.4K 193
                                    

Satu jam, dua jam, tiga jam ...,

Hingga matahari tenggelam dan langit berganti malam, tidak ada tanda-tanda Lala akan datang. Padahal meja kantor sudah dipenuhi berbagai jenis makanan bayi.

"Duke, kita tidak bisa menundanya lagi. Ramuan versat harus segera dikirim ke Lembah Saba-,"

"Dores."

"Ya, Tuan Duke."

"Diam atau ku robek mulutmu."

"Maafkan saya." Dores terbungkam seketika.

Tidak semudah itu Gestan dapat memutuskan. Ini menyangkut banyak nyawa dan hubungan diplomatik mereka. Gawat bila ia sampai salah langkah.

Lala mungkin hanya anak yang gemar mengoceh, namun faktanya omongan bocah itu seringkali mengandung arti.

Contohnya, saat hari pertama mereka bertemu. Lala dalam keadaan setengah sadar memanggilnya 'Etan', yang mana itu adalah nama kecilnya. Dari mana dia tahu ketika orang yang memanggilnya demikian hanya Duchess ketujuh?

Lalu, soal Miguelis. Sungguh suatu kebenaran bila nama asli Viscount berarti 'kotoran sapi', Cowdung Miguelis. Tapi, hanya segelintir orang yang tahu tentang itu, termasuk Gestan dan Dewan Negen. Miguelis sengaja menutupinya karena dia malu. 

Bagaimana bisa ocehan Lala seringkali tepat sasaran? Rasanya tidak mungkin jika itu hanya kebetulan.

Makanya, Duke memikirkan banyak keraguan setelah mendengar perkataan Lala waktu itu. Dia ingin menggali lebih dalam sebelum ramuan versat dibagikan.

Satu-satunya jalan ialah merayu Lala sampai anak kecil itu mau memaafkannya. 

*****

Hari berganti dengan cepat. Sudah tiga hari Duke mencoba segala cara untuk mendekati Lala. Semua itu gagal bahkan setelah diulang sekian kali.

Dores tidak berani lagi menyinggung soal masalah di Lembah Sabana, tapi Dewan Negen-lah yang giliran unjuk bicara.

Seperti biasa, Duke mengabaikan protes mereka dan memilih sibuk membujuk Lala. Seperti saat ini, misalnya.

Ketika ada jeda waktu sebelum rapat kedua, Duke melewati gedung pelayan. Ia tidak terlalu berharap bertemu Lala, tetapi saat melintasi lorong, kebetulan anak itu sedang duduk di depan jendela.

Duke langsung mengisyaratkan bawahannya agar mereka pergi lebih dulu. Selagi ada kesempatan, mengapa tidak?

Pria itu menyandarkan badan di ambang jendela, menyaksikan dari belakang Lala sedang fokus mencoret-coret tanah. Walaupun tidak jelas, bukankah itu tulisan?

Bayi empat tahun sudah bisa menulis?

Padahal anak bangsawan saja biasanya baru mengenyam pendidikan diusia 7 tahun. Itu pun dimulai dari hal-hal mudah seperti etiket dasar dan sejarah keluarga.

Lantas, siapakah Lala sebenarnya? Si kecil itu sungguh menjadi misteri bagi Gestan.

Duke menunjukkan kedatangannya dengan berdeham pelan.

Labelina refleks menengok. Begitu menyadari orang itu adalah Duke, dia buang muka. "Hmph!"

Masih marah, rupanya.

Omong-omong, sudah lama Duke tidak mendengar suara cadel Lala. Apa kabar pelafalannya sekarang? Apa sudah ada peningkatan?

"Kapan kau akan berhenti marah?" tanya Duke, tak dihiraukan Lala.

"Kalau kau mengatakan apa maumu, aku janji akan mengabulkannya."

Baru saat Duke bilang begitu, Lala akhirnya menunjukkan minat. "Cungguh?"

"Sungguh."

"Janji?" Lala bangkit menyodorkan kelingking.

Demi menggali informasi yang Lala ketahui terkait ramuan versat, Gestan terpaksa mengesampingkan harga dirinya. Ia membalas janji kelingking Lala. "Janji. Sekarang katakan apa maumu."

"Kembalikan Paman dan Nana-nya Lala."

"Aku tidak mengambil mereka."

"Butan ambil, Dyuk mamacatnya."

"Mamacat?"

"Ung."

"Mereka berbuat salah, jadi pantas ku pecat."

"Kalau meleka nakal, Dyuk bica cubit pipinya caja!"

"Kau ingin aku cubit pipi mereka?"

"Eung."

"Itu saja?"

"Hmm," Labelina meletakkan telunjuknya di bibir, berpikir keras, "Lala mau halta kalun."

"Mainan atau asli?"

"Kalau bica dua kenapa halus catu?"

Pintar juga cara anak ini memalak. Pasti jiwa perhitungannya sudah melekat sejak lahir. Tapi, tak masalah. Aslett adalah simbol kekayaan duniawi.

"Lala juga mau Kecatila dibolehkan main."

Kecatila? Julukan apa lagi itu? "Maksudmu Danzel?"

"Iya. Kecatila, 'kan, macih kecil, jadi halus banyak belmain. Begitu caja Dyuk tak tau! Becok lagi belajal yang lajin, ya?"

Siapa yang menggurui siapa? Bocah tengik ini, untung saja berguna. "Karena kau sudah tidak marah, sekarang beritahu aku apa saja yang kau tahu tentang Paman Kotoran Sapi."

"Tapi ini lahacia."

"Katakan saja."

Lala sempat menoleh kanan-kiri sebelum merentangkan tangan. "Endong."

Gestan terkesiap.

"Tinga Dyuk tinggi cekali. Lala tak campai." Alangkah lucunya Lala saat ia meloncat-loncat ingin menggapai telinga Gestan.

"Dasar cebol," gumam Duke, melengos sesaat sebelum mengangkat Lala.

Seumur hidup, baru kali ini dia menggendong balita. Rupanya, tubuh anak-anak sangat ringan biarpun mereka gemuk.

Pantas saja, waktu itu dia jatuh saat tersenggol sedikit. "Apa sakit?"

"Ung?" Labelina mengerjap bingung.

Sial, apa yang ku pikirkan, batin Gestan mengusir pikiran aneh tersebut. "Sekarang katakan apa yang kau tahu."

Lala mengangguk sebelum membisikkan sesuatu di telinga pria berhati dingin itu. Netra kelabu sang Duke melebar beberapa saat kemudian.

Tidak mungkin.

To be continue

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

Waduh, si bocil bilang apa ya kok Duke sampai kaget begitu?🤔

Sorry Bher update nggak menentu banget. Soalnya mau ngejar up di KK dulu hehe.

Kalian yang penasaran bisa baca part 9 dan 10 di sana. Otw 11😋

Btw, Bher mau cerita bentar. Jadi beberapa hari ini ada beberapa yang dm tanya buku BMD gaes. Itu loh bukunya Kajol somplak dan anak-anak absurdnya.

Pengen sih cetak lagi dengan sampul baru. Tapi Bher pikir percuma kalau yang mau cuma sedikit.

Jadi, Bher mau tanya di sini, nih. Wahai para pembaca BMF yang pernah mampir di judul sebelah tapi ketinggalan PO, adakah diantara kalian yang masih berminat koleksi BMD dalam bentuk buku?

Dah gitu aja gess, tengkyu. Met ketemu part selanjutnya. I lop yu pulll.

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang