Bagian Sembilan (3)

28.7K 2.8K 8
                                    

"Pabrikku maksudmu?"

"Oh, tentu saja secara entitas memang itu milik Anda. Tapi secara legalitas, saya juga ikut andil dalam mengelolanya."

Ucapan Miguelis tidak sepenuhnya salah. Sejak diakui sebagai pengelola Hutan Peri, Duke menyediakan segala fasilitas agar Viscount dapat menyalurkan hasil sumber daya hutannya lewat pabrik produksi.

"Roda-roda yang saya jalankan selama lima tahun hampir mencapai puncak kejayaan, Duke. Lima tahun waktu yang cukup lama bagi kehidupan manusia, tapi dalam dunia bisnis, itu waktu yang sangat singkat! Lima tahun, Duke! Lima tahun! Bayangkan hanya dalam lima tahun obat-obat produksi saya akan menguasai pasar dunia! Apa Anda akan menghentikannya begitu saja?!"

Duke menyesap kopinya dengan tenang. "Ternyata sudah selama itu aku bertahan dari kebebalanmu."

"Maaf?"

"Hm? Apa?"

"Ahaha, tidak, Duke. Sepertinya saya hanya salah dengar."

Miguelis adalah orang bebal. Dia tidak akan mengaku salah meskipun memang berbuat salah. Lebih sulit mengatasi orang sepertinya ketimbang anak kecil yang belum tahu apa-apa.

Bahkan saat Lala merusak arsip kuno pun rasanya tidak semenjengkelkan ini. Ah, sial. Lagi-lagi teringat dia.

"Tuan Duke, tolong pikiran baik-baik. Saya bukan bermaksud lancang, tapi ini demi kebaikan kita bersama. Anda tahu sendiri sayalah satu-satunya orang yang bisa membaca aksara peri, bukan? Meskipun hutan itu milik Anda, akan sia-sia kalau tidak ada saya. Jadi tolong, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Anda, batalkan penutupan pabrik produksi atau saya akan hengkang dari pekerjaan saya!"

Singkat kata, Miguelis menganggap Duke bukan apa-apa tanpa dirinya.

Benar, 'kan? Miguelis sangat tolol. Dia adalah pria menyedihkan yang tidak sadar dimana dia harus memposisikan diri. Suka mengaku-ngaku obat yang berasal dari hutan peri sebagai hasil pemikirannya sendiri pula.

"Bagaimana, Duke?"

"Hanya itu yang mau kau bahas?"

"Ya. Jika Anda bersedia mengabulkan permintaan kecil saya ini, maka masalah diantara kita selesai."

Duke mengiris daging mentahnya dalam diam. Bau amis menyeruak ketika cairan merah merembas keluar.

Miguelis sampai merasa ingin muntah. Dasar monster. Sampai kapan dia akan diam saja?

"Ah, tentu saja Duke pasti butuh waktu untuk memutuskannya, 'kan? Jika itu soal abokran, jangan khawatir. Saya tidak pernah sekalipun melakukan transaksi yang berhubungan dengan obat terlarang. Dan saya sudah menyiapkan buktinya."

Selagi Miguelis bicara panjang lebar, Gestan mendentingkan ujung pisau ke permukaan piring tiga kali.

"Jika Anda tidak percaya, Anda bisa menggeledah mansion saya. Saya jamin ramuan versat am-,"

Cakar besar milik seekor predator bersayap hitam tiba-tiba mendarat tepat di atas meja.

"HUAAAAAAAA!"

Viscount refleks terperanjat jatuh ke belakang dimana dinding pembatas lantai tiga sangat rendah. Tanpa bisa ia cegah, tubuhnya oleng bersamaan dengan kursinya yang telah terjun bebas.

Ketika membuka mata, Miguelis beruntung masih menggelantung berkat bajunya yang tersangkut ornamen kastil sebelum nasibnya seremuk kursi di bawah sana.

"HUAHAHA, AKU HIDUP! AKU HIDUP!"

Krek!

Sayang sekali keberuntungan Miguelis hanya setengah-setengah. Tak lama, baju itu mulai koyak akibat tak tahan menahan beban tubuh pemakainya. 

"Eh, t-tidak! Jangan robek! Aku harus menggapai sesuatu dulu! Dimana aku bisa berpegangan? Dimana? Kenapa tidak ada yang bisa ku raih?!"

Barulah Miguelis teringat ada Duke bersamanya.

"Du-duke, Anda ma-masih di atas, bukan? T-tolong saya! Saya tahu Anda sedang panik, t-tapi untuk saat ini Anda harus tenang! Tolong u-ulurkan sesuatu yang bisa sa-saya raih!"

Jauh dari ekspektasi Miguelis, Duke masih bergeming di tempatnya duduk.

Pria itu sedang fokus memberikan irisan daging mentah pada si burung pembawa pesannya sebagai imbalan. "Kerja bagus, Luke."

Tak peduli di bawah sana ada yang sedang meregang nyawa.

"D-duke, kenapa Anda lama sekali?! Sebentar lagi saya benar-benar akan jatuh ke bawah!"

"Memangnya ada yang jatuh ke atas?"

Suara Duke membangkitkan harapan hidup Viscount. Dengan perasaan lega ia mendongak, bersiap menerima bantuan Duke.

"Ahaha, Anda masih bisa bercanda di saat-saat seperti ini. Tolong saya dulu-, Tu-tuan Duke?"

Alih-alih mengulurkan lengan, pria beraura kelam itu berdiri dengan tatapan dingin. Dia menjejalkan tangan ke saku celana, sama sekali tak berniat membantu.

"Sebenarnya, Tenz memberitahuku sesuatu sebelum aku datang kemari," ujarnya.

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang