Bagian Tiga Belas (4)

37.5K 3.5K 263
                                    

"Kau masih ingat aku, kan?" ketusnya.

Mereka sontak menoleh ke sumber suara. Danzelion yang berpenampilan lusuh seperti habis menyusuri semak belukar membawa seikat bunga karoten ukuran besar di tangannya.

"Anzel."

"Cih, ku kira sudah lupa."

Beberapa hari tak bertemu Lala, Danzel sempat penasaran dimana dia berada. Ingin bertanya pada Ratvin, tapi kedengarannya seperti dia merindukan Lala.

Jadi, remaja itu memilih jalan lain yang agak merepotkan, yakni berlagak bosan dan pura-pura mengatasi kejenuhannya dengan berkeliling kastil sendirian.

Bahkan ke tempat-tempat yang tidak pernah dia kunjungi seperti dapur, ruang pencucian serta gudang.

Para pelayan yang hendak bertanya selalu mengurungkan niat lantaran Danzel menebarkan aura negatif pada setiap orang yang berpapasan dengannya.

Senyum kelam itu jelas-jelas memberi peringatan, 'awas kalau berani tanya'.

Tidak heran Tuan Duke memilih Tuan Muda Danzel sebagai pewaris beliau. Biarpun bukan ayah dan anak kandung, perangai sadis mereka seperti pinang dibelah dua. Sama-sama menyeramkan.

Pada akhirnya, Danzel gagal menemukan Lala walau sudah memutari kastil tiga kali. Sia-sia dia berlatih supaya kelihatan natural andai mereka bertemu di jalan.

Dia pun kemudian menyerah, nyaris bertanya pada Joviette saat sesi latihan pedang seandainya dia tidak sengaja mendengar percakapan para ksatria tentang kondisi anak pembuat gaduh tersebut.

Lala sakit setelah terpapar zat terlarang, katanya.

Danzelion menegang seketika. Realita menamparnya hingga dia tidak lagi memikirkan rasa gengsi.

Laki-laki itu bergegas menghampiri kumpulan ksatria tersebut, mendesak mereka memberitahukan apa yang terjadi pada Lala.

Lantas, disinilah dia berada sekarang, mengusap tengkuk sambil berpaling ke arah lain saat menyerahkan buket bunga, "Para ksatria memintaku membawakan ini untukmu."

Manis sekali. Siapapun dapat menyadari dia pasti mencari bunga liar itu sendiri. Natelia berusaha keras untuk tak menertawakan kebohongan Danzel.

"Anzel cudah becal, ya?" celutuk Lala, lagi-lagi berlagak seperti orang tua.

"Apa, sih, yang kau bicarakan?" desis Danzel, memasang tampang masam. Padahal baru sakit, tapi tetap saja menyebalkan.

Melirik bubur di tangan Natelia yang belum berkurang sama sekali, Danzel langsung paham masalah apa yang mereka hadapi. Dia pun terpancing membujuk Lala dengan cara yang berbeda.

"Kau tahu tentang hantu yang menggigit saat malam hari, tidak?" tanyanya, mengawali aksi.

"Hantu ..., mendigit?"

"Ya. Katanya, dia melahap daging anak-anak yang tidak mau makan."

Lala mendelik.

"Aku bukannya bermaksud menakut-nakutimu, ya. Tapi kalau aku jadi kau, aku akan berusaha tetap makan. Kalau tidak pipimu bakal hilang separuh seperti yang terjadi pada temanku."

Teman khayalan, lebih tepatnya.

Lucunya, Lala mempercayai omong kosong itu. Dia lekas membuka mulut meminta Nana menyuapinya.

"Anak pintar," puji Natelia terkekeh gemas.

Labelina mengernyit beberapa kali usai terpaksa menelan makanan tersebut, tak sadar betapa imutnya dia saat bersikap patuh.

"Tapi becok Lala boyeh mam jelly, ya?"

"Baik. Saya akan meminta koki membuatkan jelly besok."

Sedangkan sang penipu ulung yang berhasil membujuk Lala dengan trik murahan itu diam-diam mengulum senyum.

"Dasar polos." Pantas saja dia mudah diculik orang.

Tanpa sepengetahuan orang-orang dalam kamar, Duke sebenarnya sudah berdiam diri di depan pintu sejak beberapa menit lalu.

Tanpa berniat membuka atau bergabung dengan mereka, pria itu justru bertanya, "Kau bilang Danzel bolos kelas?"

"Be-benar, Tuan Duke. Tuan Muda tiba-tiba berlari sebelum saya sempat bertanya," sahut Joviette di belakang.

Sekarang mereka tahu kenapa anak lelaki itu kabur tanpa harus bertanya.

"Haruskah saya meminta beliau kembali ke lapangan, Tuan?"

Mundur dari pintu kamar tamu, Duke lanjut berjalan menuju kantor. Sudah cukup mendengar cicitan kecil itu dari luar. Lagi pula dia bisa mendengar perkembangan Lala dari orang-orang yang merawatnya setiap hari.

"Tidak. Biarkan saja sampai anak itu sembuh nanti."

Firasatnya mengatakan, keberadaan Danzel mungkin dapat membantu mempercepat pemulihan Lala seperti sedia kala.

*****

Satu minggu kemudian, suasana kastil kembali hidup. Si kecil penuh energi itu sudah mampu berlarian ke sana kemari begitu dia sembuh.

Joviette, sudah waktunya putraku tiba di kastil. Kau bersiaplah sembunyikan anak itu darinya, atau titipkan pada Diana Delta. Aku ada urusan penting dan baru bisa pulang beberapa hari lagi.

-Delzaka

Joviette meringis kala melipat kembali memo singkat dari Margrave yang dikirimkan kepadanya beberapa hari silam. "Ahaha, Anda terlambat, Margrave," gumam Jov.

Akan sekaget apa beliau nanti ketika tahu Tuan Duke yang 'itu' sudah mengakui Lala sebagai 'tamu'?

Bagi orang normal, tamu mungkin terdengar biasa saja. Siapapun orang asing yang berkunjung ke rumah mereka lumrahnya disebut tamu.

Akan tetapi, Aslett adalah pengecualian!

Tuan Duke hanya menyebut tamu ketika orang itu spesial, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Selain orang-orang terpilih tersebut, beliau menganggapnya parasit atau penyusup.

Mau bagaimana lagi? Bukan Duke Gestan namanya kalau tidak kejam.

Joviette cepat-cepat memasukkan pesan Margrave ke kantong begitu tampak dari jauh, kereta milik Senorita Bliss memasuki gerbang.

Dibanding Sona atau Nana yang sempat meributkan konsep pakaian Lala, Jov-lah yang sebetulnya paling tidak sabar melihat Lala disihir menjadi seorang putri kecil.

Hari ini, ketidaksabarannya akan terbayarkan!

"Selamat datang, Senorita. Saya Joviette, pengawal Nona Lala yang akan memandu Anda ke ruang tamu."

Akhirnya, datang juga gaun-gaun yang dipesan untuk Lala!

To be continue...

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

Siapa yang gak sabar pengen tahu reaksi mereka pas tau Lala ciwi ciwi kyuti?

Haha tunggu mingdep ya, Say😈

Love you, muach😘

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang