Bagian Lima Belas (3)

21.8K 2.8K 14
                                    

Balik ke topik semula, Margrave menajamkan atensi lagi, memasang tampang menuntut pada Gestan. Mata membara itu, siapapun dapat menafsirkan ia tidak akan mentolerir satupun informasi.

"Kau yakin anak ini sudah sembuh total?"

Untuk sesaat, Duke terpaku akan perubahan sikap Margrave. Dari keras menjadi lunak saat menanggapi Lala. Lalu kembali ke mode garang lagi sesudahnya. Sungguh hal yang luar biasa.

Duke tutupi perasaan terkesan itu dengan mengambil cangkir kopi yang telah tersedia di meja pengganti. "Saya belum yakin. Tapi selama masa pengawasan ini, tidak ada efek samping," terangnya.

Masih terlalu dini merasa lega. Biarpun Marshall dan Ophelia telah mengkonfirmasi kepulihan Lala secara menyeluruh, Duke bersikukuh memerintahkan mereka untuk tetap memeriksa keadaannya setiap hari.

Margrave mengangguk paham. Masih banyak yang ingin Margrave tanyakan perihal hutan peri, namun persoalan Lala barusan cukup mengguncang batin sampai dia sendiri kehilangan kata-kata.

"Daripada itu, bukankah seharusnya Anda juga menjelaskan kepada saya tentang thalasa?" Giliran Duke yang menagih penjelasan.

Margrave tersentak. Wajah terkejutnya seolah mempertanyakan, dari mana Gestan tahu?

"Kau yakin tidak apa-apa membicarakan ini?"

Duke mengangguk tanpa keraguan. "Jika Anda tidak keberatan."

Mengambil napas dalam-dalam, Margrave mengungkap apa yang ia takutkan selama ini. "Justru kau yang ku pikir akan tersinggung."

Sudah enam tahun berlalu, Duke dan Margrave tidak pernah sekecap pun melafakan nama Hara dalam percakapan mereka.

Bukan demi diri sendiri, melainkan keduanya sama-sama mengira akan mengorek luka lawan bicara. Dan kesalahpahaman itu terus berlanjut hingga kini.

"Terus terang, aku merasa tak tenang sejak pertama kali melihat Buntal," aku Margrave. Sorot pedih berkeriput itu tertuju pada sosok mungil di sampingnya. "Langsung terlintas diotakku saat itu, semoga anak ini tidak ada hubungan apa-apa dengan Hara."

Gestan dapat memahami maksud Margrave berkata demikian. Secara tidak langsung, dia mengharapkan keadaan putrinya jauh dari derita. Menjalani kehidupan tenteram sebagai ibu dan istri dari sebuah keluarga bahagia.

Karena ..., jikalau terungkap Lala ternyata benar-benar putri kandung Hara, maka hanya ada satu kesimpulan yang kemungkinan besar dialami gadis tersebut.

Harazelle sedang tidak baik-baik saja.

Berpikir dalam diam sejenak, tatapan Margrave kemudian perpindah pada putranya. Begitu mantap dan teguh seolah ia tidak akan menyangkal hatinya lagi.

"Aku merasa sakit, marah dan khawatir disaat bersamaan. Bisakah kau mengartikan perasaanku ini, Gestan?"

Pembuluh di sepanjang lengan Duke melebar kala pria itu mengepalkan tangan. Sederhananya, Margrave telah memaafkan Harazelle.

"Jadi, dalam rangka itu Anda membawanya ke kastil?" Demi mengobati hatinya yang terkikis perlahan oleh rasa rindu.

"Hei, jangan melihatku seakan aku adalah pria bejat! Seperti pada kasusmu, aku pun membawanya kemari dan mencarikan walinya sebagai bentuk terima kasihku atas bantuannya menemukan markas perdagangan manusia."

Secara garis besar, Duke juga telah mendengarnya dari Joviette. Tidakkah Margrave menemukan sedikit petunjuk dari sana?

"Saya berspekulasi dia adalah korban penganiayaan," ujarnya.

"Benar. Melihat betapa bencinya dia saat hendak ku pulangkan ke sana, aku juga berpikir sama." Margrave sependapat.

Akan tetapi, mengasumsikan anak itu sebagai korban kekerasan juga sedikit sulit. Seluruh badan Lala tidak ditemukan memar atau luka.

Vincent di belakang Margrave tiba-tiba menyela, menyatakan pendapatnya dengan sopan. "Maaf, Tuan. Tidak menutup kemungkinan Lala dipukuli dengan cara tertentu sehingga tidak meninggalkan bekas."

Tidak salah Vincent beranggapan demikian. Rumah itu, 'kan, tempat dimana 'barang dagangan' tidak boleh cacat.

"Atau, bisa jadi dia dianiaya secara verbal?" desis Margrave, disambut tiga pasang mata dari pria di sekelilingnya.

Disakiti secara verbal? Maksudnya, Lala?

"Lala tak bohong! Emelly yang bohong. Emelly anak cetan!"

"Oh, Kotolan Capi! Dia, 'kan, olang jahat."

"Lala mau halta kalun. Kalau bica dua kenapa halus catu?"

Yang benar saja? Sebelum menyakiti Lala secara verbal, sepertinya justru mental si pelaku yang bakal menderita lebih dulu.

"Lupakan. Aku cuma mengada-ada." Margrave tarik kembali dugaannya yang malah menimbulkan kebingungan besar.

Sorot tajam Margrave kemudian berpaling ke tempat lain. Tepatnya, ke arah ksatria yang berdiri tegap di belakang Duke.

Merespon perintah tersebut, Joviette mengangguk dan berdeham sebelum berkata, "Tuan Duke, Margrave, Pak Vincent. Saya dan anak buah saya sudah menelusurinya cukup jauh. Namun dari hasil penyelidikan kami, Lala belum pernah menginjakkan kaki di tempat itu."

Nah, ini dia bagian misterinya. Mau dipikirkan dari mana saja, mereka selalu berakhir di jalan buntu.

Bukankah aneh bila Lala mengetahui kebusukan tempat itu sedangkan ia sendiri belum pernah ke sana?

Mereka pun tenggelam dalam pikiran masing-masing, mencoba menemukan titik terang tentang masalah ini.

"Margrave, Anda belum memberitahu saya kemana saja Anda pergi," tagih Duke, memecah keheningan.

"Aku pergi begitu mendengar akan ada pelelangan kalung thalasa," sahutnya tanpa basa-basi.

Margrave merogoh benda berkilau dari balik mantel dan meletakkannya di atas meja. Sebuah pusaka keluarga berwujud kalung yang diwariskan turun temurun.

"Setelah ku coba selidiki lebih dalam, kalung ini bukan dijual oleh Hara, melainkan orang lain."

"Siapa?"

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang