Bagian Empat (2)

43.1K 3.8K 32
                                    

"Apa yang kau mimpikan sampai membuat ekspresi seperti itu, Buntal?" tanya Delzaka, tergoda menekan pipi Lala dengan telunjuknya.

Rupanya sentuhan Delzaka terlalu keras hingga berhasil mengusik tidur Labelina. Kelereng biru milik anak itu pun terbuka dengan berat dan perlahan.

Sial, aku malah membangunkannya! Belum sempat menarik tangan kembali, telapak mungil Lala sudah lebih dulu menggenggam jari raksasa Delzaka.

"Yeti ...," igau Lala setengah sadar.

"A-apa? Aku hanya menyentuhmu sedikit! Bukan berarti kau terlihat lucu!" Delzaka berkilah cepat. Jangan sampai Buntalan berpikir bahwa dirinya gemas seperti yang lain.

Sia-sia Delzaka bertingkah panik. Rupanya Buntalan hanya mengigau sesaat sebelum terlelap kembali tanpa melepaskan genggamannya dari jari Delzaka.

"Yeti ..., janan ambil ..., empeng Lala."

Ha?

Di sela kebingungan itu, Delzaka terkekeh pelan. "Menakjubkan." Dari tidur pun mereka memiliki kebiasaan yang sama.

Baiklah, untuk sementara tidak masalah Lala tinggal di kastil. Biarpun kemiripan mereka membuat Delzaka terganggu, sisi kemanusiaannya masih cukup mampu mengesampingkan ketidaknyamanan itu.

Orang yang sebenarnya patut diwaspadai adalah lelaki yang menyandang gelar duke saat ini. Hara merupakan kenangan terpahit yang membekas kekal di hatinya.

Orang pendendam seperti Duke tidak akan memaafkan semudah itu. Kebengisan dalam dirinya sudah mendarah daging. Jika ia memutuskan bertindak, maka tidak ada yang mampu menghentikannya bahkan Delzaka sekalipun.

Masih ada waktu satu bulan sebelum dia kembali. Entah apa yang bakal ia lakukan bila melihat Hara versi kecil berkeliaran di kastil.

"Apa yang harus ku lakukan jika dia melihatmu?" desis Delzaka bimbang.

Natelia dan beberapa pelayan lain yang menunggu di luar terperanjat begitu Delzaka tiba-tiba keluar dengan Lala digendongannya.

"Anak ini akan menempati kamar di sebelah ruanganku. Segera siapkan," singkat Delzaka diangguki ragu oleh para pelayan.

Kamar di sebelah ruangan Margrave itu bukankah ... bekas kamar Nona Hara?

"Jangan salah paham. Hanya sampai anak ini sembuh dari sakitnya," lanjut Delzaka mencegah pelayan berpikir dia akan mengadopsi Buntalan.

*****

"Nana, ini mana?" Labelina mengucek mata sembari menoleh kemana-mana. Rambut awut-awutan dan muka bantal gadis kecil itu menandakan bahwa ia tidur dengan sangat nyenyak.

"Oh, Lala sudah bangun? Ini kamar yang sudah lama tidak terpakai. Margrave bermurah hati mengijinkan Lala tidur di sini sampai Lala sembuh," jelas Natelia mendekati ranjang untuk mengukur suhu badan Lala lewat dahinya, "syukurlah sudah turun."

"Nana?"

"Ya?"

"Ayo cali Yeti."

"Yet-, oh, maksudnya Margrave? Kenapa?"

"Uwang dan bluangnya Lala, 'kan, macih dicimpan Yeti."

"Oh, benar! Tapi Lala harus minum obat dulu, ya?" Mari gunakan kesempatan ini supaya Lala mau minum obat yang rasanya sepahit kehidupan.

"Kenapa?"

"Karena Lala belum sembuh sepenuhnya, jadi harus minum obat lagi."

"Kenapa?"

Oh, tidak! Apakah pertanyaan 'kenapa' anak ini akan kambuh lagi? "La-lala harus sehat kalau ingin bertemu Margrave."

"Kenapa?"

"Margrave tidak suka dengan anak yang sakit."

"Kenapa?"

Sir Joviette, Anda dimana? Tolong saya! Rasa ingin tahu Labelina terus berlanjut hingga pipi Natelia mengeriput. Wanita itu akhirnya berhasil membujuk Lala minum obat meski tangan dan kakinya menjadi selemas jelly.

"Bleghhh." Lala menjulurkan lidah sehabis minum sebuah ramuan hitam. Sedangkan Natelia sendiri terbujur kaku di atas permadani.

*****

Slap!

Untuk kesekian kali Joviette berhasil menghempaskan pedang Danzel. Tapi setelahnya dia menerima hantaman keras dari lelaki muda itu.

Buagh!

Joviette tersungkur jauh ke belakang. "Aduh!" Kenapa harus aku yang melawan Tuan Muda menggantikan Margrave yang sedang bertugas di luar?! keluhnya dalam hati, mengusap pipi. Rasanya nyut-nyutan setengah mati.

"Tuan Muda, ini latihan pedang. Tolong berhenti pukul lawan Anda saat pedang Anda sudah dijatuhkan," pinta Joviette masih dalam posisi terduduk. Dia seharusnya tidak menurunkan kewaspadaan hanya karena telinganya tiba-tiba terasa gatal.

Danzel memang selalu seperti itu. Refleksnya sangat bagus saat adu fisik. Tapi entah mengapa dia jadi tolol kalau memegang senjata.

"Kau, 'kan, bisa menghindar," kekeh Danzel tak merasa bersalah sama sekali, "lagipula jangan hanya terpaku pada keterampilan pedang. Kau bisa mati kalau bertemu lawan sepertiku."

Itu benar, sih. Tapi ini, 'kan, hanya latihan! Joviette sengaja menurunkan skill-nya karena Tuan Muda masih pemula!

Mereka lantas memutuskan beristirahat sejenak. Danzel menduduki bangku tepi bersama ksatria muda lain yang tengah berbincang. Selagi menenggak air dan menyeka keringat dengan handuk, ia tak sengaja mendengar obrolan mereka.

"Kau berseri-seri sekali hari ini. Pasti karena besok bisa pulang setelah sekian lama."

"Hehe, kau benar. Aku tidak sabar bertemu adik bungsuku. Katanya dia menungguku setiap hari!"

"Adikmu yang berumur tujuh tahun itu?"

"Yaaa, dia adalah adik perempuan terimut di dunia!"

Apa, sih? Dasar berlebihan, batin Danzel jengah. Ksatria bernama Baldwin itu memang seringkali memamerkan betapa lucu adik perempuannya seperti orang bodoh. Sedangkan rekannya Chester juga iya-iya saja.

"Olang yang cuka bohong anaknya cetan!"

"Pfft. Memangnya ada yang lebih lucu dari bocah itu?" gumam Danzel, mendadak terngiang cicitan Lala saat dituduh pengasuhnya sendiri.

Baldwin dan Chester sontak melotot bersamaan. Apa barusan Tuan Muda menyahut pembicaraan mereka?

"Tu-tuan Muda juga punya adik?" tanya Baldwin sopan.

Danzel mengerjap. Adik? Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya berpikir aku punya adik? Wajah bingung Danzel seketika mendatar. "Bukan adik, cuma peliharaan."

Panjang umur! Sosok mini yang mengusik pikiran Danzel tiba-tiba berlari kecil ke tengah lapangan. Semua orang sempat tertegun melihat penampilan barunya sekarang.

Jauh dari sebelumnya, kini Lala telah putih bersih, mengingatkan mereka akan bakpao berjalan. Rambut ikalnya mengembang harum dan memantul-mantul seiring ia melompat-lompat ke tengah lapangan. Dia sempat tersandung sekali, tapi segera bangun dan berlari lagi.

"Alo, cemua. Pelmici!"

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang