Bagian Tujuh Belas (3)

18.4K 2.4K 184
                                    

"Huft, hidup ini membocankan," celutuk Lala, duduk dengan wajah penat bak sesepuh berusia ratusan tahun. Ia menekuk lutut, sementara dua tangannya menyangga pipi.

Huh? Danzel memandang cengo sosok kecil yang tiba-tiba singgah di sampingnya itu ketika ia sedang membebat tangan dengan kain guna meminimalisir kapalan.

"Tolong perhatikan umurmu sebelum bicara," tegurnya, terganggu oleh kebiasaan aneh Lala yang suka meniru tingkah kakek tua.

"Lalu," lirikkan Danzel kemudian jatuh ke kaki rapat itu, "perhatikan juga caramu duduk," imbuhnya, membenahi rok Lala yang tersingkap tak tahu tempat.

Biarpun masih balita, Labelina ini perempuan. Banyak orang mesum di luar sana yang punya selera aneh. Dia harus mulai diajari dan dibiasakan untuk bersikap hati-hati.

"Kenapa?"

"Kalau dudukmu sembarangan, bajumu jadi tersingkap. Dan itu akan mengundang orang jahat untuk menculikmu."

"Cepelti Paman ketek bau?"

Kening Danzelion mengernyit tak paham pada awalnya. Namun beberapa detik setelah itu, tali pemahaman di otaknya sukses tersambung begitu mengingat kejadian masa lalu.

Oh, penculik yang ku patahkan tulangnya waktu itu.

"Benar. Dia itu orang jahat. Kau tidak boleh mengikuti orang asing hanya karena dia memberimu makanan."

"Kenapa? Lala, 'kan, lapal."

"Lapar pun tetap tidak boleh asal mengikuti orang! Kan, sudah ku bilang, bisa jadi didalam makanannya ada racun. Dia baik cuma awalnya saja, setelah berhasil membawamu dia akan menjahatimu!"

Alis Lala mengerut dalam. Sebetulnya, ini masih sulit dimengerti. Mengapa orang asing yang memberi makan disebut orang jahat?

Sekedar informasi, dia bersedia mengikuti rombongan Margrave waktu itu juga karena dipancing dengan makanan.

Usai memikirkannya matang-matang, Lala pun mencapai pada titik kesimpulan. "Belalti Yeti olang jahat?"

Hening.

Entah mengapa Danzel jadi merasa bersalah pada Margrave.

Belum sempat menanggapi premis aneh tersebut, muncullah dua orang tak diundang. Gara-gara percakapan beberapa hari lalu, rasa takut mereka terhadap Tuan Muda sedikit berkurang.

"Selamat siang, Tuan Muda. Hai, Lala."

"Alo, Kak Awin. Alo, Kak Chetel."

Cih! Bisa-bisanya dia semudah itu memanggil orang lain kakak! Anak lelaki berkaus putih tanpa lengan itu mendengus kesal dalam hati.

Danzelion yang malang. Andai dia tahu bila dirinya bukan korban satu-satunya. Ada Yeti yang pernah mengalami hal serupa.

"Tuan Muda, Anda pasti lelah menemani Lala. Biarkan kami yang menggantikannya." Chester menawarkan diri dengan sopan.

Atas dasar apa mereka berasumsi begitu? Danzel mendongak dari duduknya, bertanya dengan agak ketus. "Lelah apa?"

Baldwin dan Chester saling bersitatap sejenak. Tentu saja muka masam Tuan Muda sendirilah yang membuat mereka berpikir demikian.

Tapi karena tak enak berkata jujur, Baldwin menggunakan alasan lain. "Itu ..., Anda, 'kan, pernah bilang kalau bermain dengan anak perempuan membuat Anda mengan-,"

"Aku pernah bilang begitu?" sela Danzel sebelum Baldwin selesai berargumen.

"Ya, waktu itu Anda bila-,"

"Kapan tepatnya aku mengatakan itu pada kalian?"

"Kami mendengar-,"

"Kau yakin? Coba ingat-ingat lagi."

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang