Bagian Dua (2)

55.7K 4.3K 16
                                    

"Belalti, Lala laki-laki, ya?"

Gelak tawa Danzel mengudara. Berapa usianya? Kok bisa sangat bodoh?

"Kenapa kau dibawa ke Kastil? Apa hubunganmu dengan Margrave?" Interogasi Danzel berlanjut setelah puas menertawakan tampang lugu Lala.

"Di cini banyak mamam."

Maksudnya makanan? Lalu, apa hubungannya dengan dia yang dibawa ke kastil? "Kau anak pelayan yang bekerja di sini?"

"Butan. Bubu Lala butan pelayan."

Bubu? Jujur, Danzel agak kesulitan memahami logat cadel Lala. "Dari mana asalmu?"

"Dali cana," sahutnya menunjuk gerbang, arah ia masuk ke kastil esok tadi.

Itu benar, sih. Tapi salah juga. Danzel terkekeh lagi, baru kali ini berkomunikasi dengan makhluk seaneh Lala. Sepertinya cukup menyenangkan kalau ku jadikan mainan.

Bocah bernama Lala ini ternyata berukuran sangat kecil saat dilihat dari dekat. Dia memiliki sepasang mata bulat berhias bulu lebat yang lentik secara alami. Gigi serinya tumbuh menyerupai kelinci. Tidak heran para ksatria bodoh itu suka menyodorinya makanan. Kalau dicuci bersih, dia pasti dikira boneka berjalan.

Tapi ..., Danzel menilai penampilan Labelina dari atas ke bawah selagi menyeringai remeh, memang lebih baik kotor begini saja.

"Mau ku beritahu sebuah rahasia, tidak?"

Labelina mengangguk antusias. "Mau!"

"Mendekatlah kemari."

"Apa? Apa?"

Danzel membisikkan sesuatu di telinga Lala dengan amat serius. "Di sini memang banyak makanan. Tapi, asal kau tahu, ya, kastil ini bukan taman bermain. Orang jahat dimana-mana. Tidak lama lagi kau mungkin akan ditangkap mereka. Kalau aku jadi kau lebih baik kabur saja."

Bola mata Lala membulat sempurna. "Olang jahat?"

"Ya. Mereka akan memukulmu dan membuatmu bekerja sepanjang hari. Menyiksa sampai kau menjerit kesakitan. Tidak peduli kau bayi baru lahir sekalipun. Sebaiknya kau cepat pergi dari sini."

Danzel tak sabar menunggu reaksi Lala. Apakah dia akan menangis? Gemetar ketakutan? Ataukah pergi untuk mengadu pada orang dewasa?

Seharusnya begitu. Danzel akan puas jika Lala merespon demikian. Namun, tak disangka-sangka si Kecil justru meraih tangannya dengan tampang sedih seolah dia mengerti rasanya.

"Kecatila dipukuyi juga?"

"Apa?"

"Kecatila dipukuyi ciapa? Kacih tahu Lala."

Kernyitan di kening Danzel muncul tak terkendali. "Aku? A-aku adalah pokoknya! Kau pikirkan saja dirimu sendiri."

Labelina terkejut mendapati tangan kasar digenggamannya sekarang. Memang benar, banyak sekali bekas luka sayatan yang menjalar hingga ke atas. Mungkin, di balik baju tanpa lengan itu ada luka yang jauh lebih besar.

"Pasti cakit, ya."

Tidak suka dengan sikap Lala yang tak sesuai ekspektasi, Danzel menarik tangannya kembali. "Jangan bersikap sok memahami hanya karena kau melihat lukaku sekali."

"Apa? Kecatila bilang apa?"

"Aku bukan keca-, keca-, apalah itu," sahutnya bingung, bangkit meninggalkan Labelina yang tercenung di tempat.

Kok lari? heran Lala memiringkan kepala, menyaksikan punggung yang terbentuk dengan baik berkat latihan keras itu berlari pergi. Sikap buru-burunya seolah seseorang yang dia hindari akan segera datang.

Labelina menoleh. Ternyata benar ada segerombolan orang mendekat. Sang legenda perang melangkah tegas diikuti Vincent dan sejumlah ksatria yang sama.

"Yeti."

Alis Delzaka menukik tajam. Panggilan menyebalkan itu lagi. "Apa?"

"Yeti olang jahatnya, ya?" tuduhnya, pasang muka curiga.

"Apa maksudmu?"

"Yeti cuka pukul olang! Pasti pukul Kecatila juga."

Joviette dan rekan-rekannya lagi-lagi harus berusaha keras menahan tawa hingga wajah mereka merah padam. Seorang pahlawan tangguh diskakmat oleh balita. Sungguh pemandangan langka.

"Keca-, apa?" Tak terima nama baiknya dicemarkan oleh si Keca Keca itu, Delzaka langsung membela diri.

"Kecambah atau siapapun itu, aku ini orang baik, Buntal! Sabar, penyayang, tidak pernah marah! Kalau kau melihat gambar koran yang dipuji-puji, itu adalah aku! Hatiku bahkan lebih luas dari samudera! Hanya monyet gila yang bilang aku suka memukul orang!"

Gerombolan di belakang Delzaka terbatuk keras. Ya, pemimpin mereka sangat baik sampai ksatria baru yang dilatih olehnya selalu pulang dalam keadaan kering kerontang.

"Ahem, aku memang pernah memukul orang. Tapi itu karena dia berbuat salah," koreksi Delzaka, tetap menjaga citra di depan bawahan.

"Jadi, Yeti bukan olang jahat?"

"Bukan. Kau sendiri lihat semalam aku menangkap orang-orang di rumah jahat itu, 'kan?"

Labelila mengangguk percaya, berhasil diyakinkan sepenuhnya oleh sesepuh angkuh tukang bohong itu.

"Omong-omong, bukannya kau sudah mandi?" Delzaka lagi-lagi mengangkat Lala dengan menjapit kerah belakangnya. Aneh sekali, dia mandi pakai air atau lumpur, sih?

"Cudah."

"Kenapa masih ada tanah menempel di mukamu?"

"Lala habis main di citu." Lala menunjuk tanah bekas ia berguling-guling.

Tangan Delzaka yang bebas memegang janggutnya, mencoba menebak isi kepala Lala. Apa Buntalan ini tidak paham buat apa dia mandi?

Kruyuuuk!

Bunyi keras itu menginterupsi mereka.

"Apa itu?"

"Hehe," kekeh Labelina menepuk perutnya, "Lala lapal."

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang