Bagian Tujuh (3)

29.7K 2.7K 10
                                    

Lala yakin dia tidak salah ingat. Bibi yang tinggal di samping rumahnya pernah memperlihatkan sebuah foto Paman itu di surat kabar.

Bibi bilang namanya Kotoran Sapi. Dia menjadi bahan omongan satu kerajaan karena obat buatannya membuat ratusan anak mati.

Labelina ingin menolong mereka. Dia harus menghentikan obat nakal itu dibagikan, tapi bagaimana caranya?

Kebetulan, dua pelayan laki-laki melewati Lala dengan tangan penuh dokumen dan barang-barang aneh. "Hai, Lala. Permisi, ya?"

"Allo, Paman becal dan Paman kecil."

Eh, itu, 'kan, obat yang tadi!

Sepertinya acara persidangan sudah selesai sehingga proposal dan sampel yang lolos seleksi dimasukkan ke kantor Tuan Duke.

Lampu di kepala Lala menyala terang. Gadis kecil itu punya ide sekarang!

Smirk licik Labelina justru membuat pelayan berbadan gemuk dan kurus yang barusan melewatinya terkekeh gemas.

"Kau lihat itu? Ku pikir dia sedang pura-pura menjadi tokoh jahat."

"Haha, aku juga berpikiran sama. Anak kecil, 'kan, memang suka main rumah-rumahan."

Kaca pembesar andalan Lala segera dia keluarkan dari saku. Misi baru, dimulai.

Bak mata-mata profesional, Labelina berguling dari pilar satu ke pilar lain, sibuk bersembunyi meski lorongnya sepi.

Begitu pelayan pribadi Duke yang ditunggu Lala mendorong troli masuk ruangan, Lala gesit meringkuk di bawah troli tanpa ketahuan. 

Jadi begitu cara dia menyusup selama ini, batin Gestan bersandar pada salah satu pilar.

Tanpa Lala sadari, pria itu sudah mengamati di sana sejak tadi.

"Haruskah saya membawanya keluar, Tuan?" tawar Dores mau tak mau ikut mengintai.

"Tidak. Kau panggil saja Danzel dan orang-orang yang bertanggung jawab atas anak itu."

"Baik."

Belum tiga menit dibiarkan dalam kantor, jeritan pelayan tiba-tiba melengking hingga ke lorong.

Duke menyusul masuk. Tanpa bertanya apa yang terjadi, dia langsung tertegun begitu netranya tertuju pada tinta hitam yang tumpah di atas tumpukan dokumen penting.

"Maafkan saya, Tuan Duke! Saya benar-benar tidak melakukannya! Saya bersumpah belum menyentuh meja Anda! Tintanya tumpah sendiri, itu bukan saya!" ampun si pelayan bersujud-sujud ketakutan.

"Tinggalkan trolinya dan keluar."

"B-baik!" Kenapa tiba-tiba troli? Mau Duke apakan trolinya?!

Pelayan bernama Maya itu lekas berlari selagi Duke memberi kesempatan untuknya melarikan diri.

Alih-alih memergoki Lala di tempat persembunyian, Duke mengecek seberapa besar kerusakan dokumen tersebut.

Sialan, diantara itu ada arsip kuno yang baru dia dapatkan setelah kerja keras selama setengah tahun!

Tak berselang lama, Danzel, Joviette, dan Natelia memasuki ruang kerja.

Danzel mencoba mengatur denyut jantungnya yang tak terkendali. Ratvin hanya bilang terjadi sesuatu pada Lala tanpa menjelaskan selengkapnya.

Dimana bocah itu sekarang? Apa dia terluka?

Bagai sambutan, Duke menghempaskan kertas-kertas yang tidak bisa diselamatkan itu ke arah mereka. Aura gelapnya mendominasi.

"Bagaimana kalian akan mempertanggungjawabkan ini?!" gertak Duke. Wajahnya mengeras. 

"Itu ..., arsip kuno yang diinginkan Baginda Raja?!"

"Arsip apa, Sir?"

"Itu adalah salah satu syarat yang diajukan Baginda Raja untuk mencapai kesepakatan dengan Tuan Duke!"

Dan, ya ... mereka tahu Duke berminggu-minggu meninggalkan kastil hanya demi kertas usang tersebut.

"Apa?! Kenapa penuh dengan tinta?"

"Dengan segala hormat, Tuan Duke," Joviette berlutut mewakili kebingungan mereka, "ijinkan kami mengetahui apa yang terjadi."

"Tanyakan itu pada Tuan Muda kalian," tekannya dengan otot menonjol di sisi rahang.

"Tuan Muda?"

Danzel berpaling. Ia benci dengan dirinya sendiri yang langsung paham begitu Duke menatapnya dingin. "Ku pikir ..., Lala-lah pelakunya."

"Apa?!"

"Ba-bagaimana bisa? Anak itu, saya sudah pastikan dia bermain di taman!"

Kedatangan Dewan Negen dan acara Persidangan Evaluasi membuat mereka sibuk akhir-akhir ini sehingga Lala pun jadi berkeliaran sendiri tanpa ada yang mengawasi. 

"Duke, Anda tidak seharusnya meletakkan berkas penting sembarangan." Danzel adalah satu-satunya orang yang berani menyalahkan Gestan.

"T-tuan Muda!"

"Kalian berdua diamlah! Saya mengatakan ini karena saya peduli dengan Anda."

"Peduli?"

"Benar."

Omong kosong. Siapapun tahu Danzelion adalah anak ter-apatis yang pernah ada.

"Terima kasih atas kepedulianmu, tapi kenapa aku harus berhati-hati di ruanganku sendiri?" sarkasnya.

"...," 

Sial. Danzel tidak dapat menyanggah. Dia baru sadar telah mengatakan hal bodoh.

Sudah menjadi aturan dasar bahwa tidak semua orang bisa memasuki ruangan Duke tanpa ijinnya.

Pelayan pribadi adalah salah satu yang boleh keluar masuk selain Dores. Mereka memang diwajibkan membersihkan ruangan secara berkala dengan aturan ketat menyertai.

Pertama dan terpenting, dilarang menggeser dokumen milik Duke atau bahkan menyentuh seujung jari pun jika Duke belum memberi perintah.

"Danzel."

"...,"

"Lepaskan dia."

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang