Bagian satu (2)

82.8K 5.5K 88
                                    

Delzaka terkesiap sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya. Bocah itu mungkin tertutup debu dan lumpur, namun manik birunya yang lebih indah dari safir tak luput dari ingatannya.

Hara?

"Yeti," cicit Labelina ceria.

Ingatan tentang Hara di kepala Delzaka buyar seketika. "A-apa?"

"Yeti," ulangnya lagi. Kali ini sambil menarik jenggot kelabu Delzaka dua kali.

"Pfft-, Ups!"

Muka dingin Delzaka langsung berpaling ke bawahannya. Kira-kira, siapa diantara mereka yang barusan berani tertawa?

Dari kesepuluh ksatria, semuanya menahan nafas. Termasuk Vincent si asister pribadi. Rasa gemas mereka pada Labelina berganti dengan rasa kalut akan ditebas.

Tak menemukan siapa pemilik tawa kurang ajar itu, Delzaka kembali mengintimidasi Labelina. "Siapa namamu?"

"Lala," sahut Labelina polos, masih menggantung di ransel yang diangkat Delzaka.

"Mana ibumu?"

"Bubu? Hmm...,"

"Baiklah, Ayahmu saja. Dimana dia?"

"Yayah itu apa?"

Apa pula maksud Buntalan ini? Masa dia tidak tahu ayah? Delzaka mulai tak sabar. "Orang yang merawatmu seperti ibumu!"

Labelina berpikir lama dengan kening mengerut dan jari telunjuk menempel bibir.

"Ck!" Percuma bicara dengan makhluk hidup yang baru lahir. Daripada buang-buang waktu dan tenaga, akhirnya Delzaka mengalah. Lebih baik menyelesaikan masalah ini antar orang dewasa.

"Kalian semua, kecuali Vincent, cari orang asing di sekitar sini!" titah Delzaka dipatuhi oleh seluruh bawahan. Mungkin saja orang asing itu adalah orangtua Lala.

"Apa yang harus saya lakukan, Margrave?"

"Jaga si Buntal."

"Eh?" Vincent, asisten paruh baya yang sudah pensiun dari pasukan ksatria itu kebingungan saat menerima Labelina. Si Buntal?

Selagi menunggu para prajurit mencari wali Lala, Delzaka membenahi tali yang terikat pada kudanya.

"Margrave, bukankah anak ini mirip dengan seseorang?" pancing Vincent.

Cih! Ternyata Vincent juga berpikiran sama. "Sudahlah! Jangan ingatkan aku pada anak pembangkang itu!"

Lagi pula, si Buntal yang dekil itu tidak mungkin ada hubungan dengan wanita yang sekarang hidup tenteram sebagai nyonya bangsawan dari kerajaan musuh meski mata mereka serupa.

"Kapan saya bilang dia mirip dengan Nona Hara?" Vincent berkilah.

Bahu Delzaka tersentak samar. Benar juga, Vincent hanya bilang Buntal mirip seseorang, bukan Hara. "Ahem," deham Delzaka canggung, "maklum, kupingku sudah tua."

Vincent memutar bola mata. Lagi-lagi menggunakan alasan itu sebagai tameng. Padahal siapapun tahu, pahlawan berusia kepala tujuh itu bahkan mampu menumbangkan puluhan pemuda sehat hanya dengan sekali tinjunya.

"Saya hanya berpikir anak ini menyerupai seseorang yang saya kenali di rumah saya."

Sejujurnya, mata bulat anak di gendongannya sekarang memang seperti jiplakan Nona Hara. Vincent sengaja berkata demikian karena penasaran dengan reaksi Delzaka. Masihkah pria itu menyimpan kemarahan pada putrinya sendiri?

"Hei, Nak. Namamu Lala, benar?"

Labelina mengangguk. "Eung!"

"Lain kali Lala tidak boleh berkeliaran sendirian lagi, ya. Apalagi di hutan berbahaya seperti ini. Bagaimana jika tiba-tiba bertemu beruang?" Vincent membawa Lala ke pinggiran jalur kuda sembari memberi nasihat pada anak berambut pendek tersebut.

"Bluangnya Lala baik, kok," bantah Labelina, berbalik memperlihatkan ransel teddy di punggungnya, "bluang bantu Lala bawa uwang."

"Bukan beruang itu. Tapi beruang sungguhan. Yang sangat besar dan menyeramkan. Rawrrr!" Vincent meniru gerakan beruang tanpa rasa malu. 

Anehnya, gerakan yang dianggap konyol bagi Delzaka itu justru dipahami oleh Lala. "Bluang yang lapal?"

"Ya, dia akan menggigit Lala kalau Lala bermain sendiri ke hutan! Besok lagi jangan pergi sendiri, ya?"

Tapi, beruang yang dikenalnya selama ini baik, kok? Lala memiringkan kepala kebingungan. Tapi, ya sudahlah, yang penting mengangguk saja.

"Bagus, anak pintar."

"Ung! Akek juga pintal!"

Vincent memang seluwes itu menghadapi anak kecil. Bagaimana tidak? Dia pernah membesarkan lima anak dan sekarang bertemu dua belas cucu tiap kali kembali ke kampung halaman.

Sementara Delzaka yang sedari tadi menguping sambil mencuri-curi pandang mendecih tak senang. Dasar bocah pilih kasih! Pada Vincent dia memanggil kakek, sedangkan padaku memanggil Yeti?

Selepas tiga puluh menit mengitari hutan, sayang sekali tidak ada ksatria yang menemukan orang asing yang sekiranya adalah orangtua Lala. Vincent pun menyarankan pada Delzaka untuk membawa Labelina.

"Kenapa aku harus membawanya?" Seperti yang Vincent duga, Delzaka menolak mentah-mentah.

"Margrave, meninggalkan Lala di tempat ini terlalu berbahaya." Pendapat Vincent disetujui oleh para ksatria, terutama Joviette yang sekarang sudah mengambil alih Lala untuk dimainkan pipi bakpaonya.

"Dia datang kemari dengan dua kakinya sendiri. Pasti bisa pulang sendiri juga."

Vincent menghela nafas. Teori macam apa itu? Jangan bilang Tuan Delzaka menyamakan Lala dengan Tuan Duke dan Tuan Muda yang 'itu'?

"Tolong dengarkan permintaan kami sekali saja, Margrave. Hanya sampai di tempat yang aman. Sebentar lagi kita akan memasuki pemukiman warga, mungkin orangtua Lala ada di sana." Joviette memberanikan diri ikut membujuk.

"Bagaimana jika dia ternyata adalah mata-mata musuh?!"

Spontan, semua perhatian langsung tertuju pada objek yang ditakuti Sang Dewa Petir. Sosok mungil yang hanya setinggi satu langkah pria dewasa itu berkedip dua kali.

Ah, mana mungkin balita semenggemaskan Lala adalah orang jahat? Betapa teganya Margrave bila keukeuh meninggalkan Lala sendirian.

Satu banding sebelas. Delzaka kalah telak. Dengan berat hati akhirnya dia pun mengijinkan. Dia tidak mau dianggap sebagai pemimpin tiran yang dengan kejinya menelantarkan anak kecil.

"Pastikan dia tidak menghambat perjalanan kita!" peringatnya mulai menjalankan kuda.

*
*
*
*
*
*
*
*
*
*

Jadi guys, aturan biar cerita ini update sampai tamat di wattpad, silakan komen sebanyak apapun. Sekian. Terima kasih.

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang