Bagian Sebelas (2)

27.6K 2.8K 31
                                    

Perkelahian itu terjadi dalam waktu singkat. Lebih tepatnya, penyerangan secara sepihak. Karena 90% perkelahian mereka didominasi oleh Danzel yang menghajar lawannya hingga babak belur.

Si Lelaki Penculik berakhir dibiarkan Danzel lari terbirit-birit dalam keadaan patah tulang. Dia terlambat menyadari sosok incarannya ternyata bukan bangsawan biasa, melainkan mantan Pangeran Baltenas yang bakal meneruskan gelar Duke Gestan.

Serbuan air dari langit mulai deras ketika hanya tersisa mereka berdua. Dalam diam, Lala dan Danzel berhadapan satu sama lain.

"Kau menghilang tiba-tiba. Ku pikir memang mau pergi," lirih Danzel. Ekspresi dinginnya membuat Lala enggan mendekat.

"Lala cuma cebental, kok."

Baiklah, katakan Lala memang tidak berniat pergi. Namun, adakah jaminan dia bisa kembali jika barusan Danzel tidak kebetulan menemukannya?

"Apa lucu membuat orang yang peduli padamu panik?"

Labelina menciut menyadari adanya aura mengintimidasi dari remaja itu. "Tak lucu," gelengnya, menunduk sesal.

"Menyelinap ke tempat Duke, merusak barang orang, lompat dari kereta kuda, pergi tanpa pamit, mengikuti orang asing. Apalagi selanjutnya?"

"...,"

"Kenapa diam saja? APA MENURUTMU MENYENANGKAN MEMPERMAINKAN KAMI?!"

"Hicup!" kaget Lala sampai cegukan.

Sejak ada Lala, Danzel merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Dia spontan berlari tiap kali mendengar bocah itu dalam bahaya. Dia juga banyak mengomel seperti sekarang. Namun, ketika mulutnya kelepasan meninggikan suara, dia sendiri yang pada akhirnya menyesal.

"Sudahlah. Lupakan apa yang ku katakan barusan," tukasnya usai menghela nafas kasar.

Tidak ada gunanya marah-marah. Yang ada dia malah membuat Lala takut. Danzel menyudahi kontak mata mereka dan berbalik pergi.

"Kecatila?"

"...,"

"Lala minta maap."

Danzel tetap berjalan tanpa menengok ke belakang. Lagipula mereka harus segera menemui kelompok pencari lain agar Joviette berhenti menangis.

"Lala becalah."

"Terserah."

"Tapi, Anzel?"

Langkah Danzelion terhenti. Dipanggil demikian dia baru mau menoleh. "Kau bilang apa?"

"Minta maap."

"Bukan. Setelah itu."

"Lala becalah."

"Setelahnya lagi."

"Tapi?"

Danzel memijit pangkal hidungnya, putus asa. Mungkin, cuma salah dengar, 'kan?

"Anzel?"

Loh? Mata hijau itu mengerjap tak percaya. "Katakan yang jelas," pintanya.

"Anzel."

"Sekali lagi."

"Anzel!"

Perasaan ini..., beginikah rasanya menjadi orang tua saat melihat anak mereka mengucapkan kata pertama?!

Gila! Apa yang ku pikirkan? Anak apanya!

Padahal bocah tengil itu sendiri entah belajar dari mana suka sekali memperlakukannya seperti seorang cucu.

"Ahem, baiklah. Kalau mulai sekarang kau memanggilku seperti itu, permintaan maafmu ku terima."

Hanya perasaan Lala saja atau telinga Danzel berubah merah? "Ung. Lala tak kan ulang lagi."

"Kau sudah menyesal, 'kan?"

"Eung. Lala mecenyal."

Yang benar menyesal, Bodoh. Danzel menahan sudut bibirnya agar tidak tertarik ke atas. Mari tetap memasang tampang sinis lebih lama.

Mendapati bahu mungil itu menggigil kedinginan, Danzel melepas baju luarannya untuk membungkus Lala.

"Aku mau pulang sekarang. Terserah kau mau ikut atau tidak."

Mereka pun berjalan meninggalkan gang. Labelina mengekori Danzel dengan sedikit kesulitan. Langkah anak lelaki tersebut terlalu panjang baginya.

Baru ketika bunyi 'gedebuk' terdengar, Danzelion menoleh ke belakang. Lala sudah jatuh ke kubangan.

Alih-alih menangis, dia malah meringis.

"Hehe, Lala jadi cokat."

"Pffttt! Ahahahahahaha!" Ini juga merupakan hal baru bagi Danzel. Semenjak ada Lala, dia jadi sering tertawa.

Danzel balik lagi dan mengambil posisi jongkok membelakangi Lala. "Hanya sekali ini saja. Cepat naik."

"Ung."

Danzel bak kakak sejati yang diam-diam tersenyum ketika menggendong adik kecilnya di bawah hujan.

Kapan-kapan, dia harus pamer pada Baldwin dan Chester, bahwa melihat kekonyolan Lala seratus kali lipat lebih menyenangkan daripada memiliki adik perempuan.

*****

"Ku dengar kau berulah lagi," ujar Duke saat mereka sudah berada di kereta dalam perjalanan kembali ke kastil.

"Aw!" pekik Lala mendapat sentilan pelan di dahi. "Cakit! Janan pukul Lala, Dyuk nakal!"

Sebelum Duke datang, Danzel dan Lala masih sempat berganti pakaian di butik Senorita Bliss. Butik tersebut butuh beberapa waktu untuk menyelesaikan pesanan pelanggan, sehingga mereka tidak menyediakan gaun seukuran Lala yang siap pakai. Karena itu, sang Designer terpaksa memakaikannya baju laki-laki lagi.

"Anda tahu, Duke? Bocah ini mau menerima ajakan orang asing begitu disogok sebiji permen. Luar biasa, bukan?" Danzel mengadukan kelakuan Lala yang paling membuatnya kesal.

Pantas saja dia ditemukan sendirian dalam hutan. Balita itu pasti pergi tanpa bilang-bilang walinya setelah terkecoh dengan sesuatu. Dia, 'kan, lemah terhadap uang dan makanan.

"Kau seceroboh itu rupanya."

Labelina mencakar-cakar tangan Duke seperti kucing saat pria itu hendak meraih dahinya lagi.

"Lala tak celoboh! Lala mamam pelmennya kalna dikacih Paman Bau." Menahan lapar itu menyakitkan, jadi prinsip Lala adalah makan selagi ada makanan.

"Tapi kau tidak bisa menerima makanan dari orang asing begitu saja! Jika di dalamnya ada racun, kau bisa langsung mati. Ah, sebelum itu mulutmu akan berbusa. Matamu menjadi putih, kejang-kejang lalu meledak, DUAR!" 

Lala mendelik. Cara Danzel menggambarkan bahayanya menerima makanan dari orang asing terlalu sadis bagi bocah empat tahun itu. "Me, meledyak?"

"Ya. Dagingmu yang berceceran akan disantap oleh orang asing itu."

"Lala tak mau meledyak."

"Maka jangan sembarangan menerima pemberian orang yang tidak kau kenal."

Lala kemudian merenung. Naik kereta kuda yang semula membuatnya antusias menjadi tak asyik lagi.

Bukannya merasa bersalah, Danzel justru mengangkat bahu pada Duke yang menatapnya tanpa ekspresi. "Apa? Kalau tidak ditakut-takuti, dia tidak akan mengerti."

Tidak, Duke bukan ingin menyalahkan cara Danzel memberi peringatan. Hanya saja, dua anak itu tampak seperti saudara sungguhan sekarang.

"Kau akan sulit berpisah dengannya."

"Siapa? Saya? Hah, tidak mungkin. Justru saya mengharapkan dia cepat pergi."

"Kita lihat saja nanti."

"Siapa takut? Saya peduli padanya karena risih tiap kali melihat Sir Joviette panik."

Perdebatan mereka terjeda begitu Lala berseru sambil menunjuk ke luar jendela.

"Liat itu! Liat itu!"

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang