Bagian Sepuluh

29.6K 2.8K 16
                                    

BAGIAN SEPULUH, KEHILANGAN

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

Bertepatan dengan jadwal inspeksi wilayah, kotak harta karun yang hendak diberikan Labelina selesai dibuat.

Sekalian menuju daerah tujuannya, Duke membawa Lala ke St.West, kota dimana toko pengrajin tersebut berada.

Bukan Lala namanya kalau tidak bertingkah. Selama di kereta, balita itu antusias memperhatikan jalan sambil menempelkan muka ke kaca. Hidungnya sampai membentuk babi ketika pemandangan yang ingin ia lihat lebih lama malah cepat terlewati.

Aku tak percaya telah berutang budi padanya, batin Gestan, tak dapat menghindari tontonan aneh di depannya.

Semakin dipikir-pikir semakin mengherankan. Bisa-bisanya dia mendapatkan bantuan dari Lala. Padahal anak itu bicara saja masih belum jelas.

Berkat Lala, Duke bisa memberantas transaksi ilegal ramuan versat lebih awal. Obat lain yang jelas lebih aman pun segera dikirim ke Lembah Sabana meskipun pengaruhnya tidak secepat versat.

Secara tidak langsung, bayi seukuran ibu jari ini telah mencegah perpecahan dua wilayah besar sekaligus.

Pemikiran Duke buyar ketika Lala bertanya sambil menunjuk sesuatu di luar. "Itu apa, Dyuk?"

"Air mancur."

"Butan. Yang itu, loh. Yang ada talinya."

"Balon."

"Kenapa dia bica di atas?"

Butuh beberapa saat sampai Duke memahami maksudnya. "Mereka mengisinya dengan helium."

"Helium?" gumam Lala memiringkan kepala, sebelum bertanya lagi. "Kalau Lala mamam heliumnya, apa Lala bica di atas juga?"

Dengan muka datar Gestan menyahut, "Tidak."

"Kenapa?"

Duke melirik Danzel di sisi Lala yang spontan memalingkan wajah. Tampaknya dia sudah tahu ini akan terjadi, makanya langsung menghindar. "Danzel yang akan menjawab pertanyaanmu."

"Hah?" Apa-apaan ini? Bisa-bisanya Duke melempar masalah yang ia buat sendiri! "Duke, Anda yang pertama menjawab, maka Anda juga yang harus menyelesaikannya. Lalu kau-,"

Giliran menoleh ke Lala, mulut Danzel terasa berat melihat mata bulat itu menyorot penuh harap kepadanya.

Sial.

"Ck! Karena kau manusia dan helium bukan makanan," singkat Danzel. Pada akhirnya menjawab juga. 

"Kenapa butan matanan?"

"Mana ku tahu! Tuhan sudah menciptakannya seperti itu!"

"Kenapa?"

Astaga, bocah ini tidak akan berhenti tanya kalau tidak dia alihkan. "Wow, lihat itu!"

"Apa? Apa?"

"Pokoknya lihat saja. Kau akan menemukan sesuatu yang menarik kalau terus melihat."

Akal-akalan Danzel berhasil. Lala menjadi tenang dan fokus ke luar jendela.

Hah, gampang sekali dikelabui, pikir Danzel, kembali bersandar malas ke sisi jendela yang lain.

Walau kelihatannya tak peduli, Duke yang sedari tadi bersedekap dalam diam sebenarnya cukup tertarik memperhatikan interaksi mereka.

Terlepas dari iris biru mencolok yang dimiliki Lala, Duke jadi sedikit mengerti alasan Margrave memungutnya, dan mengapa waktu itu Danzel yang biasanya tidak mempedulikan siapapun rela terlibat masalah demi mencegahnya diusir dari kastil.

"Danzel."

Sang anak lelaki yang dipanggil namanya terpaksa menegakkan badan.

"Tugasmu hari ini memandunya jalan-jalan."

"Kenapa harus saya?" Akhirnya Danzel mengeluarkan protesnya juga.

"Dia, 'kan, mantan peliharaanmu."

Adakah jawaban yang lebih tidak masuk akal dari itu? kesal Danzel dalam hati. "Itu tidak ada hubungannya dengan saya yang harus menjadi pemandunya. Lagipula ada Anda, Sir Joviette atau dua pengasuh lain. Kenapa harus saya?"

"Aku pergi untuk bekerja. Dan, dia tamuku sekarang."

Jika waktu itu Lala tidak memberi petunjuk, pendestribusian ramuan justru akan mendatangkan bencana baru.

Wabah mungkin dapat teratasi, namun kematian akibat overdosis abokran dan orang-orang yang menjadi pecandu obat terlarang akan merajalela. Ujung-ujungnya, kekacauan itu akan berdampak buruk pada hubungan Aslett dan Lembah Sabana.

Sebagai bentuk balas budi, Duke meningkatkan status Lala dari parasit menjadi tamu. Segala kebutuhan bocah itu akan Duke fasilitasi sampai Margrave kembali. Seperti tempat tinggal, kamar mewah, hadiah, makanan, uang, serta pengasuh dan penjaga.

"Tamu harus dijamu selayaknya tamu. Karena aku ada pekerjaan, kaulah yang akan mewakiliku."

"Tapi, Duke-,"

"Ini perintah," tegas Gestan tak dapat ditentang lagi.

Danzel mengeratkan rahang demi menstabilkan emosinya yang nyaris meledak.

"Bukankah ini kesempatan kau bisa bebas dari kelas?"

"Apa?"

"Aku menitipkan cek kosong pada pelayan. Gunakan itu semau kalian."

Tunggu, tunggu. Bebas dari kelas? Cek kosong? Apa artinya-,

Alis Duke bergerak samar, mengisyaratkan, ya.

Hooo, begitu rupanya. Duke bukan hanya ingin membalas budi pada Lala, tapi padaku juga.

Pria ini pasti berpikir, andai waktu itu dirinya tak mencegah Lala diusir, segalanya akan menjadi sulit.

"Baiklah. Jangan terkejut jika Anda tiba-tiba bangkrut," seringai Danzel, menjadi bersemangat karena artinya seharian ini dia bisa bebas dari kelas penerus yang pengap dan membosankan.

Kalau masalah uang, dia tidak begitu tertarik. Toh, sebelum ditetapkan sebagai pewaris Aslett, Danzel sudah memiliki banyak aset dari status pangerannya.

"Tak ada apapun?"

Ketika mereka sampai di kota tujuan, Labelina bingung. Tidak ada hal menarik selain balon. Padahal tadi Danzel bilang ada kalau dia terus melihat ke luar.

"Berarti kau kurang jeli. Coba perhatikan nanti saat diperjalanan pulang," kelitnya, lagi-lagi dipercaya Lala.

"Ung. Baikah."

Pintu kereta dibuka oleh Joviette. Belum genap satu detik, Lala tiba-tiba meloncat dengan kepercayaan dirinya yang tak berdasar. 

"Yipiiii!"

"AWAS!"

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang