Bagian Empat Belas

23.9K 2.7K 42
                                    

BAGIAN EMPAT BELAS, BONEKA BERJALAN

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

"Lihat gelang ini. Adikku membuatkan ini khusus untukku. Imut sekali, bukan?" pamer Baldwin, lagi-lagi menunjukkan hadiah dari adik perempuan kesayangannya pada Chester.

Normalnya, orang lain akan bosan mendengar itu setiap hari. Tapi Chester berbeda. Dia adalah ksatria magang dengan hati paling mulia.

Chester selalu menanggapi hal apapun dengan komentar positif. Makanya, Baldwin lebih suka memamerkan si adik pada Chester ketimbang pada yang lain.

"Wah, punya adik pasti benar-benar menyenangkan, ya?" timpalnya, membuat kepala Baldwin membesar dua kali lipat.

Benar, 'kan? Chester adalah tempat terbaik untuk mencurahkan cerita. Meski itu bukan hal penting sekali pun.

Di sisi lain, seorang calon ksatria muda dengan hati paling kotor terkekeh meremehkan. Entah sejak kapan, dia tahu-tahu sudah bersedekap di belakang.

"Itu, sih, biasa saja," sambungnya tiba-tiba.

Eh? Tuan Muda?

Lagi-lagi Tuan Muda yang 'itu' menanggapi obrolan mereka? Baldwin dan Chester sempat mengedarkan pandangan ke sekitar. Siapa tahu ada orang lain selain mereka, 'kan?

Dua tolol ini, aku bicara pada kalian, Bodoh! kesal Danzel dalam hati.

"O-oh, Anda pasti berbicara tentang gelangnya Baldwin, 'kan?" Untungnya, Chester segera tanggap sebelum Danzel semakin geram.

Jarang-jarang Tuan Muda mengajak ksatria lain bicara, makanya otak mereka konslet seketika.

"Bukan, tapi soal adik perempuan," siriknya, melirik gelang di lengan Baldwin. "Kalau aku jadi kau pasti akan menguap saat diajak bermain. Mereka, 'kan, hanya tertarik pada hal berbau feminim."

Apa ini? Tuan Muda bermaksud menyindir atau merasa kasihan padanya? Baldwin menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Ahaha, A-anda benar, Tuan Muda. Terkadang saya memang bosan. Tapi, karena dia adalah adik saya, rasanya tetap menyenangkan."

Perkataan Tuan Danzelion tidak salah. Faktanya, dia memang kerap beda selera dengan sang adik perempuan.

Namun, ada satu hal keliru dari ucapan tersebut. Kadang kala, seorang kakak rela mengalah asal dia bisa melihat adiknya senang.

Masih belum menyerah, Danzel mengeluarkan kartu As-nya. Tentu tak luput dengan senyum arogan. "Tapi, di rumah kalian, 'kan, tidak ada yang seperti Lala."

Baldwin dan Chester mengerjap bersamaan, langsung paham mengarah kemana Tuan Muda berbicara.

"Wah, kalau Lala tidak perlu diragukan. Saya setuju dia sangat lucu!" seru Chester, diikuti Baldwin. "Benar, tiap kali melihatnya membuat saya teringat adik saya saat dia masih balita!"

Mereka akui, adik perempuan memang menarik, tapi lain halnya soal Lala.

Si mungil yang satu itu digadang-gadang sebagai maskotnya Aslett, pembawa keberuntungan, malaikat imut yang menebarkan pelangi di tiap sudut kastil.

Tidak heran dia disayang oleh sebagian besar penghuni. Bahkan Baldwin yang selama ini hanya memuja adiknya pun mengakui betapa menggemaskannya Lala.

"Ya, 'kan? Apalagi dia tinggal diatap yang sama denganku," tekan Danzel, semakin memanjangkan hidung tiap kali direspon baik oleh mereka.

"Anda sangat beruntung bisa bertemu Lala setiap hari, Tuan Muda."

"Andai saya punya adik seperti Lala, saya pasti tidak rela berpisah dengannya."

Nah, benar begitu. Teruskan rasa iri kalian padaku yang punya bocah menyebalkan itu di sisiku.

"Omong-omong, kenapa Anda tidak mengajak Lala bermain pedang saja, Tuan?" tanya Baldwin, memberi masukan. Lebih tepatnya, strategi agar Lala dibawa ke tempat latihan.

"Baldwin benar. Jika saya punya adik laki-laki, saya pasti akan mengajarinya latihan fisik lebih awal. Barangkali jika Lala ingin bermain pedang-pedangan, bukankah Anda bisa sekalian mengajarinya?"

Raut muka Danzel yang awalnya angkuh kembali normal. "Latihan ..., pedang?" gumamnya, menegakkan badan seolah tak pernah terpikirkan ide tersebut.

"Ya. Lagi pula, di gudang senjata ada pedang kayu untuk anak umur enam tahun. Dia bisa menggunakan itu."

Tenggalam dalam pikirannya sendiri, Danzel melenggang meninggalkan mereka berdua begitu saja.

"Wah, luar biasa. Barusan kita diajak bicara Tuan Muda. Ini bukan mimpi, 'kan?" desis Baldwin masih tak percaya.

Rupanya, Tuan Danzel tidak semenakutkan bayangan mereka. Beda dengan kebanyakan bangsawan yang suka menindas orang biasa. Asal tidak disulut, beliau hanya cuek. Itu saja.

Mempertimbangkan usul Baldwin dan Chester, Danzel bergegas masuk ke gudang senjata. Sepertinya ide mereka bagus juga.

Mengingat Lala hampir diculik beberapa hari lalu, bukankah lebih baik dia mulai diajari sedikit demi sedikit cara melindungi diri?

Usai mengambil pedang kayu berukuran paling kecil, Danzel pergi ke suatu tempat. Ini masih pagi. Harusnya dia ada di taman belakang, 'kan? pikirnya.

Sesuai perkiraan, Lala ada di sana bersama Joviette, Natelia dan Sona. Tanpa pikir panjang, Danzelion mempercepat langkah dengan hati tak sabar.

Entah apa yang mereka mainkan, dari kejauhan si kecil tampak kegirangan. Tapi ...,

Tunggu tunggu tunggu!

Langkah remaja laki-laki itu melambat seiring dia menyadari ada sesuatu yang mengganjal dari penampilan Lala.

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang