Bagian Empat Belas (2)

24.1K 2.9K 83
                                    

Langkah remaja laki-laki itu melambat seiring dia menyadari ada sesuatu yang mengganjal dari penampilan Lala.

Itu ..., bukankah itu, pakaian perempuan?

Labelina mengenakan gaun merah dengan sepatu berpita. Sementara rambut jamurnya diikat dua. Karena masih terlalu pendek, bentuknya jadi mencuat seperti antena.

Danzel tercenung di tempat. Manik hijau itu membelalak tanpa bisa dia kontrol saking kagetnya.

Apa aku salah lihat?

Hal pertama yang Danzel lakukan untuk memastikan penglihatannya tidak salah adalah dengan mengucek mata.

Sekali, masih sama.

Yang kedua, tetap sama.

Apa saking seringnya mendengar Baldwin mengoceh tentang adik perempuan, dia jadi berhalusinasi Lala memakai rok mengembang?

Lantas, Danzel mengambil langkah lebih ekstrim yaitu dengan menampar keras pipinya sendiri.

Plak!

Bunyi tersebut tentu kompak menginterupsi mereka.

"Allo, Anzel!" sapa Lala, menunggangi punggung Joviette yang merangkak bak mamalia. "Liat, Lala naik kudya."

"Salam kepada Tuan Muda."

"Selamat pagi, Tuan Danzel."

Diantara mereka, Jov-lah yang paling sumringah menyambut kedatangan Danzel. Dia sukses dibutakan keimutan Lala sampai tak sadar dirinya kelihatan memprihatinkan.

"Tuan Muda, Anda juga terkejut, 'kan?! Anda juga tidak menyangka Lala akan terlihat seimut ini setelah pakai gaun, 'kan?!"

Dari kalimat Jov barusan, tampaknya pria itu tak menyadari ketidaktahuan Danzel tentang Lala.

"I-iya."

"Omong-omong, kenapa Anda membawa itu?" Joviette yang sudah akrab dengan jenis-jenis senjata langsung salah fokus dengan pedang yang Danzel bawa.

"Huh?"

Danzel masih seperti orang linglung yang tidak tahu harus bicara apa. Dia refleks menyembunyikan benda kayu itu di belakang punggung.

"I-ini bukan bukan apa-apa," kilahnya.

Dia sendiri tidak tahu harus merespon bagaimana. Fakta bahwa Lala adalah perempuan masih terlalu mengejutkan baginya yang sudah menghabiskan waktu bersama sekian lama.

Yang jelas, ada rasa mendebarkan yang mendominasi dadanya sekarang. Membuncah seperti seteguk coklat beruap dikala musim dingin. Manis dan hangat.

Senyuman tipis pun tak bisa Danzel tahan meski ia sudah menggigit bibir. Begitu pula bisikan halus yang terus menyeru dari hatinya yang terdalam.

Daripada melihat tangan ringkih itu memegang senjata, mari dia saja yang belajar lebih giat. Dengan begitu,

Aku sendiri bisa melindunginya.

*****

Dores menghembuskan nafas panjang.

Rapat mendebarkan bagi para pengikut Aslett akhirnya telah usai. Keluar dari ruang lebih dulu, Duke membawa seribu satu atensi kelam yang menebarkan aura menekan.

Masih saja orang-orang dungu itu mengusulkan pernikahan. Lupakah mereka bila Duke sudah menetapkan pewaris?

Percuma memamerkan kelebihan putri mereka masing-masing. Duke bukan pohon yang bisa dipanjat sedemikian mudah.

Kalaupun harus menikah, Dores yakin Duke akan memilih wanita tanpa kuasa yang bersedia dijadikan istri di atas kertas.

Tidak ada aliansi keluarga, anak, ataupun penyerahan kekuasaan. Bodoh jika mereka mendambakan lebih.

Balkon ruang kerja menjadi sasaran utama Duke meredam emosinya. Sang pemilik punggung kokoh itu melonggarkan dasi dengan kasar.

Andai Dores tadi tidak menghentikan para penjilat itu, Duke pasti sudah mengangkat kerah mereka.

"Apa jadwalku selanjutnya?" tanya Duke, menaruh sebatang rokok diantara bibir.

Jari-jari panjang pria itu membentengi pematik yang membakar ujung tembakau kala angin bertiup lebih kencang.

"Ada rapat bersama Dewan Negen pukul dua, Tuan," terang Dores selepas membaca catatan yang hampir selalu ia bawa kemana-mana.

Masih ada dua jam lagi. Biasanya Duke akan lanjut bergelut pada dokumen atau pergi mengasah fisiknya ke lapangan latihan di jam kosong tersebut.

Begitu pikir Dores.

Nyatanya, ia salah prediksi. Di taman bawah sana, mereka dapat menyaksikan Tuan Muda berperilaku aneh seolah dikejutkan oleh suatu hal. Entah apa yang membuat Tuan Danzel bereaksi demikian.

Mengikuti arah pandangnya, Dores pun ikut terkesiap. Pantas saja beliau terkejut. Anak kecil bernama Lala itu rupanya mengenakan apa yang seharusnya tidak dia kenakan.

Astaga, jangan-jangan sejak awal dia memang-,

Refleks, iris coklat membalak Sang Asisten tertuju pada ekspresi Duke yang tertutup siluet saat pria itu menunduk.

Pahatan wajahnya tak menunjukkan pergerakan sama sekali. Bahkan asap rokok menyembur seirama dengan ritme nafasnya yang tenang. Seakan-akan, dia tidak menyadari kejanggalan tersebut.

Hanya, netra abu-abu itu tampak berkilat kontras diantara gelapnya bayangan.

Apa yang Tuan Duke pikirkan?

"Dores," panggil Duke tanpa mengalihkan atensi dari orang-orang di bawah sana.

Tidak. Lebih tepatnya, pada manusia mungil yang kini menjadi pusat ketertarikan.

"Ya, Tuan Duke."

Dores menunggu Duke melengkapi kalimatnya yang menggantung. Entah karena sedang mengapit rokok atau apa, butuh beberapa saat sampai pria itu menggerakkan mulut.

Ketika si jemari mengambil alih rokok, taringnya beradu membentuk satu kalimat singkat, jelas dan padat.

"Selidiki Harazelle," tegasnya.

*****


Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang