Bagian Enam (3)

33.3K 3.4K 51
                                    

"Terima kasih, gara-gara kau aku dilarang keluar dari ruangan ini sampai sebulan ke depan!"

Kenapa berterima kasih? Itu, 'kan, hukuman. Labelina menggaruk kepala, tak paham maksud kalimat sarkas Danzel.

"Eung, ..., cama-cama?"

Kening Danzel mengernyit tak terkontrol mendengar jawaban innocent tersebut. Apa yang ku harapkan dari bocah ini?

Ingin membentak rasanya, tetapi entah mengapa semua itu tertahan begitu ia melihat mata bulat Lala mengerjap tanpa dosa seolah-olah berkata, 'Lala macih kecil. Janan benci Lala.'

"Ck!"

Pada akhirnya Danzel hanya bisa mengginggit bibir dan tidur memunggungi Lala. Dia lelah lahir batin. Menghadapi Lala ternyata lebih memusingkan dari yang dia duga.

Kesehariannya yang tenang lenyap semenjak dia 'memelihara' Lala. Si kecil itu sangat mengganggu dan tak bisa diam.

Saat terjaga, kaki pendeknya berlari kesana kemari. Langkah kecil yang gesit terus mengitari kamar sampai Danzel merasa muak dan frustasi.

Ketika Lala mendadak anteng tak bersuara, itu adalah pertanda dia membuat masalah baru. Melipat jurnal penting dan mencoret-coret dinding, misalnya.

Pokoknya, tidak ada hal baik sejak Lala masuk dalam hidupnya!

Kenapa waktu itu aku menolongnya dari Duke?! Danzel menyesal. Harusnya dia tidak terlibat. Tidak ada untungnya juga menolong Lala.

Mau Lala diusir atau tidak itu bukan urusannya. Toh, mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.

"Kecatila?"

Belum puas bermain pesawat-pesawatan dengan Joviette setelah merajuk lama, Labelina menusuk-nusuk punggung Danzel dengan telunjuk. "Kecatila malah?"

"...,"

Tak ada respon. Sepertinya Kecatila benar-benar marah. Mengapa dia marah? Apa karena Etan mengurungnya di kamar?

Tapi memang Etan super jahat! Laki-laki itu bahkan menyita sepuluh kuenya padahal dia tidak berbuat nakal!

"Kecatila malah kalena Dyuk, ya? Tenang caja, Lala akan balas endam!"

Endam? Dendam maksudnya? Danzel memutar bola mata. Perbaiki dulu pelafalanmu sebelum berpikir untuk balas dendam, Bocah.

"Kecatila, bangun. Ayo cali kumbang."

Bukankah detik lalu kau baru saja bertekad akan balas dendam? Dasar aneh. Mood Lala bisa berubah secepat kilat, tak terpuruk dengan masa lampau meski itu sangat menyedihkan.

Beruntung sekali dia bisa hidup tenang tanpa memikirkan masa lalunya. 

Menyebalkan.

Tanpa sadar Danzel meremas sprai kasur.

"Kecatila, ayo main di lual."

"...,"

"Kecatila. Kecatila."

"...,"

"Kecatilaaaaaa."

Risih dengan kecerewetan dan tunjukkan jari Lala, Danzel pun bangkit menghadapinya. "Apa, sih?! Aku bukan Kecatila!"

Labelina tersentak kaget. Baru kali ini Danzel membentaknya segalak itu.

"Katakan kenapa aku harus keluar! Apa kau tidak mengerti arti aku dikurung dalam kamar?!"

Jujur, ada perasaan aneh ketika Danzel melihat bocah itu tertegun gara-gara nada tingginya. Tetapi, siapa peduli? Lagi pula kau akan segera melupakan bentakanku dan bersenang-senang lagi.

"Bisakah kau diam saja sebentar? Kau menggangguku."

"...,"

Lala enggan bersuara. Wajah itu, jelas dia merasa takut dan kecewa.

Ya, benar. Menangislah. Larilah dariku sejauh yang kau bisa. Gertakkan gigi Danzel menguat seiring dia melihat Labelina mundur menjauhinya.

"Pergilah sendiri. Aku mau tidur."

Itu adalah kalimat terakhir sebelum Danzel menghempaskan diri ke posisi semula dan merapatkan mata.

Sejak awal, ikatan persaudaraan yang tulus tanpa persaingan itu tidak mungkin Danzel miliki. Kakak kandung yang kini naik takhta saja tidak peduli padanya.

Gara-gara rasa penasaran sesaat dia jadi terpengaruh omong kosong Baldwin. Terlalu naif jika dia mencari pembuktian dari sosok Lala yang bukan siapa-siapa.

Berhasil hidup sampai detik ini saja sudah termasuk keberuntungan.

Danzel hampir tidak memiliki kenangan bahagia. Masa kecilnya saat menjadi pangeran Baltenas sudah terlupakan sejak ia dijadikan objek eksperimen dan budak petarung yang bagai neraka.

Andai waktu itu secara kebetulan Danzel tidak bertemu seorang penolong, mungkin saat ini dia sudah lenyap dari dunia. 

Meski sekarang Danzel diangkat sebagai ahli waris Aslett, bukan berarti dia adalah bagian dari mereka.

Hubungannya dengan Duke tak akur satu sama lain. Daripada ayah dan anak, mereka lebih seperti rekan bisnis yang saling menguntungkan.

Keberadaan Danzel membuat Duke tidak perlu memiliki keturunan.

Sedangkan hidup di bawah perlindungan Duke membuat Danzel lebih aman dari dunia politik yang mengincarnya.

Margrave pun walau bersikap seperti kakek, Danzelion tidak bisa mempercayainya. Karena orang dewasa pasti memiliki maksud terselubung di balik kebaikan mereka.

Memang pilihan terbaik memedulikan diri sendiri saja.

Bocah itu pasti sudah pergi sekarang. Dia akan menangis dan mengadu pada pengasuhnya karena takut bertemu denganku.

Ya, kesehariannya akan kembali tenang seperti sedia kala. Tak perlu menghadapi bocah kematian yang berisik dan merepotkan.

Ketika Danzel yakin bahwa Lala telah pergi, sebuah tangan kecil tiba-tiba memberi 'puk-puk' ringan di puncak kepalanya tanpa permisi.

"Tak apa-apa, Nak. Bobok yang nyenyak," celutuk bocah itu mengira Danzel sudah terlelap.

*****

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang