Bagian Tujuh (2)

30.8K 2.9K 12
                                    

"Baiklah, untuk sementara ku terima proposalmu," final Duke, disambut tatapan iri dari para saingan Viscount.

Bisa dikatakan, Miguelis adalah orang paling berhasil diantara pebisnis lain. Beberapa produk obat yang dibuatnya sangat terkenal hingga diburu oleh kerajaan tetangga. 

Sudah lima tahun ini ia dipercaya Duke menjadi pengelola Hutan Peri, negeri ajaib yang kaya akan tumbuhan obat.

Disebut Hutan Peri karena dulunya, hutan itu adalah daerah kekuasaan bangsa peri sebelum mereka punah. Dunia mereka diliputi sumber daya alam yang berlimpah.

Harta peninggalan para peri pun sangat beragam termasuk berbagai macam penelitian langka dan penemuan baru yang bisa dijadikan literatur. Terutama perihal ilmu medis dan pengobatan.

Namun, bangsa peri memiliki keistimewaan dimana aksara mereka tidak semua manusia dapat membacanya.

Oleh sebab itu, meski hak atas Hutan Peri jatuh di tangan Duke, daerah tersebut menjadi terbengkalai sejak tak ada seorang pun yang mampu menafsirkan aksara mereka.

Seleksi besar-besaran pun diadakan. Dari ribuan umat pendaftar, hanya Viscount Miguelis-lah yang memenuhi syarat.

Duke tidak punya pilihan selain mempercayakan Hutan Peri padanya. Semenjak itu, nama Miguelis tenar di kalangan sosial. 

"Baik, terima kasih atas pertimbangan Anda, Duke. Lain kali saya akan menunjukkan penemuan yang lebih berguna."

Miguelis segera membungkuk pamit supaya dia dapat segera pamer pada antrean di belakang. Pandangan piciknya begitu memuakkan.

Tidak sedikit orang yang heran. Ternyata Miguelis tidak lebih unggul dari peserta lain. Dia hanya bangsawan sombong yang beruntung karena diberkati kemampuan langka. 

"Awas, awas. Pelmici, Lala mau lewat."

Suara kecil mendadak muncul diantara kerumunan. Ia tanpa sengaja menubruk kaki Miguelis yang berjalan dari arah berlawanan.

Orang-orang cukup terkejut akan kedatangan tamu mungil di acara penting tersebut. Begitu pula sang Duke, walau pria itu tampak tenang di tempat duduknya, menatap dingin Labelina dengan dagu bersandar tangan dan kaki bersilang.

"Hei, Anak Kecil!" seru Miguelis tak terima ditubruk Lala. "Kau taruh dimana matamu?! Minta maaflah sekarang selagi aku masih bersabar!" Miguelis membenahi dengan kesal jas mahalnya padahal itu tidak tersentuh sama sekali.

Labelina menatap Miguelis agak lama. Rasanya dia pernah melihat pria kurus berkumis tipis itu, tapi dimana, ya?

"Oh!" serunya begitu teringat, "Kotolan capi!"

"...,"

Sebagian orang tertawa mendengar celutukan enteng Lala. Terkecuali Dores dan ketujuh Dewan Negen yang melotot syok.

"A-apa?! Kurang ajar sekali kau!" Wajah Miguelis sampai merah padam saking malunya. 

"Jov."

"Ba-baik, Tuan Duke!" Atas perintah Duke, Joviette bergegas lari ke arah Lala.

Tolong katakan ini hanya mimpi buruk! Dia hampir jantungan melihat Lala sekonyong-konyong muncul bagai kejutan. Terlebih, ketika perusuh kecil itu semena-mena menyebut Viscount 'kotoran sapi'.

"Lala. Lala tidak boleh bilang begitu. Mengatai orang seperti itu adalah perbuatan tidak baik. Lala harus minta maaf."

"Tak mau," tolak Labelina menggeleng tegas.

"Ei, La-Lala, 'kan, anak pintar. Paman Jov akan beri lolipop kalau Lala mau minta maaf sekarang."

"TAK MAU! Dia, 'kan, olang jahat."

Aduh, bagaimana ini? Biasanya Lala cukup penurut apalagi jika dibujuk dengan makanan. Namun, ada kalanya dia menjadi sangat keras kepala seperti sekarang.

Yaitu ketika anak itu yakin bahwa tindakannya sudah benar.

Joviette melirik ke arah Miguelis sebentar. Kira-kira apa yang membuat Lala berpikir Viscount adalah penjahat?

Benar, sih, Viscount Miguelis memang dikenal sombong dan gila hormat. Akan tetapi, seburuk apapun sifatnya, dia adalah orang penting dan bangsawan ternama. Tuan Duke tidak mungkin menyingkirkannya dan membuat sumber daya Hutan Peri terbuang sia-sia.

"Siapa yang kau maksud penjahat, Anak Nakal?!" emosi Miguelis berapi-api. "Aku ini pahlawan! Tanpa obat-obatan buatanku, orang sakit di tempat ini pasti sudah mati!"

"Butan." Lala bersikeras menggeleng. "Paman Kotolan Capi yang akan mati."

"Apa?!"

Lala menunjuk sampel obat di tangan Gestan. Suara kecilnya menggema jelas memenuhi ruangan. "Itu. Kata bibi di deca, kalena obat itu Paman akan dihukum mati."

Hening.

Apa maksudnya? Darimana bocah empat tahun belajar kata-kata menyeramkan seperti itu? Dia pasti meniru omong kosong orang dewasa.

"Jov, bawa anak itu keluar."

"Baik."

Perintah mutlak Duke terpaksa menghentikan amarah Viscount. Dia tampak mendecih tak puas, apalagi saat Lala digendong Joviette pergi sambil menjulurkan lidah padanya.

Sial, akan ku biarkan kau kali ini saja.

Karena Miguelis tidak mau menghancurkan kesan baik tentangnya di depan Duke, terlepas siapapun identitas bocah itu.

Lain kali, jika mereka bertemu lagi, dia pasti akan memberinya pelajaran.

*****

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang