Bagian Enam Belas (3)

19.3K 2.8K 27
                                    

Danzelion merasa bak pemenang perang setelah berhasil mengalahkan lawan berpedangnya. Kali ini senjata Chaster terpelanting jauh bukan sekedar keberuntungan Danzel semata, melainkan karena ia benar-benar telah meningkatkan skill-nya.

Haruskah dia pamerkan keberhasilan ini pada bocah menyebalkan itu? Masih ada sisa waktu sebelum makan siang.

Dia sangga pedang bersarung itu di atas bahunya selagi berjalan menuju tempat Lala biasa bermain.

"Lulu jelek! Jelek cekali!"

"Cepelti pup-nya Lala!"

"Lala benci Lulu!"

Hmm? Ribut-ribut apa itu? Sebelum mendekat, Danzel mengintip dari balik dinding. Penasaran si bocah kematian sedang memarahi siapa sampai dia menyangkut pautkan dengan kotorannya sendiri.

"Lulu butan anak baik lagi!" cerca Lala, menunjuk marah pada elang yang berlagak innocent di hadapannya.

Aku salah apa? Cara Lucress memiringkan kepala, seolah berkata demikian. "Kwaaak kwak?"

"Itu teman Lala, janan dimamam! Lepehkan! Ayo lepehkan!"

Bagaikan induk ayam, kumpulan hewan-hewan kecil berkerumun mencari perlindungan di belakang Lala. Mereka tersentak tiap kali Lucress bergerak tiba-tiba. Tampaknya, elang usil itu memang sengaja bertingkah guna mengisi waktu nganggurnya yang membosankan. 

"Pfft, apa-apaan itu?" gumam Danzel masih terlena menyembunyikan diri. Dia baru tahu elang buas peliharaan Duke rupanya cuma bebek konyol di depan Lala seorang.

Ini mengingatkan Danzel pada orang 'itu'. Orang yang suka diikuti hewan-hewan kecil bahkan tanpa dia membawa umpan.

Semasa menjadi tawanan Atlanika, Danzel tidak pernah mendapat perlakuan baik. Para penjudi menggunakannya sebagai barang taruhan yang diadu melawan binatang buas di tengah lapangan.

Danzelion yang masih berusia sepuluh tahun kala itu mau tidak mau membangkitkan insting bertahan hidupnya dengan cara apapun.

Entah bagian tubuhnya sampai koyak tergigit taring lawan atau sendi-sendinya geser akibat hantaman bertubi-tubi, yang Danzel ambisikan hanya membunuh atau dia akan mati.

Hingga pada titik ketika Danzel merasa putus asa dan muak oleh sorakan penonton yang terhibur melihatnya tersiksa, bagai pahlawan kesiangan, seseorang tiba-tiba datang menghentikan pertunjukan tak manusiawi tersebut. 

Dialah penolong yang memberinya makan minum, mengobati lukanya hingga sembuh, dan membantunya kabur dari jeratan neraka.

Jika bukan karena dia, Danzel tidak akan berada di sini sekarang. Melewati hari-hari dengan damai tanpa ada lagi siksaan yang mengerikan. 

Danzel tidak akan melupakan kebaikan orang itu. Orang yang dicintai alam saking tulusnya dia diantara ribuan iblis di sekitarnya. 

Menurut Danzel, bagaimana kebiasaan hewan-hewan suka menghinggapi Lala sedikit mirip dengan orang itu.

"Lulu anak nakal! Lala tak mau belteman dengan Lulu lagi!" ancam Lala, bersedekap sambil buang muka.

Agaknya, ucapan Lala barusan membuat Lucress cukup terpukul. Mau tidak mau, dia pun menghentikan keasyikannya mengganggu binatang-binatang lemah.

Cuih!

Luke ludahkan seekor ulat gemuk dari paruhnya. Ulat tersebut langsung melarikan diri dengan kecepatan cahaya.

"Nah, Lulu anak pintal. Lulu jadi temannya Lala lagi."

Lala peluk elang cengengesan itu, tanpa menyadari Lucress diam-diam menebarkan ekspresi jahat pada teman-teman di belakangnya.

"Rupanya kau bisa menjinakkan semua hewan, ya?" interupsi Danzel, meletakkan pedang dan berselanjar beralaskan tanah di samping Lala.

Sementara Lucress lagi-lagi mempermainkan serangga-serangga itu ketika Lala lengah. Dia berlari pelan, pura-pura mengejar para herbivora yang malang.

"Anzel bolos lagi? Nanti dimalahi Dyuk, loh," tegur Lala, duduk jongkok dan mulai menggambar dengan ranting.

"Tidak, tuh. Aku menang dalam pertandingan satu lawan satu, jadi Duke tidak akan marah." Danzel sudah mengangkat dagunya, siap dibajiri pujian.

Sayang sekali, harapan itu dijatuhkan hanya dengan dua huruf saja.

"Oh," singkat Lala, lebih fokus ke bawah ketimbang memperhatikan Tuan Muda.

Hah? Sudah begitu saja?

"Apa menurutmu aku tidak keren?" desak Danzel, sedikit jengkel.

"Kelen itu apa?"

"...,"

Percuma mengharapkan pujian dari balita yang masih belajar bicara. Cih! Apa, sih, yang ku harapkan darinya?

"Kau sedang gambar apa?" tanya Danzel, sedikit menoleh ke bawah.

Awalnya, anak lelaki itu cuma basa-basi bertanya tanpa mengubah posisi santainya yang berselanjar dengan kedua tangan menyangga di belakang.

Namun, begitu manik hijau sang mantan budak petarung membelalak menangkap hasil coretan Lala, secara alami ia segera bergerak mendekat.

"Kau sudah bisa menulis?!"

Benar, 'kan? Walaupun garisnya meliut-liut, itu tulisan, 'kan?

"Ung. Lala bica."

Kok bisa? Dia, 'kan, baru empat tahun? Masih dalam keadaan terkagum, Danzel mencermati hasil tulisan balita bergaun pelaut tersebut.

"Labelina," desis Danzel, mengeja coretan berantakan gadis mungil itu dengan lembut. "Namamu, Labelina?"

"Ung. Ini Labeyina. Lala!" sorak Lala sambil mengangkat tangan ke atas dengan gigi kelinci tersenyum gembira.

Beruntung sekali dia masih polos dan lugu. Hal sederhana pun sudah cukup membuat dia bahagia.

Sepintas, Danzel merasa ingin menutup mata bocah itu dari gelapnya dunia ini bahkan ketika dia nanti beranjak dewasa.

"Lala, saatnya maka-, oh, kebetulan ada Tuan Muda," interupsi Natelia, awalnya hendak menjemput Lala sebelum ia menyadari keberadaan Danzel. "Mari Tuan Muda, Margrave dan Tuan Duke mengajak Anda makan bersama."

*****

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang