Bagian Tujuh (4)

33.1K 3.2K 172
                                    

"Lepaskan dia."

"...,"

"Hentikan sandiwaramu menganggap dia peliharaan."

Danzelion tak dapat berkutik. Dia hanya mampu mengepalkan tangan dalam diam.

"Dan untuk kalian berdua,"

Joviette langsung mendaratkan dahinya ke permukaan karpet. "Tu-tuan Duke. Kami hanya mampu meminta maaf. Meski begitu, saya mohon lepaskan Lala! Saya yang akan bertanggung jawab! Tolong hukum saya saja, Tuan! Jangan Pengasuh Nana! Ini kelalaian saya! Saya-lah yang pantas mati!"

Bisa-bisanya disaat seperti ini Sir Joviette masih memikirkan orang lain? 

Merasa andil dalam masalah ini, Natelia ikut berlutut. "Hukum saya juga, Tuan Duke. Saya sebagai pengasuhnya juga bersalah."

"Pengasuh Nana, tidak-,"

"Jangan hentikan saya, Sir!"

Joviette akhirnya diam, menggigit bibir.

Baru kali ini Danzel mengharapkan keberadaan Margrave di kastil. Sungguh, pria tua menjengkelkan itu, mengapa perginya lama sekali?!

Duke bersuara dingin begitu mereka siap mendengarkan. "Baiklah, akan ku turuti keinginan kalian."

Nafas mereka tertahan.

"Ksatria Joviette dan Pelayan Natelia. Segera kemasi barang. Kalian ku pecat."

"...,"

Butuh beberapa detik sampai Jov dan Natelia memahami kata-kata tersebut.

Dipecat? Mereka harus meninggalkan profesi yang telah mereka tekuni selama bertahun-tahun ini?

Begitu paham, dengan gemetar dua orang itu membungkuk sebagai hormat terakhir pada Duke.

"Terima kasih atas kemurahan hati Anda, Tuan Duke. Sekali lagi, kami mohon maaf telah mengecewakan Anda."

Tidak ada ampun bagi Duke. Semua orang tahu itu. Lagipula pemecatan merupakan hukuman paling ringan dibanding siksa atau penjara untuk kesalahan sefatal ini.

"Pacat itu apa?"

Tiba-tiba Labelina menyembul keluar dari bawah troli dengan sendirinya, membuat orang-orang dalam ruangan terpaku di tempat.

Kernyitan halus di kening Duke muncul begitu perhatiannya tertuju pada mata biru Lala yang mengerjap kebingungan.

"Apa itu ukuman?" tanya Lala sekali lagi.

Natelia menghampiri Lala sebelum kemarahan Duke memuncak. "Lala. Bisakah Lala jadi anak baik saat Nana dan Sir Joviette pergi?"

"Nana mau kemana?"

"Itu-, Nana ada pekerjaan di tempat yang jauh. Lala tetap di sini tunggu Margrave, ya?"

"Paman Juliet juga?"

Joviette memaksa bibirnya mempertahankan senyuman tipis. Dia menyusul jongkok, membelai Labelina sembari memberi pengertian. "Maaf, Lala. Kami harus pergi. Lala bisa bermain dengan yang lain."

"Tapi Paman, 'kan, janji mau ajak Lala ke tempat yang banyak mamam-nya."

Janji? Oh, yang waktu itu. "Benar. Paman akan minta ijin pada Margrave lewat surat dulu. Jika beliau mengijinkan, Paman akan segera jemput Lala. Lala tunggu sampai saat itu, ya?"

"Eung! Lala akan jadi anak baik."

Labelina menyodorkan kepalanya dengan puas ketika Joviette mengacak rambutnya lembut. "Kalau begitu Lala harus minta maaf pada Tuan Duke."

"Kenapa?"

"Lihat, siapa yang menumpahkan tintanya?"

"Lala."

"Kenapa Lala menumpahkannya?"

"Kalena obat nakalnya Paman Kotolan Capi tak boleh diminum. Dia cakiti teman-teman Lala."

Labelina sengaja merusak semua kertas-kertas Duke supaya resep pembuatan ramuan versat lenyap. Sayangnya, si kecil tak mengerti bila tumpukan kertas yang dia kira proposal berisi resep itu adalah dokumen penting.

Duke mendekat ke tempat mereka dengan tangan bersedekap. Jujur saja, bualan Lala yang tidak sesuai umurnya justru membuat pria itu terusik.

Ramuan versat membuat anak-anak terbunuh, katanya? Seliar apapun imajinasi anak kecil, tidak mungkin dia mengaitkan dengan obat.

Baru saja ramuan versat akan diuji Tenz. Mustahil Miguelis dapat mengedarkan ke pasaran tanpa seijinnya. Namun, tidak menutup kemungkinan informasi tentang obat itu bocor dan jatuh ke tangan yang salah.

Duke tentu tidak bisa membiarkan itu terjadi. Jika ada petunjuk kecil, meski saksinya hanya balita mungil, mengapa tidak?

"Siapa yang mengajarimu bicara omong kosong?"

"Omong kocong itu apa?"

"Bagaimana kau tahu tentang obat itu?" ralat Duke.

"Itu, 'kan, banyak di pacal."

"Kapan kau melihatnya?"

"Hmm, caat daun-daun di jalan belubah kuning."

Maksudnya saat menjelang musim gugur? Tidak mungkin. Sekarang saja masih musim panas. Artinya dia sudah lama melihatnya.

Mana mungkin ingatannya valid? Lagi pula kemasan ramuan versat memang cukup mirip dengan obat yang beredar di pasaran. Anak ini pasti keliru. 

"Haa," Seringaian Duke jelas bukan tanggapan positif.

Pria itu menyugar rambutnya tak habis pikir. Buat apa dia percaya pada celotehan bocah yang bahkan masih kesulitan menunjukkan jumlah empat dengan jarinya? 

Duke berbalik menjauh. "Keluar kalian semua!"

Sulit diterima bahwa bayi itu telah merusak segala pencapaian yang dia lalui sedemikian sulitnya demi imajinasi konyol yang kekanak-kanakan.

"Dyuk malah? Maap, Lala calah," aku Lala memeluk kaki Duke menahannya pergi.

"Hei, Bodoh, hentikan!"

"La-Lala, tidak!"

"Lepaskan Tuan Duke, Lala!"

Ketiganya kalang kabut tak berhasil mencegah Labelina menempel di kaki Duke.

Harus dia apakan anak nakal ini? Mengurungnya ke penjara? Mencambuk sebanyak dia membuat kesalahan? Atau mengusir dan membiarkannya mati kelaparan?

Mungkin, Gestan akan memilih satu diantaranya andai Lala bukan anak perlindungan Margrave.

"Menyedihkan," gumam Duke dengan sorot mata yang sangat tajam.

Dia menarik kaki dari pelukan Lala, tak peduli si kecil sampai terjungkal ke belakang akibat kehilangan keseimbangan.

"Jangan sekalipun kau berani menunjukkan diri di hadapanku lagi."

Duke mungkin akan menyesali tindakannya ini dikemudian hari, ketika seseorang dari wilayah lain mengirimkan keluhan yang isinya menunjukkan tanda-tanda mirip dengan omongan Lala.

Tepat saat peralihan musim, lebih dari sepuluh anak tewas setelah mengonsumsi ramuan versat yang dinyataan lulus uji obat.

To be continue...

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

Halo, absen dulu👋

Kalian masuk kategori mana nih,

Tim kuat nabung sampai chapter banyak?

Tim mau nabung tapi iman lemah😆?

Atau tim langsung baca waktu udah up.

Part selanjutnya bisa dibaca lebih cepat di KK, ya. Tengkyu.

Be My Father?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang