05 - 2 : TIDAK SEPENUHNYA BOHONG

107 13 0
                                    

Di tempat tinggal Jaesu, di bagian rumah Juri lainnya di sebelah bawah, Sangtae sedang membentur-benturkan kepalanya ke dinding karena tidak tahu kenapa Kangtae marah dan membencinya tadi sore, ketika di rumah sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di tempat tinggal Jaesu, di bagian rumah Juri lainnya di sebelah bawah, Sangtae sedang membentur-benturkan kepalanya ke dinding karena tidak tahu kenapa Kangtae marah dan membencinya tadi sore, ketika di rumah sakit. Dipikir berapa kali pun, Sangtae tetap tidak tahu alasannya.

Kangtae datang, dan menaruh tangannya di dinding, menghalangi agar kepala Sangtae tidak membentur ke dinding. Dia bicara, “Hyung, marah ya? Maaf, tadi aku membentak. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku salah, Hyung.”

Sangtae tetap membentur-benturkan kepalanya, ke dinding yang dihalangi oleh tangan Kangtae.

“Hyung, sakit,” kata Kangtae, beberapa kali, tapi Sangtae tetap membentur-benturkan kepalanya ke tangan Kangtae itu seolah tak peduli.

“Tadi itu aku ditampar,” Kangtae bercerita, “ditamparnya sangat keras, sampai … rahangku rasanya hampir copot, telinga juga jadi mendenging, dan pipiku bengkak sebesar tomat. Hyung, aku harus bagaimana?”

“Bengkak?” Sangtae mengulang, lalu menoleh pada Kangtae. Tapi, “Mana bengkaknya? Katanya sebesar tomat.”

“Eh?” Kangtae menyentuh-nyentuh pipinya yang katanya membengkak sebesar tomat itu, “Bengkaknya sudah hilang, Hyung. Bengkaknya hilang!” serunya, bercerah.

Sangtae marah, dan memukul-mukuli Kangtae. “Liar! Liar! Berbohong itu tidak boleh. Kalau berbohong, kau bisa ditangkap polisi. Pinokio nakal, kau! Penggembala bodoh! Kalau berbohong, kau itu HARUS dimarahi, HARUS dipukuli. Siapa yang mengajarimu berbohong, huh? Kau sudah besar, jangan suka berbohong. Huh?! Kenapa diam saja? Ayo minta maaf! Kau menyesal? Sakit, aku pukuli? Huh?! Ayo minta maaf!”

Dari luar pintu, Jaesu dan Ibu Kang menguping. Dari keributan yang mereka dengar, yang sepi kemudian, sepertinya Kangtae dan Sangtae sudah berbaikan.

Kangtae keluar dengan badan sakit-sakit. Jaesu dan Ibu Kang otomatis membubarkan diri—tapi percuma—dan Ibu Kang segera mengajak Kangtae makan bersama, dengan Jaesu juga, di meja makan yang hanya beberapa langkah dari pintu tempat Kangtae keluar tadi.

“Kau belum makan, kan? Ayo, sini, duduk. Aku siapkan dulu makanannya. Sebentar.” Ibu Kang pergi sebentar untuk mengambil mangkuk.

“Kau senang, dipukuli?” Jaesu marah. “Kenapa sih kau itu dipukuli orang terus, hah? Memangnya kau itu … itu, apa, samsak?”

“Aku kan memang pantas dipukuli,” jawab Kangtae, bukan membela.

Ibu Kang kembali dengan mangkuk-mangkuk, dan menyuruh Kangtae duduk—lagi, karena Kangtae masih saja berdiri—untuk makan. Tapi, daripada makan di sini, Kangtae meminta pada Ibu Kang untuk membungkuskan saja nasi dan beberapa lauk untuk dibawa ke rumah atap. Kangtae tidak menjelaskan alasannya. Tapi, tanpa banyak ditanyai, Kangtae mendapatkan pula nasi dan beberapa lauk itu. Dia membawanya ke rumah atap, untuk dimakan bersama Munyeong.

 Dia membawanya ke rumah atap, untuk dimakan bersama Munyeong

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
PSYCHO BUT IT'S OKAYWhere stories live. Discover now